Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Satu Jenderal Dua Hunian

Sejumlah purnawirawan jenderal menempati lebih dari satu rumah di kompleks Cijantung. Mengoper surat izin penghunian.

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Praktik penguasaan kaveling TNI secara ilegal marak di Cijantung.

  • Pelakunya adalah para jenderal dan purnawirawan.

  • Markas Besar TNI Angkatan Darat harus menertibkannya.

INI sebenarnya bukan cerita baru—kehidupan prajurit dan jenderal TNI ibarat bumi dan langit. Ditambah perilaku petinggi yang korup, ketimpangan itu menjadi-jadi. Di Kompleks Perumahan Angkatan Darat Cijantung II, Jakarta Timur, sejumlah perwira tinggi dan pensiunan jenderal diketahui bisa menempati lebih dari satu kaveling rumah. Padahal, di tempat lain, tentara berpangkat rendah kesulitan memiliki hunian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat—dalam hal ini Komando Daerah Militer Jayakarta atau Kodam Jaya—semestinya tak membiarkan hal tersebut terjadi. Perwira tinggi dan purnawirawan memang boleh menempati kaveling di sana hingga ia dan istrinya wafat. Tapi penguasaan lebih dari satu kaveling betul-betul keterlaluan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketimpangan disebabkan oleh pembiaran terhadap mereka yang sebenarnya tak berhak tinggal di sana. Siapa pun, perwira atau bukan, yang ingin memiliki hunian disebut-sebut bisa “membeli” kaveling dari penghuni sebelumnya. Jika terjadi kesepakatan, penghuni baru melapor ke kesatuan. Penguasaan lebih dari satu kaveling oleh sejumlah purnawirawan juga menggunakan modus ini.

Angkatan Darat tak boleh menutup mata terhadap pengalihan surat izin penghunian tersebut. Pemimpin Angkatan Darat harus melarang praktik itu sehingga hunian bisa ditempati perwira yang berhak. Selama ini, praktik oper VB atau verhuren besluit seperti di Cijantung terjadi karena aturannya tidak jelas. Tanpa landasan hukum, penertiban sulit dilakukan.

Kodam Jaya memang pernah merazia. Tapi itu hanya dilakukan terhadap rumah yang ditinggali kerabat purnawirawan. Tak pernah ada penertiban terhadap jenderal atau purnawirawan yang memiliki lebih dari satu kaveling. Perlakuan berat sebelah ini makin membenarkan anggapan bahwa hukum telah tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.

Melihat kesenjangan kesejahteraan antara perwira dan bintara serta tamtama, bisik-bisik bahwa “tak ada jenderal yang miskin” bisa jadi benar. Sejumlah jenderal bisa dengan gampang mengakses fasilitas dan sumber daya, tapi lain halnya tentara berpangkat rendah. Sering kita dengar ada prajurit yang menjadi beking tempat hiburan atau berbuat kriminal untuk menambah penghasilan. Ironi ini mungkin tak akan terjadi jika para komandan lebih memikirkan nasib anak buahnya ketimbang kepentingan pribadinya.

Para jenderal seharusnya berkaca pada M. Jusuf (almarhum), Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 1978-1983. Jusuf dikenal sebagai jenderal yang memperhatikan kesejahteraan prajurit. Dia membangun perumahan tentara berpangkat rendah di banyak tempat. Ia tak menumpuk harta dan dicintai bawahannya—keteladanan yang sekarang sulit ditemukan.

Pemerintah selayaknya merealisasi janji memberikan keringanan kredit perumahan hingga 30 tahun bagi prajurit. Saat ini ada lebih dari 250 ribu tentara—lebih dari separuh anggota TNI—yang belum punya rumah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus