Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah menghapus data kematian Covid-19.
Kekacauan data disebabkan oleh tidak optimalnya pemerintah daerah.
Data keliru mengganggu pembuatan kebijakan penuntasan wabah corona.
DALAM persoalan data pandemi Covid-19, Indonesia bak jalan di tempat sepanjang satu setengah tahun ini. Masalah pada elemen terpenting untuk pengendalian pagebluk ini tak kunjung beres ketika banyak negara lain mulai terbebas dari penyebaran virus corona. Selain membuka kelemahan sistem kesehatan, pandemi mengungkap buruknya hasil proses demokrasi kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah data ini kembali mengemuka ketika pemerintah menghapus data kematian dari indikator evaluasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang ditunjuk Presiden Joko Widodo untuk mengendalikan wabah di Jawa-Bali, beralasan metode pelaporannya bermasalah. Menurut dia, angka kematian yang diunggah ke database pemerintah selalu terlambat dan kerap hanya merupakan akumulasi data selama beberapa pekan sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika pemerintah mau mendengar masukan dari kelompok-kelompok independen, kekisruhan data pandemi semestinya sudah bisa dideteksi dari awal. LaporCovid-19, yang mengumpulkan angka dari publikasi resmi pemerintah daerah di seluruh Indonesia, telah menemukan ketidaksesuaian data sejak tahun lalu. Organisasi independen ini pun menyimpulkan angka kematian sesungguhnya jauh lebih besar daripada data resmi pemerintah.
Kekisruhan itu menunjukkan buruknya kualitas sistem dan birokrasi dari jenjang terbawah. “Indonesia 4.0” yang seharusnya mengintegrasikan aneka data secara daring tampaknya baru sebatas slogan. Gampang saja mendeteksinya: jumlahkan saja angka-angka pandemi dari satu level ke level di atasnya pada kurun yang sama, maka hasilnya akan berbeda.
Pemerintah daerah jelas bertanggung jawab atas kekisruhan itu. Banyak pemerintah daerah cenderung mengecil-ngecilkan angka penularan, termasuk yang berakibat kematian. Patut diduga mereka melakukannya untuk menghindari penilaian gagal dalam menangani pandemi—yang artinya akan menjadi beban bagi tujuan politik masa depan mereka. Bias data itu berlanjut hingga jenjang di atasnya.
Proses demokrasi yang lebih bertumpu pada prosedural, bukan substansial, juga menghasilkan pemimpin tak cakap, terutama pada saat harus menghadapi krisis. Merekalah yang meraih kekuasaan bermodal baliho atau uang. Citra menjadi bagian terpenting yang harus selalu dijaga, jauh lebih penting daripada kejujuran menampilkan data, yang sangat vital dalam penanganan pandemi. Secara tidak langsung, kepala daerah semacam itu membunuh banyak rakyat mereka sendiri.
Alih-alih menghilangkan, pemerintah pusat semestinya membenahi kekisruhan data kematian itu secepatnya. Adanya rentang waktu penyetoran data dari daerah tak cukup kuat dijadikan alasan menghapusnya dari indikator. Apalagi, kita tahu, data lain semacam hasil tes usap polymerase chain reaction pun umumnya tidak bisa seketika didapatkan. Bagaimanapun, data penularan hingga kematian akibat pandemi itu sangat diperlukan untuk mengambil tindakan.
Pemerintah pusat sering kali mengambinghitamkan otonomi daerah sebagai biang sulitnya koordinasi, termasuk dalam penanganan pandemi. Pemerintah pusat seharusnya membangun kepercayaan agar hambatan-hambatan koordinasi dengan daerah ini bisa diatasi. Cara terbaik melakukannya adalah dengan memberikan contoh untuk menyajikan data yang jujur sebagai dasar pengambilan keputusan.
Secara prinsip, setiap tindakan negara dalam penanganan pandemi adalah menyelamatkan hidup warganya. Langkah pemerintah pusat menghilangkan data kematian dari indikator penanganan pandemi Covid-19 justru menghilangkan kejujuran sebagai modal untuk membangun kepercayaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo