Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan, embargo gas alam Rusia akan menyebabkan resesi mendalam di Hungaria, Slovakia, Republik Ceko dan Italia. Hal ini, menurut IMF, tak bisa dihindari kecuali negara-negara dapat bekerja sama lebih banyak untuk berbagi pasokan alternatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti IMF, dalam sebuah posting blog pada Selasa, 19 Juli 2022, menyatakan bahwa beberapa negara dapat menghadapi kekurangan sebanyak 40 persen dari konsumsi gas normal mereka jika terjadi penghentian total gas Rusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hungaria akan paling menderita secara ekonomi dari embargo semacam itu, dengan pengurangan lebih dari 6 persen dalam produk domestik bruto (PDB). Sementara Slovakia, Republik Ceko dan Italia dapat melihat PDB menyusut sebesar 5 persen jika pasokan gas alternatif, termasuk dari gas alam cair (LNG), terhambat mengalir bebas ke tempat yang dibutuhkan.
Di bawah skenario optimis dari pasar yang terintegrasi penuh, kerusakan ekonomi diproyeksikan bisa berkurang. Hungaria melihat pengurangan PDB lebih dari 3 persen, Slovakia dan Italia menderita pengurangan PDB lebih dari 2 persen. Sedangkan PDB Republik Ceko menyusut kurang dari 2 persen.
Skenario terburuk, PDB Jerman diperkirakan menyusut dengan kisaran 2 persen. Jika sistem terintegrasi, penurunan diprediksi hanya akan ada di atas 1 persen. Masalah bagi Jerman adalah akses ke sumber energi alternatif dan kemampuan untuk menurunkan konsumsi.
Tetapi aktivitas ekonomi Jerman dapat dikurangi sebesar 2,7 persen pada 2023. Harga gas grosir yang lebih tinggi mendorong inflasi naik 2 poin persentase lagi pada 2022 dan 2023.
Para peneliti IMF mengatakan infrastruktur Eropa dan pasokan global telah diatasi sejauh ini, dengan penurunan 60 persen dalam pengiriman gas Rusia sejak Juni 2021. Total konsumsi gas pada kuartal pertama, sejak invasi dan sanksi, adalah turun 9 persen dari tahun sebelumnya. Pasokan alternatif sedang dijajaki, terutama LNG dari pasar global.
“Pekerjaan kami menunjukkan bahwa pengurangan hingga 70 persen dalam gas Rusia dapat dikelola dalam jangka pendek dengan mengakses pasokan alternatif dan sumber energi dan mengurangi permintaan dari harga yang sebelumnya tinggi,” kata para peneliti.
Perusahaan gas asal Rusia, Gazprom sudah menyampaikan kepada Eropa, bahwa mereka tidak dapat menjamin pasokan di tengah persaingan ekonomi dengan Barat atas invasi Moskow ke Ukraina.
BUMN Rusia itu mengatakan dalam sebuah surat tertanggal 14 Juli 2022, jikalau mereka menyatakan 'force majeure' pada pasokan gas secara surut mulai 14 Juni lalu. Berita itu muncul ketika Nord Stream 1, pipa utama yang mengirimkan gas Rusia ke Jerman dan sekitarnya, menjalani 10 hari pemeliharaan tahunan yang akan dijadwalkan akan berakhir pada Kamis ini.
Force majeure merupakan standar dalam kontrak bisnis. Istilahnya dipakai dalam keadaan ekstrem, di luar kuasa kontrak, yang dapat membebaskan satu pihak dari kewajiban hukum mereka. Deklarasi tersebut bukan berarti Gazprom perlu menghentikan pengiriman, melainkan tidak bertanggung jawab atau gagal memenuhi persyaratan kontrak.
Surat itu menambah kekhawatiran bagi Eropa, Moskow mungkin tidak mengembalikan jaringan pipanya pada akhir periode pemeliharaan sebagai pembalasan atas sanksi yang dikenakan pada Rusia atas perang di Ukraina.
Bagi Moskow dan Gazprom, aliran energi adalah sumber pendapatan vital. Sebab sanksi Barat atas invasi Rusia ke Ukraina telah membebani keuangan Rusia.
Menurut Kementerian Keuangan Rusia, anggaran federal menerima 6,4 triliun rubel atau Rp 1,7 kuadriliun dari penjualan minyak dan gas pada paruh pertama tahun ini. Berdasarkan rencana, target 2022 seharusnya bisa menyentuh 9,5 triliun rubel atau Rp 2,5 kuadriliun.
Masa tenggang untuk pembayaran dua obligasi internasional Gazprom berakhir pada 19 Juli 2022. Jika kreditur asing tidak membayar, maka perusahaan Rusia ini secara teknis akan bangkrut.
SUMBER: REUTERS, AL JAZEERA