Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENUNGGU film The United States vs. Billie Holiday, sebuah doku-drama dengan sutradara Lee Daniels.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisakah musik marah, juga dari laring orang hitam? Rasanya tidak. Dan ternyata memang tidak—juga ketika Billie Holiday, dalam hidupnya yang getir, menyanyi dari klub ke klub di Amerika tahun 1930-an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tiap lagu yang dibawakan perempuan penyanyi ini, kemarahan seperti menyembunyikan diri di lembap pita suara. Lebih tua tapi juga lebih muda ketimbang umurnya (terentang pendek antara 1915 dan 1959), sejarah yang membentuk Billie Holiday seperti lumpur yang seret mengalir: sejarah diskriminasi rasial.
Apa sebenarnya yang benar-benar berubah sejak negro pertama digantung beramai-ramai orang putih di abad ke-19, sampai dengan ketika “Strange Fruit” dinyanyikan Billie di Café Society di Greenwich Village, New York, di tahun 1938, tentang tubuh-tubuh hitam yang berayun-ayun digantung di dahan poplar? Apa yang benar-benar berubah sampai tahun 2020, saat George Floyd mati dicekik polisi di jalan?
Seseorang pernah mengatakan, Billie Holiday menanggungkan “penyakit yang tak dapat disembuhkan”: ia dilahirkan sebagai orang hitam di masyarakat kulit putih. Dan ketika ia menyanyi, dalam kata-kata seorang kritikus musik, “Ada amarah yang berdesir di tiap suku kata yang terucap di mulutnya... tapi juga ada sesuatu yang berkabung dalam-dalam”.
Mungkin tak bisa lain.
Nama aslinya Eleanora Fagan. Ia lahir di Baltimore Timur, tinggal bersama kakek-nenek dan para sepupu, di sebuah rumah yang berjejal. Ibunya, Sadie, bekerja sebagai babu di New York. Ayahnya, atau orang yang diduga sebagai ayahnya, seorang pemain gitar di orkes yang tak jelas, mengawini Sadie ketika Billie berumur 3 tahun, dan setelah itu menghilang.
Pada usia 10, ia nyaris diperkosa tetangganya. Pada usia 14, ia diperkosa.
Di tahun 1929, Billie menyusul ibunya ke New York. Tak ada tempat tinggal, mereka masuk ke sebuah bordil di bagian utara kota. Sang ibu jadi pelacur, si upik mendapatkan lima dolar buat pelayanan seks.
Kerja itu kemudian berakhir. Ada cerita bahwa polisi merazia tempat itu—pelacuran memang ilegal—dan Sadie dan Billie dipenjarakan di Welfare Island di East River, muara asin di seberang timur Manhattan. Billie sendiri punya cerita lain: ia dimasukkan di bui yang penuh tikus itu karena menolak melayani seorang pelanggan yang berkuasa.
Ibunya disekap selama tiga bulan. Ia enam bulan. Tapi nasib masih bisa baik. Di penjara itu ia dengar buat pertama kalinya musik jazz, jenis musik yang kelak akan bertaut dengan hidupnya.
Dan ia dengar tentang Harlem. Di tahun 1920-an itu, Harlem, di bagian utara Kota New York, adalah “ibu kota artistik dan intelektual dunia Negro”, untuk memakai kata-kata James Welden Johnson, penulis, aktivis, dan cendekiawan hitam terkemuka. Penyair Langston Hughes dan ilmuwan W.E.B. Du Bois hidup dan berkarya di sana. Orang kulit putih memang memiliki hampir semua tempat, tapi orang hitam bisa mengatakan, merekalah yang memiliki kehidupan kreatif, meskipun dalam hidup yang kepepet. Mereka punya musik.
Di Harlem juga Billie menjadi penyanyi. Tanpa direncanakan.
Suatu hari, kedinginan dan kelaparan, ia menyusur selusin blok di Seventh Avenue. Ia mengetuk pintu tiap klub dan tiap bar minuman keras. Akhirnya ia berhenti di Log Cabin yang dikelola Jerry Preston. Billie bilang ia cari kerja, ia seorang penari. Ketika terbukti ia tak bisa menari, ia bilang ia bisa menyanyi. Preston menjawab: “Nyanyilah”.
Di sudut seorang lelaki tua duduk di depan piano; ia memainkan “Travelin‘”. Billie mengikuti melodi itu. Mendengar suara yang seperti getar dan gerit, para tamu bar menengok ke arahnya. Ketika pemain piano berganti memainkan “Body and Soul” dan Billie mengiringi, mata orang-orang itu basah.
Lagu itu sentimentil, memang, pinta seorang perempuan kepada lelaki yang dikasihinya dengan sia-sia.
Agaknya dari lirik macam ini jazz pernah dianggap hanya “ratapan ketidak-bebasan”. Tapi tak harus dilihat demikian. Tiap kali Billie menyanyi, ia seakan-akan menegaskan bahwa Harlem, New York, dan USA adalah raksasa bising yang membungkam suara yang berbeda—suara Billie, suara mereka yang diinjak-injak. Dan memilih berbeda adalah sebuah perlawanan.
Jazz is the big brother of Revolution, kata Miles Davis.
Tentu dilebih-lebihkan. Tapi musik adalah energi yang lahir kembali—selalu mengajak lahir kembali. Ketika sejarah ingar-bingar dan—untuk meminjam kata-kata Marx—“endapan masa lalu memberati kesadaran kita seperti mimpi buruk”, Billie Holiday seakan-akan berkata: Aku menghalau mimpi buruk; aku menyanyi, maka kita ada.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo