Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Akhir Generasi Harimau Sumatera

Perdagangan harimau Sumatera terus terjadi. Jaksa dan hakim kurang peduli pada dampak luas perdagangan satwa liar secara ilegal.

4 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Mantan Bupati Kabupaten Bener Meriah, Ahmadi, ditangkap karena menjual kulit harimau Sumatera.

  • Penegakan hukum terhadap pedagang satwa ilegal masih lemah.

  • Jaksa dan hakim kurang peduli pada dampak perdagangan satwa ilegal.

DI hutan Indonesia, satwa liar seperti tak punya hak hidup. Mereka diburu, dibunuh, lalu bagian-bagian tubuhnya dijual oleh makhluk yang lebih “mulia”: manusia. Hukum buatan manusia tentu saja belum melindungi mereka. Walhasil, kepunahan satwa liar dari rimba Nusantara tinggal menunggu waktu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lemahnya hukum Indonesia dalam melindungi fauna terlihat pada kasus perdagangan kulit harimau Sumatera yang ditengarai melibatkan Ahmadi, mantan Bupati Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Pria yang pernah dihukum dalam perkara korupsi itu diduga menjual kulit dan tulang satwa langka tersebut senilai Rp 600 juta. Transaksi ilegal ini besar kemungkinan melibatkan jaringan luas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmadi hanya satu contoh. Perdagangan satwa liar di Indonesia sedemikian masif dari masa ke masa. Hal itu dimungkinkan karena penegakan hukum yang lemah dan sering kali tidak diterapkan pada kelompok elite. Menurut Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, perdagangan atau pemilikan satwa yang dilindungi diancam hukuman denda Rp 100 juta dan lima tahun penjara. Kenyataannya, hukuman maksimal hanya keras di atas kertas.

Masalahnya jelas. Hakim dan jaksa tampak kurang peduli pada masalah perdagangan satwa ilegal. Mereka enggan menggali aspek pidana lain seperti pencucian uang, yang memungkinkan hukuman lebih berat bagi pelaku. Bahkan hukum lagi-lagi menjadi tumpul ketika berhadapan dengan orang berkuasa. Sejauh ini pedagang satwa yang dilindungi hanya dikenai hukuman ringan. Indonesian Center for Environmental Law melaporkan, selama 2009-2019 terdapat 150 kasus yang dibawa ke meja hijau. Pelaku rata-rata divonis hukuman delapan bulan dan denda Rp 14,3 juta.

Mereka mengabaikan betapa mengerikan dampak perdagangan satwa liar. Di ranah internasional, perdagangan satwa liar termasuk kejahatan terorganisasi dan duduk di peringkat ketiga tertinggi di dunia setelah narkotik dan pencucian uang. Dampak kejahatan ini sangat luas, dari punahnya spesies hingga rusaknya keseimbangan ekosistem. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan kerugian negara dari perdagangan satwa liar ilegal ini mencapai Rp 13 triliun setiap tahun.

“Penadah”—orang-orang yang menguasai satwa liar—pun sering kali tak tersentuh hukuman badan. Mereka paling-paling hanya kena denda dan peliharaannya disita. Lihatlah kasus-kasus kepemilikan satwa yang dilindungi milik sejumlah politikus, seperti Zulkifli Hasan, Fadli Zon, dan Bambang Soesatyo. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, yang seharusnya di garda terdepan dalam pelestarian satwa, bahkan pernah kedapatan menyimpan sejumlah burung langka di rumahnya.

Lemahnya penegakan hukum membuat tak ada efek jera. Ahmadi, misalnya, besar kemungkinan sudah lama melakukan jual-beli kulit harimau. Tempo pernah menurunkan liputan investigasi yang menunjukkan keterlibatannya dalam kejahatan serupa pada 2015. Satwa liar pun makin terancam.

Dulu Indonesia punya harimau Sumatera, Bali, dan Jawa. Perburuan dan perdagangan kulit harimau, komoditas paling berharga dari raja rimba itu, membuat harimau Bali lenyap pada 1930-an. Harimau Jawa dinyatakan punah pada 1980-an. Kini tersisa sekitar 600 harimau Sumatera liar di pedalaman Pulau Sumatera. Hewan ini dinyatakan kritis dan masuk daftar satwa terancam punah oleh lembaga konservasi International Union for Conversation of Nature (IUCN).

Tanpa penegakan hukum, satwa liar dan kekayaan hayati Indonesia itu hanya akan tersisa dalam sejarah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus