Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Ramai-ramai Mencoreng Demokrasi

Malaysia jatuh ke dalam krisis politik setelah Mahathir Mohamad melepas kursi perdana menteri. Kemunduran demokrasi sedang terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. 

29 Februari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Malaysia jatuh ke dalam krisis politik setelah Mahathir Mohamad melepas kursi perdana menteri.

  • Kemunduran demokrasi terjadi di beberapa negara Asia Tenggara.

  • Jokowi juga berpotensi menghancurkan demokrasi lewat rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

DEMOKRASI di Asia Tenggara sedang mengalami kemunduran. Malaysia, negeri yang masa depan politiknya dipandang cerah setelah kemenangan koalisi partai oposisi Pakatan Harapan dalam Pemilihan umum 2018, kini terpuruk. Ini terjadi setelah Mahathir Mohamad, politikus veteran yang didukung koalisi oposisi, mundur sebagai perdana menteri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua tahun lalu, Pakatan Harapan untuk pertama kalinya mengalahkan Barisan Nasional, koalisi partai pimpinan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), yang berkuasa sejak negeri itu merdeka pada 1957. Inilah yang memunculkan optimisme bahwa demokrasi telah kembali ke negeri jiran. Namun optimisme itu berusia pendek: janji Mahathir menyerahkan kursi perdana menteri kepada pemimpin Partai Keadilan Rakyat Anwar Ibrahim ternyata cuma pepesan kosong. Belakangan, partai Mahathir, Partai Pribumi Bersatu Malaysia, malah keluar dari koalisi Pakatan Harapan dan berencana merapat ke UMNO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan tahunan Freedom House—organisasi independen di Amerika Serikat yang memantau kebebasan dan demokrasi dunia—menunjukkan bahwa kemunduran demokrasi terjadi di seluruh dunia dalam 13 tahun terakhir. Selama 1988-2005, jumlah negara yang tergolong tak bebas berkurang (dari 37 ke 23 persen), sedangkan yang bebas bertambah (dari 36 ke 46 persen). Namun keadaan berbalik pada 2005-2018: jumlah negara yang tak bebas malah bertambah menjadi 26 persen dan yang bebas berkurang menjadi 44 persen.

Demokrasi di beberapa negara Asia Tenggara melemah dalam beberapa tahun terakhir. Setelah kudeta militer pada 2014, politik Thailand belum menunjukkan tanda-tanda perubahan hingga kini. Di Filipina, Rodrigo Duterte terus menjalankan perang melawan narkotik, yang menewaskan ribuan warga sipil, sejak menjadi Wali Kota Davao pada 2013. Keadaan ini berlanjut ketika Duterte terpilih menjabat presiden pada 2016.

Iklim politik Kamboja juga suram. Hun Sen, yang memegang kursi perdana menteri sejak 1985, enggan menyerahkan kekuasaannya kepada siapa pun. Dia bahkan membubarkan partai-partai oposisi, menangkap tokoh perlawanan, dan membungkam media massa.

Bahkan kemenangan Aung San Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi, dalam Pemilu 2015 tak mengubah Myanmar. Junta militer memang melonggarkan tekanan terhadap Suu Kyi, yang berstatus tahanan rumah sejak 1989. Namun harapan bagi pulihnya demokrasi punah ketika militer menyerbu Negara Bagian Rakhine dan memaksa 800 ribu muslim Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Tim penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebut aksi militer ini sebagai pembersihan etnis, tapi Suu Kyi malah membela langkah militer tersebut.

Demokrasi juga mundur di Indonesia. Ini tecermin dari skor kebebasan oleh Freedom House yang mengukur kebebasan sipil dan hak politik rakyat. Selama 2016-2017, skor kebebasan Indonesia berada pada angka 65 (1 paling tak bebas dan 100 paling bebas). Angka itu turun menjadi 64 pada 2018 dan turun lagi menjadi 62 pada 2019. Fakta ini menempatkan Indonesia sebagai negara yang separuh bebas.

Demokrasi Indonesia makin mundur setelah pemerintah Presiden Joko Widodo merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Keadaan makin runyam ketika pemerintah mengajukan rancangan Undang-Undang Cipta Kerja lewat omnibus law. Berniat memuluskan investasi asing, pemerintah justru menerabas segala hal, termasuk keselamatan lingkungan dan hierarki hukum. Dipilih rakyat secara demokratis lewat dua kali pemilu, Jokowi justru mengkhianati kepercayaan publik. Seperti pemimpin negara tetangga di Asia Tenggara, Jokowi telah memberikan cemar bagi demokrasi di Indonesia.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus