Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pavel Durov, CEO Telegram, jadi rebutan antara pemerintah Rusia dan Prancis. Pemerintahan Presiden Rusia Vladimir Putin mengincarnya sejak pemuda yang dijuluki "Mark Zuckerberg Rusia" itu meninggalkan Moskow pada 2014 setelah menolak menyerahkan data pengguna VKontakte, media sosial pertama yang dia bikin sebelum meluncurkan Telegram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 24 Agustus 2024, petugas bea cukai Prancis menangkapnya di Bandar Udara Le Bourget, Prancis. Saat itu dia baru keluar dari pesawat jet pribadinya setelah terbang dari Azerbaijan, tempat dia diduga bertemu Putin. Namun, Dmitry Peskov, juru bicara Kremlin, kepada TASS menyatakan bahwa Durov tidak bertemu Putin selama kunjungan kenegaraan Putin pada 18-19 Agustus 2024 di Azerbaijan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saluran televisi TF1 menyatakan bahwa Durov mungkin akan didakwa dengan pasal mengenai terorisme, perdagangan narkotika, penipuan, pencucian uang, dan pornografi anak.
Kedutaan Besar Rusia di Paris menyatakan telah menuntut otoritas Prancis untuk mematuhi hak-hak Durov, namun mereka mengatakan bahwa Paris menolak bekerja sama dalam masalah ini.
"Segera setelah mengetahui tentang penangkapannya, kedutaan besar kami di Paris menghubungi pihak setempat setelah mengirim sebuah memo kepada Kementerian Luar Negeri Prancis yang menuntut akses kepada Durove," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, kepada saluran televisi Rossiya-24, pada Minggu, 25 Agustus 2024.
"Masalahnya adalah... Pavel Durov memegang kewarganegaraan Prancis. Oleh karena itu, ia adalah warga negara mereka untuk Paris, Prancis," kata Zakharova.
Bagaimana Pavel Durov Jadi Musuh Putin
Pavel Valeryevich Durov lahir di Leningrad (kini Saint Petersburg), Rusia. Pemuda 40 tahun itu terkenal sebagai pengusaha muda yang cemerlang. Bersama teman-teman mahasiswanya di Saint Petersburg State University, dia mendirikan VKontakte atau VK, platform media sosial mirip Facebook versi Rusia, pada 2006. Dalam dua tahun, platform itu menghimpun 10 juta pengguna dan menjadi media sosial lokal terpopuler di Negeri Beruang Merah.
Masalah mulai muncul ketika Durov masuk barisan penentang Putin. Ini bermula dari unjuk rasa di Lapangan Bolotnaya, Moskow pada 4 Desember 2011, hari pemilihan umum parlemen. Demonstran menuduh pemilihan umum yang dimenangi Rusia Bersatu, partai pimpinan Putin, itu penuh kecurangan. Gelombang unjuk rasa terus berlangsung pada 2012 dan 2013.
Alexei Navalny, blogger antikorupsi Rusia terkenal yang nantinya meninggal di penjara pada Februari 2024, memimpin sebuah grup pengunjuk rasa di VKontakte. Tiga hari setelah pemilihan umum, Edward Kot, salah satu moderator grup tersebut, menemukan bahwa grupnya tampaknya diblokir karena tidak menerima pesan baru dan menanyakannya ke VKontakte. Dia mendapat balasan satu jam kemudian dari Pavel Durov sendiri.
Menurut Andrei Soldatov dan Irina Borogan dalam The Red Web: The Struggle between Russia’s Digital Dictators and the New Online Revolutionaries (2015), Durov, yang saat itu berusia 27 tahun, menjelaskan kepada Kot bahwa grup Navalny itu telah mencapai batas yang ditetapkan sebanyak 1.634 pesan dalam sehari. Tapi, Durov menambahkan bahwa tim teknis VKontakte sedang mengubah algoritma untuk mereka agar bisa mendapat pesan baru.
Dua puluh menit kemudian, pemblokiran grup itu usai. Kot sangat terkesan sehingga mengirim ucapan terima kasih kepada Durov. “Ah, semuanya baik-baik saja. Dalam beberapa hari terakhir, FSB telah meminta kami untuk memblokir grup-grup protes, termasuk grupmu. Kami tidak mematuhinya. Saya tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir bagi kami, tapi kami sudah bangkit dan terus berjalan,” kata Durov. Atas izin Durov, Kot mengunggah pernyataan Durov itu di LiveJournal, blog populer di Rusia.
Keesokan harinya, Durov malah menerbitkan pindaian surat permintaan resmi dari FSB, badan intelijen Rusia, agar VKontakte menutup grup Navalny. Dalam dokumen tersebut, seorang jenderal, kepala cabang FSB di St. Petersburg, meminta Durov untuk "menghentikan aktivitas" tujuh grup daring yang berhubungan dengan protes tersebut.
Sehari kemudian, Durov dipanggil ke Kantor Kejaksaan St. Petersburg. Ia menolak untuk datang, mengunggah informasi tentang pemanggilannya ke Kantor kejaksaan, dan sekali lagi menolak untuk menutup grup-grup percakapan tersebut.
Pada 18 Mei 2012, Durov menerbitkan manifestonya tentang pembaruan Rusia agar menjadi pemimpin abad ke-21 di majalah Afisha. Dia antara lain menyatakan bahwa inisiatif legislatif terbaik adalah tak lagi membikin undang-undang. "Bebaskan masyarakat dari beban undang-undang, izin, dan pembatasan yang sudah ketinggalan zaman yang malah meningkatkan korupsi. Dunia berubah terlalu cepat sehingga regulator tidak bisa merespons perubahan tersebut dengan baik," tulisnya.
Tekanan terhadap VKontakte semakin besar. Pada 13 Desember 2013, FSB kembali meminta VKontakte untuk menyerahkan data pribadi pengelola grup Euromaidan, gerakan rakyat Ukraina yang menuntut untuk bergabung dengan Uni Eropa. "Tanggapan kami adalah dan tetap dengan tegas 'Tidak'," tulis Durov di VKontakte. "Yurisdiksi Rusia tidak dapat mencakup pengguna VKontakte kami di Ukraina. Penyerahan data pribadi warga Ukraina kepada otoritas Rusia tidak hanya ilegal, tetapi juga pengkhianatan terhadap jutaan warga Ukraina yang mempercayai kami."
Namun, Durov tampaknya mendapat tekanan besar hingga terpaksa melepas sahamnya di VKontakte gara-gara menolak memberikan data penggunanya. "Saya berkorban banyak. Saya menjual saham saya di perusahaan ini. Sejak Desember 2013, saya tidak punya harta lagi, tetapi saya memiliki hati nurani yang bersih dan cita-cita yang siap saya bela," kata Durov.
Dua jam kemudian dia menulis: “Pada tanggal 13 Maret 2014, kantor Kejaksaan meminta saya untuk menutup grup antikorupsi Alexei Navalny. Saya tidak menutup grup ini pada Desember 2011 dan, tentu saja, saya tidak menutupnya sekarang. Dalam beberapa minggu terakhir, saya mendapat tekanan dari berbagai pihak. Kami berhasil bertahan selama lebih dari sebulan, tetapi sekarang saatnya untuk menyatakan—baik saya maupun tim saya tidak akan melakukan penyensoran politik... Kebebasan informasi adalah hak yang tidak dapat dicabut dari masyarakat pascaindustri.”
Pada 21 April 2014, Durov dipecat dari VKontakte.
Dilema Penangkapan Durov
Durov meninggalkan Rusia dan mendapat kewarganegaraan baru dari Federasi Saint Kitts dan Nevis, negara kepulauan kecil di Karibia, dengan menyumbang US$ 250.000 ke Sugar Industry Diversification Foundation, yayasan milik negara itu yang membuat dia berhak mendapat paspor bebas visa untuk keliling Eropa.
Durov bersama saudaranya, Nikolai, kemudian meluncurkan Telegram, platform berbagi pesan yang berfokus pada enkripsi data. Telegram pada mula berbasis di Berlin, Jerman tapi kemudian pindah ke Dubai, Uni Emirat Arab. Menurut Fortune, pada 2016, Telegram "meledak" dengan 100 juta pengguna aktif setiap bulan, 15 miliar pesan per hari, dan 350.000 pengguna baru mendaftar setiap hari.
Karena datanya yang terenkripsi, Telegram menjadi aplikasi favorit orang-orang yang mau berkomunikasi secara anonim, termasuk kelompok prodemokrasi di negara yang otoritarian. Namun, karena anonimitas itu pula Telegram dituduh telah digunakan untuk berbagai kejahatan, seperti perdagangan narkotika dan penyebaran pesan kelompok terorisme seperti ISIS.
Pada 2018, pemerintah Rusia memblokir akses Telegram, tapi kemudian mencabutnya pada 2020. Kini Telegram telah digunakan pasukan Rusia untuk berkomunikasi dalam perang di Ukraina. Ia juga merupakan sarana utama bagi para blogger dan media militer pro-perang serta jutaan warga Rusia biasa. Penangkapan Durov di Prancis jelas mencemaskan Rusia.
"Penangkapannya mungkin memiliki dasar politik dan menjadi alat untuk mendapatkan akses terhadap informasi pribadi pengguna Telegram. Hal ini tidak dapat dibiarkan," kata Vladislav Davankov, Wakil Ketua Duma, parlemen Rusia, dalam pernyataannya di Telegram. "Hampir tidak ada orang yang berbuat lebih dari dia dalam mengembangkan layanan digital di Rusia dan dunia.
Davankov mendesak Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov untuk meminta pihak berwenang Prancis membebaskan Durov dari tahanan. "Jika pihak berwenang Prancis menolak melepaskan Pavel Durov dari tahanan, saya mengusulkan untuk melakukan segala upaya untuk memindahkannya ke wilayah Uni Emirat Arab atau Federasi Rusia. Tentu saja dengan persetujuannya. #FREEDUROV," katanya.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menunggu upaya pengacara Durov membebaskan kliennya. Adapun pemerintah Rusia akan mengambil langkah sendiri. "Kami memiliki undang-undang dan kami akan menggunakannya dalam kasus ini seperti yang kami lakukan dalam kasus lain," kata Zakharova tanpa merinci langkah yang akan diambil Kremlin.
Bagaimana gerakan antikorupsi Alexei Navalny meraih dukungan masyarakat dan jutawan Rusia, termasuk Pavel Durov? Baca selengkapnya: Duri di Jantung Moskow