Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA tak ada aral, Joe Biden akan menjadi Presiden Amerika Serikat ke-46 menggantikan Donald Trump. Kemenangan Biden mengembuskan angin segar: Amerika akan kembali terlibat dalam sejumlah komitmen global dan inisiatif multilateral yang ditinggalkan oleh Trump. Biden, misalnya, sudah berjanji akan mematuhi Kesepakatan Paris tentang perubahan iklim dan menyisihkan lagi dana untuk badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi harapan terbesar yang dibawa Biden adalah tumbangnya Trumpisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat tahun ke belakang, dunia dicekam oleh Trumpisme: gaya kepemimpinan Trump yang mengusung nasionalisme sempit, populisme ekonomi, serta tak peduli etika dan nilai-nilai demokrasi. Trumpisme juga tak menganggap penting isu hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan. Trump menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Untuk mengalihkan perhatian dan menutupi persoalan, Trump menyebar klaim dan tudingan tak masuk akal. Polarisasi menajam dan pertikaian antarkelompok meruncing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Trumpisme juga mewarnai strategi diplomasi luar negeri pemerintah Trump. Mencari sekutu melawan Cina, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo bersafari ke sejumlah negara, termasuk Indonesia, pada akhir Oktober lalu. Saat berbicara di depan Gerakan Pemuda Ansor, dia berbicara soal sentimen kaum muslim di Indonesia terhadap isu komunisme. Pompeo menuding Partai Komunis Cina adalah bahaya terbesar untuk kebebasan beragama. Provokasi ala Pompeo ini mudah dibaca sebagai politik adu domba.
Karena itu, daya rusak Trumpisme tidak hanya membahayakan publik Amerika, tapi juga warga negara-negara lain. Apalagi banyak penguasa kini meniru gaya kepemimpinan Trump. Dari India hingga Filipina, para pemimpin yang terpilih secara demokratis justru beramai-ramai melumpuhkan demokrasi. “Pandemi” Trumpisme ini juga melanda Indonesia. Kecenderungan pemerintah Joko Widodo melaksanakan pembangunan ekonomi dengan mengabaikan hak asasi dan lingkungan adalah salah satu bentuknya.
Cuitan seorang pejabat pemerintah kita di Twitter bahwa Trump lebih menguntungkan bagi Indonesia karena, di bawah dia, Amerika tidak peduli soal hak asasi merupakan pengakuan jujur. Pernyataan itu mengindikasikan pemerintah Jokowi memang tidak punya niat memperbaiki penegakan hak asasi di negeri ini.
Kesan itu makin kuat tertangkap jika kita mencermati berbagai pelemahan institusi-institusi demokrasi pada era pemerintahan Jokowi. Segala yang baik yang lahir dari rahim reformasi dijungkirbalikkan. Komisi Pemberantasan Korupsi dipereteli. Komisi Yudisial tak diberi ruang. Mahkamah Konstitusi dijinakkan dengan perpanjangan usia pensiun hakim. Karya monumental Presiden Jokowi, omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, praktis membuka keran investasi ekonomi dengan mengorbankan perlindungan lingkungan, hak buruh, dan masyarakat adat.
Di Amerika, Trump melakukan hal serupa. Dia mengobrak-abrik kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya yang dianggap baik, misalnya Obamacare, dan inisiatif-inisiatif internasional, seperti perjanjian perdamaian nuklir Iran. Kekacauan yang kemudian muncul dikaburkan oleh propaganda, bahkan hoaks. Sampai di sini, kita tidak merasa asing dengan cara-cara ini.
Agaknya akan butuh waktu sebelum semua jejak Trumpisme terkikis habis. Selama empat tahun memerintah, Trumpisme telah berurat dan berakar. Apalagi perolehan suara Donald Trump bahkan lebih tinggi dari perolehan suaranya pada pemilihan 2016. Ikhtiar menghalau Trumpisme bakal panjang dan berliku, seperti perjuangan ingatan melawan lupa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo