Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Bersama Menyelamatkan BPJS

Tanpa kenaikan iuran peserta, defisit BPJS Kesehatan bakal melebar. Jika rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi diikuti, BPJS bisa menghemat Rp 12 triliun.

14 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYELENGGARAAN Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang sangat amburadul saat ini merupakan efek dari perencanaan yang tidak matang dan implementasi yang terburu-buru. Jumlah peserta yang seharusnya tidak ditanggung BPJS Kesehatan sangat besar, pelayanan yang sifatnya universal, mekanisme hubungan BPJS-rumah sakit yang belum baku, serta perilaku rumah sakit yang menggelembungkan biaya, menaikkan kelas pasien, atau memalsukan kategorisasi jenis operasi (fraud) bersama-sama membuat BPJS defisit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Defisit BPJS Kesehatan yang terus menggunung merupakan ujung dari berbagai kesemrawutan tersebut. Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan uji materi (judicial review) terhadap Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan memperparah persoalan yang dihadapi BPJS Kesehatan. Gugatan uji materi ini diajukan komunitas pasien cuci darah Indonesia pada Desember 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dampak langsung dari putusan MA tersebut adalah pada keuangan BPJS Kesehatan. Setiap tahun, defisit lembaga yang berdiri pada 1 Januari 2014 itu terus membengkak. Sejak 2017, defisit tersebut sudah mencapai dua digit. Tahun 2020, defisit diperkirakan mencapai Rp 25,87 triliun, dengan sudah memperhitungkan efek kenaikan iuran yang cukup tajam mulai awal tahun ini. Dengan putusan MA tersebut, jumlah defisit bisa dipastikan lebih besar.

Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mengkaji berbagai persoalan di atas dan telah menyampaikan sederet rekomendasi kepada Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada November 2019, tak lama setelah ia dilantik sebagai Menteri Kesehatan. Kajian KPK itu menunjukkan banyaknya malpraktik atau disfungsi yang terjadi dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Jika rekomendasi KPK tersebut dituruti, BPJS Kesehatan bisa mengurangi defisit hingga Rp 12 triliun.

Pemerintah menyubsidi BPJS dalam dua bentuk. Pertama, membayarkan iuran penduduk miskin. Kedua, memberikan penyertaan modal negara untuk menutup defisit. Untuk yang pertama, pemerintah sesungguhnya bisa merasionalisasi peserta Penerima Bantuan Iuran agar jumlahnya wajar. Saat ini jumlahnya diperkirakan berkisar 30 juta. Dengan tarif lama untuk kelas III sebesar Rp 25.500, iuran yang mesti tidak ditanggung pemerintah ini mencapai hampir Rp 1 triliun.

Kenaikan tarif rata-rata 88 persen pada awal 2020 sebetulnya dimaksudkan untuk mengurangi defisit tersebut. Namun putusan MA mengharuskan pemerintah mencari jalan lain. Upaya ini tidaklah mudah. Misalnya pengurangan jenis penyakit yang ditanggung, antara lain cuci darah dan kanker, terbukti menjadi isu yang sangat sensitif dalam pelayanan BPJS. Pembatasan masa perawatan selama maksimal tiga hari menuai banyak protes dari keluarga pasien.

Masalahnya adalah pemerintah tidak mungkin mundur dalam pelayanan kesehatan universal ini. Karena itu, diperlukan manajemen BPJS yang mampu berpikir out of the box pada saat kejepit seperti sekarang ini. Tuntutan tersebut sangat wajar mengingat manajemen BPJS Kesehatan digaji besar. Para pengawas juga harus bekerja keras agar manajemen tidak kolokan dan sedikit-sedikit mengandalkan pemerintah untuk menyelesaikan masalah mereka.

Peserta BPJS Kesehatan juga mesti ikut bertanggung jawab dalam asuransi sosial ini dengan membayar iuran tepat waktu. Mereka tidak bisa lagi hit and run: hanya membayar iuran ketika sakit. Pengelola rumah sakit tak boleh lagi melakukan fraud agar klaimnya besar. Pengelola BPJS, rumah sakit, dan peserta memang harus bersatu padu menyelesaikan masalah bersama ini. Tanpa itu, putusan MA hanya akan menjerumuskan BPJS makin dalam.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus