Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kubangan Politik Kartel

Aturan ambang batas perolehan suara dalam pemilihan presiden memperkuat politik kartel. Pencalonan presiden sekadar urusan segelintir elite partai.

4 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para elite partai bertemu dan tawar-menawar politik dalam mendorong seorang calon presiden.

  • Presidential threshold membuat demokrasi Indonesia kian mundur karena membatasi hak politik tiap warga negara.

  • Politik Indonesia kian gampang dipermainkan segelintir elite dan para oligark.

PEMILIHAN umum di Indonesia telah lama dipraktikkan sebagai politik dagang sapi. Tak terkecuali Pemilu 2024 yang hangatnya telah terasa sejak saat ini. Alih-alih menjaring kandidat terbaik dari 270 juta penduduk, segelintir petinggi partai politik dan elite sibuk tawar-menawar kekuasaan dalam ruangan tertutup yang jauh dari partisipasi orang ramai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fakta itu tampak dalam tarik-menarik pencalonan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah, sebagai calon presiden. Popularitas kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menempati urutan kedua setelah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Meski begitu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyiapkan nama lain: Prabowo, Panglima Tentara Nasional Indonesia Andika Perkasa, Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan, dan putrinya sendiri, Puan Maharani, yang kini menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diduga kuat koalisi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan yang dideklarasikan pada 12 Mei lalu untuk memuluskan pencalonan Ganjar dari luar PDIP. Kabarnya Presiden Joko Widodo mendorong Koalisi Indonesia Bersatu—nama yang mereka pilih—untuk menarik lebih banyak partai agar bisa mengimbangi PDIP.

Di tengah hiruk-pikuk itu, rakyat cuma jadi penonton. Politik elektoral dipraktikkan partai dan para elite dengan mengabaikan prinsip “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”. Di tangan para elite, demokrasi menjelma menjadi ruang tertutup yang tak bisa diakses orang banyak.

Kita perlu belajar dari negara lain. Di Prancis, pemilihan presiden yang baru usai diikuti 12 pasang calon. Padahal penduduk negara itu tidak sampai 70 juta. Di Amerika Serikat, lebih dari 30 pasang calon ikut pemilihan presiden terakhir, di dalamnya termasuk calon independen.

Pemilihan presiden langsung yang diterapkan di Indonesia setelah Reformasi sebenarnya menjanjikan kesempatan yang besar kepada publik untuk berpartisipasi. Di era Orde Baru, presiden dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat lewat perwakilan tiga partai yang dipilih lewat pemilu legislatif yang tidak demokratis. Partai Persatuan Pembangunan, Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia tak lebih dari boneka kekuasaan Soeharto yang keberadaannya sekadar memenuhi syarat formal agar Indonesia bisa disebut negara demokrasi.

Amat disayangkan pemilu langsung yang mengoreksi sistem pemilihan presiden Orde Baru kini dibajak aturan presidential threshold—ambang batas perolehan suara legislatif bagi partai untuk mengusung calon presiden.

Para pembela threshold mengatakan aturan ini memperkuat pemerintahan presidensial karena memastikan calon presiden mendapatkan dukungan politik yang kuat. Omong kosong. Sejak pemberlakuan ambang batas pada Pemilu 2004, koalisi permanen justru terbentuk setelah presiden terpilih.

Yang terjadi kemudian adalah ambang batas malah memperkuat kartel politik. Partai dengan sewenang-wenang dapat mengatur pencalonan presiden. Mereka berkoalisi semata untuk mengakumulasi kekuatan politik. Mereka menganggap ideologi bukan prioritas untuk menyatukan partai-partai yang sehaluan. Yang terpenting adalah tawar-menawar siapa mendapat apa, modal berapa, dan cuan berapa. Rakyat dipaksa memilih kandidat yang ditentukan oleh kalkulasi “laba-rugi” partai politik.

Lebih celaka lagi, ujung dari politik kartel adalah korupsi. Sejak berdiri pada 2003 hingga sebelum dilemahkan melalui revisi undang-undang pada Oktober 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi memenjarakan 12 menteri, 152 kepala daerah, dan 281 anggota DPR dan DPRD. Politik kartel juga melemahkan oposisi.

Parlemen yang semestinya menjadi tempat deliberasi aspirasi publik berubah sekadar kantor legalisasi ambisi kartel. Partai tidak ragu melakukan berbagai hal, termasuk mengubah undang-undang untuk memuluskan kepentingan para oligark. Kelakuan pemerintah dan DPR merevisi Undang-Undang KPK dan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja contoh dampak buruk dari kartel politik. Rakyat yang kehilangan saluran lalu bersuara di luar parlemen diperlakukan sebagai musuh negara.

Aturan ambang batas harus dilawan meskipun upaya hukum berkali-kali kandas di Mahkamah Konstitusi. Alasannya jelas: tanpa oposisi dan kesetaraan partisipasi politik, demokrasi sesungguhnya tinggal menunggu ajal.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus