Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

sains

Anjing Pendeteksi Covid Bandara Dubai

Studi awal menunjukkan bahwa anjing dapat mengidentifikasi orang yang positif Covid-19. Uni Emirat Arab sudah menempatkan anjing K9 di bandaranya.

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Bandar Udara Dubai di Uni Emirat Arab menggunakan anjing pelacak K-9 untuk mendeteksi penumpang yang mengidap Covid-19.

  • Anjing-anjing K-9 itu telah dilatih untuk mengenali aroma khas yang ditimbulkan virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19 ketika menginfeksi sel manusia.

  • Anjing mampu mendeteksi karena mempunyai indra penciuman yang tajam dengan memiliki 300 juta sel reseptor di hidungnya.

SEMUA bandar udara di dunia memperketat pemeriksaan kesehatan untuk membendung penularan SARS-CoV-2, virus pemicu Covid-19 yang secara global sampai awal September lalu sudah menginfeksi sekitar 30 juta manusia dan menewaskan hampir sejuta jiwa. Di Bandara Internasional Dubai, Uni Emirat Arab, menurut lonelyplanet.com, penumpang harus menunjukkan hasil pengujian polymerase chain reaction (PCR) yang negatif Covid-19 tidak lebih dari 96 jam sebelum keberangkatan, mulai 1 Agustus 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bukan cuma itu, otoritas Bandara Internasional Dubai juga memperkuat pintu gerbang masuk ke negaranya dengan menempatkan anjing pelacak K9 untuk mendeteksi kemungkinan adanya penumpang yang terinfeksi virus SARS-CoV-2. “Sebuah area didedikasikan untuk mendeteksi Covid-19 menggunakan anjing polisi K9,” kata Mayor Salah Al Mazrooei dari Kepolisian Dubai dalam sebuah video dari kantor berita Uni Emirat Arab, WAM, yang dikutip thenational.ae, awal Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Otoritas bandara meyakinkan penumpang untuk tidak takut karena tak ada kontak langsung antara penumpang yang diperiksa dan anjing. Petugas dari Otoritas Kesehatan Dubai cukup mengambil sampel keringat penumpang. Sampel keringat itu kemudian ditempatkan dalam pot dengan lubang seperti corong untuk diendus oleh anjing dari sebuah ruangan yang terisolasi. Jika anjing mendeteksi keberadaan virus SARS-CoV-2 atau hasil positif, penumpang akan dibawa untuk menjalani tes usap rongga hidung.

Bandara Internasional Soekarno-Hatta juga menerapkan protokol kesehatan ketat sesuai dengan ketentuan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kesehatan. Ada pengecekan suhu dengan thermal scanner ataupun hand scanner, pengisian Kartu Kewaspadaan Kesehatan (Health Alert Card), dan pengecekan hasil rapid test untuk keberangkatan domestik. “Untuk pemanfaatan anjing sebagai pendeteksi Covid, tidak menutup kemungkinan,” ujar Vice President of Corporate Communications PT Angkasa Pura II Yado Yarismano, Senin, 14 September lalu.

• • •

PEMANFAATAN anjing sebagai pendeteksi Covid-19 diteliti sejumlah ilmuwan di berbagai negara. Di Amerika Serikat, penelitian awal soal ini salah satunya dilakukan oleh School of Veterinary Medicine University of Pennsylvania pada April lalu. “Dampak potensial dari anjing-anjing ini dan kapasitasnya untuk mendeteksi Covid-19 bisa sangat besar,” kata Cynthia Otto, profesor dan Direktur Penn Vet's Working Dog Center, seperti dilansir situs University of Pennsylvania. Di Eropa, salah satu yang melakukan penelitian serupa adalah University of Veterinary Medicine di Hannover, Jerman.

Uni Emirat Arab, sebelum mulai menempatkan anjing K9 di bandara, mengklaim sudah menyelesaikan eksperimen dan studi ilmiah. Eksperimennya menggunakan sampel keringat dari ketiak manusia. Menurut Kementerian Dalam Negeri, seperti dikutip WAM edisi 8 Juli 2020, eksperimen dilakukan atas kerja sama sejumlah instansi serta dilakukan di beberapa instalasi kesehatan dan infrastruktur penting. Hasilnya, akurasi anjing bisa mendeteksi kasus Covid-19 mencapai 92 persen.

Menurut peneliti di Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pangda Sopha Sushadi, penelitian soal pemanfaatan anjing sebagai pendeteksi Covid-19 yang ia nilai paling maju adalah oleh University of Veterinary Medicine Hannover itu. Hasil studinya sudah dipublikasikan dalam jurnal BMC Infectious Diseases milik BioMed Central Ltd pada 23 Juli lalu dengan judul “Scent dog identification of samples from COVID-19 patients—a pilot study”.

Dalam studinya, University of Veterinary Medicine melatih delapan anjing selama satu minggu untuk mendeteksi air liur dari pasien yang terinfeksi Covid-19. Hasilnya, anjing mampu membedakan sampel yang terinfeksi (positif Covid-19) dan yang tidak terinfeksi (negatif) dengan sensitivitas diagnostik rata-rata 82,63 persen. Studi awal ini, tulis tim peneliti, menunjukkan bahwa anjing dapat mengidentifikasi orang yang positif terinfeksi.

Menurut Pangda, anjing memang sudah umum dipakai untuk mendeteksi sesuatu berdasarkan aroma. Itu sebabnya anjing antara lain dipakai untuk mendeteksi narkotik. “Karena anjing punya sekitar 300 juta sel reseptor penciuman di hidungnya. Sangat banyak dibanding manusia, yang hanya sekitar 6 juta sel reseptor. Karena itu, penciuman anjing jauh lebih baik daripada manusia ataupun hewan lain,” ucapnya, Selasa, 15 September lalu.

Pertimbangan lain yang juga membuat anjing menjadi alternatif untuk mendeteksi aroma adalah karena ia binatang yang mudah dilatih. Pangda menambahkan, sebenarnya ada hewan lain yang juga memiliki indra penciuman cukup kuat, yaitu tikus. “Tapi melatih tikus lebih susah daripada anjing,” tuturnya.

Dalam penelitian soal Covid-19 ini, anjing dilatih mendeteksi aroma khusus dari orang yang terinfeksi. Covid-19 disebabkan oleh virus. Ketika menginfeksi manusia, virus masuk ke dalam sel, lalu melakukan aktivitas replikasinya yang menyebabkan kerusakan di sel. “Kerusakan di sel itu menghasilkan senyawa kimia yang khas atau volatile organic compound (VOC). Untuk setiap kerusakan sel akibat penyakit itu menimbulkan aroma yang khas dan itu bisa dicium oleh anjing,” kata Pangda. Pendekatan yang sama terjadi saat anjing dipakai untuk mendeteksi kanker.

Dalam penelitian oleh University of Veterinary Medicine itu, peneliti mengambil sampel air liur pasien yang sudah positif dan dirawat di rumah sakit. Sampel lain diambil dari orang yang benar-benar sehat atau negatif berdasarkan tes PCR dan tidak menunjukkan gejala. Sebelumnya, di sampel yang pertama itu, virusnya dimatikan dan dipastikan tidak akan menginfeksi, tapi aromanya masih ada.

Anjing yang terlibat dalam penelitian itu diminta mendeteksi sampel dari sel yang mengalami kerusakan. “Kalau bisa mencium yang positif, ia diberi hadiah makanan. Diulang-ulang seminggu sampai ia sensitif mencium aroma dari sampel positif tersebut,” ucap Pangda. Hasilnya menunjukkan bahwa anjing memiliki sensitivitas cukup tinggi. “Cuma, penelitian ini masih pilot study. Artinya masih awal sekali, dengan anjingnya hanya delapan dari sampel 10 ribu. Masih butuh pendalaman.”

Dalam penelitian di Jerman itu tak disebutkan jenis anjing yang bisa dilatih untuk mendeteksi Covid-19. Biasanya, kata Pangda, ras anjing yang bisa dipakai untuk kebutuhan semacam ini adalah German shepherd, Belgian malinois, dan labrador retriever. Adapun School of Veterinary Medicine University of Pennsylvania menggunakan delapan labrador retriever berwarna kuning, hitam, dan cokelat.

Pangda menjelaskan, metode pendeteksi Covid-19 menggunakan anjing punya kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya, dibandingkan dengan diagnosis menggunakan rapid test, persentase sensitivitasnya lebih tinggi. “Tapi, dibanding PCR, masih jauh. PCR itu gold standard. PCR sensitivitasnya 98 persen, anjing 86 persen. Kalau masalah waktu, anjing lebih cepat. Cuma keakuratannya masih kalah,” tuturnya.

Meski bisa cepat, pendeteksi menggunakan anjing tidak bisa mengetahui keparahan kondisi pasiennya. Konsentrasi virus di dalam sampel tidak ketahuan oleh deteksi anjing, yang berbeda jika menggunakan PCR. “Setelah anjing mencium (dan dideteksi positif), itu kan masih diduga positif. Harus dilakukan PCR lagi untuk memastikan positif atau tidak,” kata Pangda.

Kekurangan lain dari pendeteksi menggunakan anjing adalah soal potensi gangguan yang berdampak pada akurasi hasil. Selain itu, harga anjing dan biaya pemeliharaannya yang mahal. Sebelum mendeteksi, kondisi anjing perlu dipastikan sehat, tidak ada organ penciuman yang terganggu fungsinya. “Kita juga perlu memastikan, di tempat melakukan deteksi, tidak ada senyawa VOC lain yang berbau kuat. Sebab, itu bisa mempengaruhi akurasi pendeteksiannya,” ucap Pangda.

ABDUL MANAN (VET.UPENN.EDU, BMC INFECTIOUS DISEASES, LIVESCIENCE.COM, THE WASHINGTON POST, THE PHILADELPHIA INQUIRER)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus