Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERGI sebagai tersangka, Muhammad Rizieq bin Hussein Syihab kembali ke Indonesia pada Selasa, 10 November lalu, dengan dielu-elukan bak pahlawan. Melambungnya pamor politik Rizieq tak lepas dari kesalahan strategi pemerintah dalam menghadapi provokasi iliberal dan intoleran pentolan Front Pembela Islam ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi pendukungnya, masa pelarian Rizieq selama tiga tahun tujuh bulan di Arab Saudi justru menambah ketokohannya. Dia menjadi magnet politik baru. Puluhan ribu orang berduyun-duyun menuju Bandar Udara Soekarno-Hatta, Cengkareng, untuk menjemputnya. Aparat gagal mengantisipasi kerepotan khalayak akibat kedatangan Rizieq. Publik dirugikan dengan lumpuhnya akses menuju bandara selama beberapa jam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah mengaku sengaja menyiapkan pengamanan ala kadarnya untuk menghindari kesan konfrontatif. Sejumlah pejabat bahkan mengklaim kepulangan Rizieq akan membawa ketenangan untuk politik Indonesia. Itu jelas pernyataan dan dalih yang mengada-ada. Posisi tawar Rizieq yang lebih besar dengan keberadaannya di Jakarta justru bakal lebih merepotkan pemerintah dan memancing keributan baru.
Sejak awal kemunculannya dalam panggung politik Indonesia, Rizieq memang dibesarkan oleh ambiguitas politik dan hukum di negeri ini. Ketika dia mendirikan Front Pembela Islam (FPI) pada Agustus 1998, kita tahu sejumlah perwira tinggi polisi dan militer ikut berperan. Pada masa-masa ketika kekuasaan Orde Baru dan Presiden Soeharto baru saja tumbang, berbagai dokumen yang belakangan terungkap menunjukkan manuver elite militer dan polisi memanfaatkan FPI dalam intrik-intrik kekuasaan.
Tahun bergulir, pemerintahan berganti, dan FPI terkesan dibiarkan terus melebarkan jejaringnya. Sayap militer FPI yang dinamakan Laskar Pembela Islam leluasa merazia tempat-tempat yang disebut sebagai “sumber maksiat”. Dengan seragam ala tentara berwarna putih, kelompok ini menjadi alat penekan efektif untuk berbagai kepentingan. Baru pada Juni 2008, ketika FPI menyerang aksi damai Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monumen Nasional, Jakarta, polisi turun tangan. Rizieq Syihab pun menjalani hukuman satu setengah tahun penjara.
Sayangnya, ketegasan pemerintah mengambil pendekatan hukum tak berlanjut. Di era Presiden Joko Widodo, strategi keamanan yang diterapkan justru mengedepankan pendekatan politik. Polisi menyerah ketika Rizieq, bersama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI, memaksa pemerintah menjerat Gubernur DKI Jakarta (ketika itu) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dengan tuduhan mencemarkan agama Islam. Kejaksaan Agung bahkan menghadirkan Rizieq sebagai saksi ahli dalam perkara Basuki. Setelah Ahok divonis dua tahun penjara, atas nama keseimbangan, polisi kemudian bergerak mempidanakan Rizieq.
Ketika hukum bergerak dengan bandul politik, yang terjadi adalah absurditas. Rizieq dibidik dengan tujuh kasus berbeda, dari dugaan percakapan mesum, penghinaan Pancasila, hasutan kebencian, hingga penghinaan suku. Pada April 2017, Rizieq "dibiarkan" terbang ke Arab Saudi. Sebulan kemudian, dalam pelariannya, Rizieq dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Pornografi.
Terbukti kepolisian tak pernah berusaha mengejar pria 55 tahun itu. Aparat intelijen sampai tokoh politik bergantian menemuinya di Mekah dan tak satu pun yang membawanya pulang. Setahun kemudian, pada Juni 2018, polisi menghentikan penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti. Kelihatan betul, hukum dijalankan untuk tujuan politis.
Rizieq menemukan panggungnya ketika pemerintah bersikap mendua. Di satu sisi, pemerintah berkampanye soal pluralisme, upaya menghadang intoleransi dan radikalisme Islam. Namun, di sisi lain, pemerintah tak bersikap konsisten menegakkan hukum dalam banyak kasus intoleransi. Atas nama politik akomodasi dan keseimbangan, Presiden Jokowi malah memilih Ma’ruf Amin, tokoh sentral dalam gerakan menjerat Ahok, sebagai wakil presiden dan membiarkan polisi tak meneruskan kasus Rizieq.
Politik dua muka seperti ini secara tidak langsung justru menyuburkan intoleransi—hal yang oleh Jokowi dan kabinetnya hendak diperangi—dan sekaligus meningkatkan popularitas Rizieq.
Mengatasi gerakan iliberal berwajah populisme agama memerlukan kebijakan publik yang jelas. Basisnya adalah kesetaraan semua orang di depan hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia. Permainan politik dan hukum yang dilakukan pemerintah pasti kontraproduktif karena justru menyediakan lapangan simpati bagi tokoh seperti Rizieq. Makin populernya Rizieq kini adalah harga yang harus dibayar pemerintah Jokowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo