Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENANGKAPAN jurnalis Amerika Serikat, Philip Myrer Jacobson, makin memperlihatkan sikap pemerintah yang paranoid dan antikritik. Kendati alasan resmi penahanan itu soal visa, sulit untuk tidak menghubungkannya dengan aktivitas Jacobson di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ditangkap di Palangka Raya, Kalimantan Tengah, jurnalis portal berita sains lingkungan Mongabay itu sedang menyiapkan tulisan tentang pencaplokan lahan masyarakat adat oleh korporasi. Sebelumnya, ia juga kerap menulis soal kerusakan hutan serta konflik lahan di Papua, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Jacobson, yang dituduh menyalahgunakan visa bisnis, kini meringkuk di sel Rumah Tahanan Kelas IIA Palangka Raya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlakuan itu amat berlebihan karena ia bukanlah pelaku kriminal yang berbahaya. Apalagi, sebelumnya, Jacobson menjalani tahanan kota lebih dari satu bulan, sejak 17 Desember 2019, setelah menghadiri audiensi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Tengah.
Pemerintah akhirnya memang menangguhkan penahanan Jacobson. Tapi proses hukumnya belum berhenti. Mestinya kasus ini distop sama sekali, sebelum reputasi Indonesia sebagai negara demokrasi makin berantakan.
Kebebasan pers di negara kita jelas mengalami kemunduran. Dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2019 yang dirilis Reporters without Borders—badan kebebasan media internasional—Indonesia menduduki peringkat ke-124 dari 180 negara. Posisi negara kita lebih buruk daripada Malaysia, Chad, dan Afganistan serta tertinggal jauh dari Mongolia dan Suriname.
Penangkapan Jacobson juga menambah panjang daftar jurnalis asing yang diperlakukan secara buruk oleh pemerintah Joko Widodo. Pada 2018, tiga jurnalis BBC Indonesia diusir saat hendak meliput kejadian luar biasa campak dan busung lapar di Agats, Papua. Setahun sebelumnya, jurnalis lepas Al Jazeera, Jack Hewson, yang ingin meliput masalah Freeport di Timika, Papua, ditangkal masuk ke Indonesia.
Sejumlah jurnalis asing bahkan telah diadili gara-gara urusan visa. Dua jurnalis Prancis, Thomas Dandois dan Valentine Bourrat, divonis Pengadilan Negeri Jayapura dengan hukuman dua bulan pada 2014. Setahun berselang, giliran Neil Richard George Bonner dan Rebecca Bernadette Prosser dari Inggris divonis hukuman 2 bulan 15 hari oleh Pengadilan Negeri Batam.
Pemerintah semestinya membuka pintu lebar-lebar bagi jurnalis asing sehingga mereka tidak perlu meliput secara diam-diam dengan menyalahgunakan visa. Liputan media asing justru membantu pemerintah mengawasi aktivitas korporasi dan kinerja pemerintah daerah. Pemerintah pun tak perlu alergis terhadap tulisan atau berita miring mengenai lingkungan hidup, pelanggaran hak asasi manusia, dan kemiskinan. Semua itu malah bisa dimanfaatkan sebagai masukan penting demi perbaikan.
Sikap pemerintah yang cenderung menutup diri terhadap liputan media asing justru bertolak belakang dengan upaya Presiden Jokowi menarik investor asing. Bagaimana investor mau datang jika mereka tidak mengetahui persis kondisi negara kita? Sikap yang memusuhi jurnalis asing juga menyulitkan pemerintah dalam mempromosikan pariwisata.
Presiden Jokowi seharusnya memanfaatkan jurnalis asing demi mendorong perbaikan negara kita di segala bidang. Sikap tertutup dengan kedok nasionalisme sempit hanya akan menghambat kemajuan sekaligus merusak demokrasi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo