Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintahan Prabowo Subianto berencana mengubah skema penyaluran subsidi energi lewat bantuan langsung tunai.
Selama ini subsidi BBM banyak salah sasaran.
Penyaluran bantuan akan tepat sasaran jika dibarengi dengan pendataan yang akurat.
RENCANA pemerintah mengalihkan subsidi energi—bahan bakar minyak dan listrik—menjadi bantuan langsung tunai (BLT) merupakan langkah yang tepat. Subsidi sudah seharusnya tidak diberikan lewat barang yang bisa dibeli siapa saja, tapi langsung disalurkan ke orang per orang yang membutuhkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama ini, subsidi BBM, misalnya, lebih banyak dinikmati kelompok masyarakat mampu, pemilik kendaraan pribadi, dan bahkan pengusaha. Sedangkan masyarakat miskin hanya menerima manfaat yang teramat minim. Data Kementerian Keuangan pada 2022 menunjukkan betapa jauhnya subsidi BBM dari sasaran yang diharapkan. Sebanyak 89 persen subsidi solar dinikmati oleh sektor usaha, sementara hanya 11 persen yang dirasakan oleh rumah tangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ironisnya, dari total rumah tangga pengguna solar bersubsidi, 95 persen adalah rumah tangga mampu. Hanya 5 persen petani dan nelayan miskin yang memperoleh manfaat untuk kebutuhan harian mereka. Kondisi serupa terjadi pada subsidi bahan bakar jenis Pertalite, yang sekitar 80 persen dinikmati oleh rumah tangga mampu untuk kendaraan pribadi mereka. Akibatnya, sekitar Rp 100 triliun dari total Rp 435 triliun subsidi dan kompensasi energi pada 2022 meleset dari sasaran utama.
Anggaran subsidi energi pun terus membengkak. Pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, subsidi energi naik drastis, dari Rp 58,5 triliun pada 2022 menjadi Rp 186,9 triliun pada 2024. Tanpa adanya perubahan mekanisme subsidi BBM, anggaran negara akan terus terbebani dan dana yang seharusnya dialokasikan untuk sektor-sektor prioritas lainnya akan terbuang sia-sia.
Dengan mengalihkan subsidi dari produk BBM menjadi BLT, pemerintah seharusnya bisa memastikan bahwa bantuan diterima oleh masyarakat miskin, bukan kelompok kaya yang justru mengkonsumsi BBM lebih banyak. Dengan metode penyaluran bantuan langsung, anggaran subsidi pun dapat lebih terkontrol.
Namun ada tantangan besar yang menghadang: ketidakakuratan data penerima. Pada 2020, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan bahwa 10,9 juta data nomor induk kependudukan dan 16,3 juta kartu keluarga dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak valid. Padahal DTKS menjadi dasar penyaluran bantuan sosial. Tidak mengherankan jika Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan bahwa 46 persen penerima bantuan sosial tidak tepat sasaran.
Dampak buruk dari ketidakakuratan data sangat serius. Sebagai ilustrasi, sopir pengangkut bahan kebutuhan pokok yang tidak tercatat dalam data penerima bantuan tunai akan kesulitan menanggung kenaikan harga BBM setelah subsidinya dicabut. Kesulitan ini bisa memaksa mereka menaikkan tarif logistik, yang akhirnya melambungkan harga bahan pokok dan memicu inflasi.
Begitu pula dengan petani dan nelayan kecil. Bila pendataan tidak akurat, mereka tak akan menerima BLT yang sangat penting untuk menopang kebutuhan harian mereka, sementara harga BBM telanjur naik. Pada akhirnya, kenaikan harga BBM tanpa kompensasi dapat memperlebar ketimpangan dan menurunkan daya beli masyarakat miskin.
Alih-alih menjadi solusi, jika tidak dikelola dengan baik, penyaluran subsidi BBM melalui bantuan tunai malah bisa menimbulkan masalah baru.