Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Salah Kaprah UU Sapu Jagat

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bersiap mengegolkan rancangan undang-undang sapu jagat yang akan mengubah puluhan undang-undang lintas sektoral. Berawal dari salah diagnosis.



25 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTARUHAN besar itu akhirnya dimulai. Dewan Perwakilan Rakyat pada 22 Januari lalu resmi mengesahkan Program Legislasi Nasional Prioritas 2020, termasuk empat undang-undang sapu jagat (omnibus law) yang bakal mengubah wajah negeri ini—sekali untuk selamanya. Tanpa partisipasi publik, bahkan ada kesan dirahasiakan, rancangan regulasi ini sudah keliru sejak permulaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari empat rencana omnibus law, Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, RUU Perpajakan untuk Penguatan Ekonomi, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara, baru isi regulasi pertama yang mulai bocor ke publik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekhawatiran publik muncul karena dua alasan. Pertama, pemerintah tak melibatkan semua pemangku kepentingan yang bakal terkena dampaknya. Kedua, ada indikasi pemerintah keliru mendiagnosis akar masalah yang mendasari kebutuhan akan omnibus law ini.

RUU Cipta Lapangan Kerja adalah omnibus law pertama dan paling kompleks. Ada 1.244 pasal dalam 79 undang-undang yang bakal berubah lewat satu ketuk pengesahan di Senayan. Dari belasan kluster pembahasan, sejumlah pertanyaan krusial sudah mengemuka seputar konsesi tambang, penggunaan kawasan hutan, masa berlaku hak guna usaha, analisis dampak lingkungan, dan aturan perburuhan.

Semua pertanyaan itu dipicu oleh tertutupnya pembahasan rancangan peraturan ini. Sulit dipahami mengapa pemerintah berkeras merahasiakan isi omnibus law sebelum naskahnya diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pekan ini. Bukannya membuat peraturan ini meluncur mulus, pembahasan yang tertutup justru akan membuat publik curiga. Apalagi Kementerian Perekonomian malah memberikan kewenangan kepada Ketua Kamar Dagang Indonesia untuk menyaring aturan yang bisa merugikan pengusaha. Ketika pemain ikut menjadi wasit, hasilnya adalah kesalahkaprahan luar biasa.

Tentu tidak ada yang salah dari niat Presiden Joko Widodo merapikan peraturan dan membongkar regulasi yang tumpang-tindih. Namun proses perumusannya tidak boleh menguntungkan hanya segelintir pengusaha—yang dekat dengan penguasa. Jika itu yang terjadi, ekonomi yang terbangun akan timpang dan keropos karena dikuasai kroni dan pemburu rente. Presiden juga rawan dituding hendak membalas budi kepada para donatur yang membantunya selama masa kampanye.

Persoalan kedua adalah substansi aturan sapu jagat ini. Pemerintah selalu menekankan bahwa omnibus law dibutuhkan untuk memperbaiki iklim investasi dan memudahkan rekrutmen tenaga kerja. Dua hal itu dinilai vital untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi agar melambung di atas kisaran 5 persen per tahun.

Masalahnya, pemerintah cenderung menyalahkan aturan-aturan di sektor lingkungan hidup dan kehutanan sebagai penghambat investasi. Padahal regulasi itu justru dulu dibuat untuk melindungi ekosistem agar eksploitasi sumber daya alam bisa berlangsung dengan berkelanjutan. Menafikan lingkungan demi pertumbuhan ekonomi sama saja melawan tren global yang kini makin peduli terhadap ancaman krisis iklim.

Selain itu, yang membuat investor enggan datang ke Indonesia bukan semata soal aturan yang tumpang-tindih, melainkan konsistensi pelaksanaan peraturan di lapangan. Banyak kekacauan dalam pengadaan lahan untuk tambang dan perkebunan, misalnya, disebabkan oleh proses perizinan yang kolusif dan berbau korupsi, dari tingkat daerah sampai pusat.

Karena itu, Presiden seharusnya mencopot para pejabat yang rentan disogok, bukan memangkas aturannya. Sayangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi, yang selama ini dijagokan memberantas rasuah, sudah keburu dibikin mandul. Jika kebijakan itu diteruskan, perubahan aturan yang drastis untuk kepentingan pemodal malah akan memutihkan semua kejahatan yang selama ini terjadi di sektor kehutanan dan pertambangan. Kerugian publik akan berlipat ganda.

Aturan perburuhan juga sama rawannya. Mendengarkan pengusaha saja, tanpa menerima masukan buruh, bisa memperuncing konflik ketenagakerjaan. Keluhan para investor soal peraturan buruh di Indonesia memang sudah lama terdengar. Tapi pemecahan persoalan itu harus dengan mendengarkan dua pihak—serikat buruh dan asosiasi pengusaha, yang masing-masing punya kepentingan.

Walhasil, ada kesalahan diagnosis yang mendasar dalam perumusan omnibus law ini. Jika tak diluruskan, pemerintah dan parlemen bisa memberikan resep yang keliru kepada publik. Alih-alih membawa Indonesia menjadi negara maju, kita justru bisa terpuruk dalam krisis berkepanjangan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus