Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH ironi: pada saat anggaran negara tengah dibutuhkan untuk memerangi pandemi, Kementerian Pertahanan Republik Indonesia justru jorjoran berbelanja senjata. Dengan dalih memodernisasi persenjataan untuk menjaga kedaulatan negara, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto berburu alat utama sistem persenjataan ke Eropa dan Amerika. Menurut Badan Pusat Statistik, impor senjata dan amunisi pada kuartal pertama 2020 melonjak 606 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sempat turun pada 2018, anggaran pertahanan dan pengadaan alutsista di era Menteri Prabowo terus melonjak, menduduki peringkat kedua belanja kementerian terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Tahun depan bujet yang umumnya bersumber dari utang luar negeri itu naik sekitar Rp 20 triliun. Peningkatan itu berbanding terbalik dengan bujet penanganan Covid-19, yang turun dari Rp 87,5 triliun menjadi Rp 24,40 triliun. Belanja kesehatan tahun depan juga dipangkas hingga 20 persen. Anggaran Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, yang berperan besar dalam pemulihan ekonomi pada saat pandemi, bahkan hanya 0,7 persen dari bujet Kementerian Pertahanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prabowo berencana memborong 15 pesawat tempur Eurofighter Typhoon bekas milik Angkatan Udara Austria. Diragukan keandalannya, pesawat tempur bekas ini akan menggantikan Sukhoi Su-35, yang dibeli Menteri Pertahanan sebelumnya. Pembelian bertubi-tubi ini menunjukkan keputusan pembelian alutsista tidak dilatarbelakangi pertimbangan jangka panjang. Ada kesan: ganti menteri, ganti senjata.
Pembelian senjata untuk menjaga kedaulatan negara merupakan lagu lama yang kerap diputar tiap kali Kementerian Pertahanan mengajukan kenaikan anggaran. Tak pernah ada penjelasan terbuka: seberapa urgen senjata-senjata itu dibeli dan seberapa terancam kedaulatan kita sehingga perlu dilindungi oleh pesawat tempur tambahan. Selayaknya pemerintah sadar: kedaulatan Indonesia kini terancam oleh sikap pemerintah yang mengabaikan hak asasi, misalnya di Papua.
Segendang sepenarian, Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pemangku kepentingan dalam penentuan bujet tidak kritis menyoroti permintaan Kementerian Pertahanan. Menteri Keuangan Sri Mulyani, yang biasanya cerewet “membintangi” anggaran yang tak masuk akal, kini ikut-ikutan membisu.
Telah lama jadi perhatian para ahli, peningkatan bujet pertahanan tidak sekadar mencerminkan sikap adigang-adigung suatu negara kepada negara lain, tapi juga menunjukkan komitmen pemerintah negara itu terhadap demokrasi. Sebuah studi yang dilakukan Universitas London tentang belanja militer di 112 negara pada 1960-2000 menunjukkan negara yang punya komitmen terhadap demokrasi menggunakan persentase produk domestik bruto yang kecil untuk belanja militer. Sebaliknya, negara otokrasi mengalokasikan lebih banyak.
Sikap Prabowo yang tertutup perihal anggaran alutsista menambah buruk kontrol publik terhadap belanja militer Indonesia. Klaim kerahasiaan atas nama keamanan nasional pada praktiknya digunakan sebagai alasan untuk melanggengkan penyelewengan anggaran senjata. Dalam sepuluh tahun terakhir, sejumlah kasus korupsi pengadaan alutsista terjadi. Pada 2010-2014, misalnya, korupsi pengadaan pesawat F-16 dan helikopter Apache terbongkar. Pembelian helikopter AgustaWestland-101 pada 2016 ditengarai juga penuh rasuah.
Tak selayaknya Presiden Joko Widodo membiarkan peningkatan belanja militer itu terjadi. Kecuali ia mengamini sejumlah pendapat yang terdengar selama ini: Indonesia telah beranjak dari negara demokrasi ke otokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo