Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERNIKAHAN dua insan yang saling mencintai tentu tidak boleh dihalangi. Tapi, tatkala berpotensi memicu konflik kepentingan atau perselingkuhan jabatan publik, akad nikah yang secara hukum legal itu seharusnya dihindari. Demi menjaga amanah jabatan itulah pernikahan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dengan adik Presiden Joko Widodo, Idayati, seharusnya tidak terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bibit konflik kepentingan bersemi ketika Anwar menjalin asmara dengan Idayati—titik di mana sang hakim seharusnya sudah mundur dari Mahkamah Konstitusi. Seolah-olah mengkonfirmasi kerisauan banyak kalangan, tiga hari setelah menikah pada Kamis, 26 Mei lalu, Anwar dan istrinya menemui Kepala Desa Sukamaju Alex Purnama Johan di Bogor, Jawa Barat. Anwar mendoakan Alex menjadi Bupati Bogor. Doa yang semula baik itu seketika menjadi dosa jabatan. Sebab, Anwar kini memimpin lembaga yang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah. Bagaimana dia bisa bersikap independen andaikan Alex menggugat hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menjalin kekerabatan dengan Jokowi, independensi Anwar, juga Mahkamah Konstitusi, bakal diragukan ketika menghadapi perselisihan pemilihan Wali Kota Solo dan Medan. Anak dan menantu Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Bobby Nasution, yang memimpin dua kota itu, berpeluang maju kembali dalam pemilihan kepala daerah.
Perselingkuhan jabatan juga berpotensi terjadi bila Mahkamah Konstitusi menilai pendapat Dewan Perwakilan Rakyat soal dugaan pelanggaran oleh presiden yang bisa berujung pada pemakzulan. Anwar juga bisa terjebak konflik kepentingan ketika menguji materi undang-undang yang ditandatangani Jokowi. Seorang adik ipar akan sulit bersikap obyektif ketika mengadili perkara yang mengancam jabatan penting kakaknya. Lain cerita bila pernikahan itu memang dirancang untuk melindungi kepentingan keluarga serta melanggengkan kekuasaannya.
Menjadi hakim sejak 1985, Anwar seharusnya paham bahwa Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim mundur dari persidangan jika terikat hubungan keluarga dengan pihak yang beperkara. Status baru Anwar sebagai ipar seorang presiden jelas membahayakan prinsip independensi yang harus dipegang oleh hakim konstitusi. Memang, Anwar hanya satu dari sembilan hakim konstitusi. Tapi pertalian kekerabatan antara Anwar dan Jokowi membuat pemerintah lebih leluasa untuk melobi dan mempengaruhi keputusan hakim lain. Mulai hari ini sikap dan ketukan palu Anwar akan dipertanyakan, apakah ia bertindak sebagai hakim atau wakil pemerintah.
Demi menjaga independensi Mahkamah Konstitusi, delapan hakim lain seharusnya mendesak Anwar mundur. Di negara beradab, seorang ketua Mahkamah Konstitusi harus memiliki kebijaksanaan serta kearifan yang tanpa banding. Mempertahankan Anwar hanya menambah noda Mahkamah Konstitusi, yang pernah dipimpin orang bermasalah seperti Akil Mochtar—yang tertangkap tangan menerima suap dalam sengketa pemilihan kepala daerah.
Sebagai presiden ataupun kakak ipar, Jokowi juga sepantasnya meminta Anwar Usman segera mundur dari Mahkamah Konstitusi. Tak perlu lagi Jokowi menambah panjang daftar kerabatnya yang menjadi pejabat saat dia masih berkuasa. Bila ingin tetap bersama Idayati, demi kebaikan negeri ini, Anwar seharusnya bergegas menggantung palu hakimnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo