Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bulog mendapat hak monopoli impor daging kerbau dari India.
Distribusi daging impor Bulog dikuasai satu perusahaan.
Menteri Pertanian menunjuk 19 importir baru untuk mengimpor daging kerbau.
JANJI Presiden Joko Widodo bahwa di periode kedua pemerintahannya Indonesia mampu mencapai swasembada daging tampaknya makin mustahil terwujud. Alih-alih meningkatkan produksi dalam negeri dan menahan gejolak harga, daging impor menjadi sumber konflik anggota kabinet yang membawa kepentingan segelintir pengusaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harga daging sapi dan kerbau terus melambung dalam enam bulan terakhir. Harga daging sapi mencapai Rp 100 ribu per kilogram, jauh meninggalkan harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 80 ribu. Adapun harga daging kerbau menembus Rp 90 ribu, di atas harga normal Rp 80 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan harga ini di luar kewajaran. Apalagi pemerintah telah membuka keran impor daging kerbau agar bisa menambal kurangnya pasokan daging sapi yang membuat harganya melampaui HET. Namun ikhtiar itu sia-sia karena harga barang substitusi ini terus membubung nyaris mendekati harga daging sapi.
Gejolak harga daging kerbau sejatinya sudah diprediksi jauh-jauh hari. Pangkal masalahnya adalah sistem pengadaan melalui impor yang keliru dan hanya menguntungkan beberapa pengusaha. Sudah terbukti, kebijakan serupa berkali-kali gagal mengatasi persoalan daging, bahkan sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kekisruhan bermula dari hak monopoli yang diberikan pemerintah kepada Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) sejak 2018. Perusahaan negara di bidang logistik dan pangan ini mendapat penugasan dari pemerintah untuk mengimpor daging kerbau, dan kemudian menyalurkannya ke banyak distributor.
Alih-alih melakukan itu, Bulog malah menyerahkan kewenangan distribusi kepada PT Suri Nusantara Jaya dan sejumlah perusahaan afiliasinya. Monopoli distribusi ini menambah biaya ekonomi dan merugikan konsumen. Keuntungan dari rantai distribusi yang tidak sehat itu dinikmati segelintir pebisnis yang dekat dengan pejabat tinggi negara.
Pemberian hak menjadi distributor tunggal jelas melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lewat penunjukan itu, Suri Nusantara Jaya meraup untung besar karena cukup membeli daging kerbau dari Bulog Rp 70 ribu per kilogram, lalu menjualnya ke pengecer dan distributor lain Rp 84-85 ribu, jauh di atas harga acuan Rp 80 ribu per kilogram.
Dalam rapat koordinasi terbatas pada 25 Januari lalu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memutuskan impor 100 ribu ton daging kerbau dari India oleh Bulog. Berbekal restu itu, Bulog akan mulai mendatangkan daging kerbau asal India pada pekan kedua Maret mendatang. Selanjutnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, hak distribusi bakal kembali diserahkan kepada PT Suri Nusantara Jaya, yang selanjutnya menjualnya ke perusahaan-perusahaan lain.
Kekacauan tidak berhenti di sini. Kementerian Pertanian menunjuk 19 perusahaan importir daging, yang beberapa di antaranya pernah tersangkut masalah hukum jual-beli kuota impor. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berdalih penunjukan itu sah karena diatur Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2022 yang mengizinkan impor daging oleh swasta.
Adu kuat kewenangan seputar impor daging kerbau ini melahirkan konflik Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dan Airlangga Hartarto di satu pihak versus Syahrul Yasin Limpo di pihak lain. Sengkarut juga meruapkan aroma politik karena Syahrul adalah politikus Partai NasDem, sementara Airlangga Ketua Umum Partai Golkar dan Budi Waseso dekat dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Artikel:
- Menahan Daging Kerbau di Satu Tangan
- Jejaring Bisnis Juragan Daging
- Pasokan Seret, Harga Daging Meroket
- Wawancara Bulog Soal Distributor Tunggal Daging Kerbau
Presiden Jokowi tidak boleh membiarkan kondisi buruk ini berlarut-larut. Langkah awal yang harus diambil adalah membuang jauh-jauh mimpi menjadikan Indonesia negara swasembada daging. Kondisi alam kita tidak cocok menjadi lahan peternakan sapi dan kerbau berskala besar.
Setelah itu, Jokowi mesti mengarahkan kebijakan pengadaan daging mengikuti mekanisme pasar terbuka guna menciptakan kompetisi yang sehat. Tata niaga daging yang selama ini memakai sistem kuota harus diakhiri. Sudah terbukti, kuota hanya menjadi dagangan para pemegang kebijakan yang bersekutu dengan para pemburu rente.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo