Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Video pengakuan dua prajurit Myanmar menunjukkan pelanggaran hak asasi berat terhadap warga Rohingya.
Militer Myanmar mengakui ada dugaan kekerasan terpola dalam konflik di Negara Bagian Rakhine.
Badan Hak Asasi Manusia PBB menyebut korban sipil terus berjatuhan akibat kekerasan militer Myanmar.
ZAW Naing Tun, 30 tahun, mengaku membunuh dan mengubur puluhan korbannya di permakaman massal. Prajurit batalion infanteri 353 itu juga terlibat dalam sejumlah aksi kejahatan terhadap warga Rohingya di lima desa di Maungdaw, Myanmar, selama operasi militer tiga tahun lalu. Zaw dan rekan-rekannya memusnahkan sekitar 20 desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Myo Win Tun, prajurit batalion infanteri 565, mengaku terlibat dalam pembunuhan sejumlah perempuan, laki-laki, dan anak-anak Rohingya. Pria 33 tahun itu juga mengaku memerkosa di Desa Taung Bazar. Hal serupa dilakukannya di kampung-kampung di wilayah Buthidaung pada September 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengakuan itu meluncur dari mulut Zaw dan Myo dalam rekaman video yang dibuat oleh Pasukan Arakan Rohingya pada Juli lalu. Milisi Arakan merupakan kelompok sipil bersenjata yang berperang dengan militer Myanmar di Negara Bagian Rakhine. Pengakuan ini menjadi bukti pertama peran anggota Tatmadaw atau tentara Myanmar dalam operasi militer mereka terhadap kelompok etnis Rohingya.
Lembaga advokasi hak asasi manusia Fortify Rights mempublikasikan detail pengakuan Zaw dan Myo ini dalam laporannya pada 8 September lalu. Berdasarkan pengakuan Zaw dan Myo, militer setidaknya bertanggung jawab atas pembunuhan 180 orang Rohingya. Direktur Eksekutif Fortify Rights Matthew Smith mengatakan video itu menjadi batu loncatan bagi warga Rohingya dan masyarakat Myanmar untuk mendapatkan keadilan. "Orang-orang ini bisa menjadi pelaku kejahatan pertama yang diadili dan juga saksi penting di pengadilan," kata Smith.
Fortify Rights menilai rekaman pengakuan Zaw dan Myo kredibel. Informasi yang mereka sampaikan sesuai dengan laporan sejumlah organisasi advokasi hak asasi lain. Zaw dan Myo bahkan menyebutkan enam batalion infanteri yang terlibat dalam pembunuhan warga Rohingya. Enam atasan mereka juga disebut memerintahkan para prajurit menghabisi warga Rohingya. "Bunuh siapa pun, dewasa atau anak-anak," ucap Zaw seperti dilaporkan New York Times.
Lembaga itu juga meyakini kedua prajurit tersebut kini sudah berada dalam tahanan di Den Haag, Belanda, yang menjadi markas Mahkamah Pidana Internasional (ICC). "Pengakuan mereka menunjukkan apa yang sudah lama kita ketahui bahwa militer Myanmar memerintahkan prajurit untuk membunuh warga Rohingya," ujar Smith.
Namun ICC membantah kabar yang menyebutkan Mahkamah menahan kedua prajurit Myanmar tersebut. "Laporan-laporan itu keliru. Kami tidak menahan mereka di ICC," tutur Fadi el Abdallah dari ICC, seperti dilaporkan Reuters. Adapun juru bicara Pasukan Arakan, Khine Thu Kha, menyebut kedua tentara Myanmar itu sebagai desertir. Namun mereka bukan tahanan perang milisi Arakan. Khine tak mau mengungkapkan di mana posisi mereka sekarang.
Kantor Jaksa ICC juga telah merilis pernyataan bahwa mereka tidak akan berkomentar atas spekulasi atau laporan tentang investigasi mereka mengenai genosida Rohingya di Myanmar. Mereka juga menyebutkan tidak akan mendiskusikan aktivitas investigasi itu.
Menyebarnya pengakuan Zaw dan Myo membuka lembaran baru pengusutan dugaan pelanggaran hak asasi berat yang dilakukan militer Myanmar terhadap warga Rohingya. Hasil investigasi tim Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan sekitar 10 ribu warga Rohingya tewas diserang Tatmadaw. Sebanyak 200 permukiman Rohingya juga dihancurkan. Lebih dari 750 ribu warga Rohingya terpaksa melarikan diri ke Bangladesh. Mereka kini terkatung-katung di kamp pengungsian, terutama di Cox's Bazar, dan bertahan hidup dari bantuan donor.
Rohingya adalah salah satu kelompok etnis minoritas di Myanmar. Sebagian besar warga Rohingya menganut Islam dan tinggal di Negara Bagian Rakhine. Mereka menghadapi persekusi militer Myanmar sejak 1940-an. Aturan yang diterbitkan pemerintah pada 1982 tidak mengakui Rohingya dalam daftar 135 etnis negeri itu. Akibatnya, mereka kesulitan mendapat kewarganegaraan dan hak-hak dasar untuk hidup.
Zaw dan Myo memberikan pengakuan setelah membelot dari dinas militer Myanmar. Belum ada yang bisa memastikan apakah keduanya mengaku secara sukarela atau karena tekanan milisi Arakan yang menahan mereka. Pada pertengahan Agustus lalu, keduanya mendatangi perbatasan dan meminta perlindungan kepada pemerintah Bangladesh, yang kemudian langsung mengontak ICC yang kebetulan tengah menyelidiki kasus dugaan kejahatan para pemimpin Tatmadaw. Keduanya dilaporkan telah diterbangkan ke Den Haag.
Myanmar menuntut kedua prajurit itu dipulangkan. Juru bicara militer Myanmar, Mayor Jenderal Zaw Min Tun, mengatakan pengadilan sipil dan militer di negaranya masih berfungsi normal. Membawa kedua tentara itu untuk diadili atau dijadikan saksi di persidangan ICC merupakan intervensi dan melanggar proses hukum nasional. "Dua prajurit itu telah ditangkap dan dibawa ke sana. Mereka harus dikembalikan ke militer Myanmar," ujar Zaw Min Tun seperti dilaporkan portal berita Myanmar, Irrawaddy, pada Senin, 14 September lalu.
Mayor Jenderal Zaw menyebut milisi Arakan yang merekam video itu sebagai organisasi teroris yang memaksa kedua prajurit tersebut membuat pengakuan palsu. Menurut dia, proses pengadilan militer terhadap dugaan kejahatan di Rakhine sudah dimulai. Dia meminta siapa pun yang memiliki bukti pelanggaran hak asasi untuk mengirimkannya ke militer Myanmar. Tatmadaw, dia menambahkan, akan menggelar pengadilan militer terbuka untuk menangani kasus kekerasan terhadap warga Rohingya.
Tatmadaw mengakui adanya aksi kekerasan terstruktur sebelum dan selama konflik berdarah di Rakhine pada 2016-2017. Mereka dilaporkan tengah menyelidiki kemungkinan pola kekerasan yang lebih luas dalam konflik tersebut. Hingga saat ini, Myanmar membantah adanya genosida terhadap warga Rohingya. Aung Sang Suu Kyi, bekas aktivis prodemokrasi yang kini menjadi Penasihat Negara Myanmar, membantah adanya aksi pembantaian warga Rohingya yang disponsori negara ketika bersaksi di Mahkamah Keadilan Internasional pada Desember 2019.
Militer Myanmar menyatakan operasi yang mereka jalankan sudah sah karena melawan kelompok pemberontak Rohingya. Meski demikian, sejumlah tentara yang terlibat dalam insiden di beberapa desa sudah diseret ke pengadilan militer. Namun tak ada detail pelaku, jenis kejahatan, dan hukuman dari pengadilan itu yang dirilis kepada publik.
Dalam siaran pers di media pemerintah, seperti dilaporkan Al Jazeera, militer Myanmar menyatakan telah meninjau laporan lembaga negara yang menuduh sejumlah tentara melakukan kejahatan perang. Tuduhan yang tengah diselidiki militer Myanmar itu juga terkait dengan kejadian di desa-desa di wilayah Maungdaw di Rakhine. Kawasan yang berbatasan dengan Bangladesh ini merupakan salah satu target utama operasi militer pada 2017.
Komisioner Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia, Michelle Bachelet, mendesak agar ada langkah serius untuk menangani pelanggaran HAM berat terhadap warga Rohingya. Tatmadaw, menurut laporan Badan Hak Asasi Manusia PBB, terus menyerang dan memersekusi kelompok muslim Rohingya tiga tahun seusai serangan pada 2017. Hasil penyelidikan Komisi PBB pada 2019 menunjukkan banyak kejahatan perang yang dilakukan militer Myanmar yang mengarah pada genosida.
Bachelet menyampaikan laporan tentang serangan militer Myanmar terhadap warga Rohingya dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, Swiss, pada 14 September lalu. Konflik antara militer Myanmar dan milisi Arakan Rohingya itu memicu kekerasan, penculikan, pembunuhan, dan perusakan properti.
Bachelet mengatakan Tatmadaw diduga menangkap, menahan, dan menyiksa warga sipil. Sejak tahun lalu, krisis di Rakhine bahkan melibatkan serangan jet dan helikopter tempur serta artileri pemerintah ke area padat penduduk. "Jumlah korban warga sipil terus meningkat," tutur Bachelet. "Dalam beberapa kasus, mereka tampaknya sengaja diserang sehingga ini menjadi kejahatan perang, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan."
Perwakilan Myanmar di PBB, Kyaw Moe Tun, menyatakan isu di Rakhine ini kompleks dan sensitif. Menurut Kyaw, pemerintah Myanmar mengutamakan solusi terhadap isu tersebut. Dalam pernyataan yang sudah direkam, Kyaw menyebut krisis yang berlangsung di Rakhine disebabkan oleh serangan teroris yang menjadi lebih kompleks setelah ada pertempuran antara tentara pemerintah dan milisi Arakan.
Bachelet juga melaporkan soal dugaan penghancuran bukti-bukti kekerasan dalam operasi militer di Rakhine dengan membakar desa-desa. Nama Desa Kan Kya, yang merupakan bekas permukiman warga Rohingya, bahkan dihapus dari peta resmi. Desa yang terletak sekitar 5 kilometer dari Sungai Naf, yang menjadi perbatasan wilayah Rakhine dan Bangladesh, ini dibakar dan dibuldoser tentara seusai serangan.
Chan Aye, pejabat di Kementerian Luar Negeri Myanmar, membantah tuduhan tersebut. Menurut dia, mereka yang mengubah nama dan infrastruktur desa-desa tidak sengaja melakukannya. "Mereka tidak bermaksud menghancurkan barang bukti dan menghalangi warga Rohingya pulang," ucapnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, RADIO FREE ASIA, NEW YORK TIMES, AL JAZEERA, BBC, AP, CNN, VOA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo