Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM hal melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Joko Widodo memang jagonya. Berkali-kali pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berusaha merevisi Undang-Undang KPK sejak 2010, baru pada akhir periode pertama pemerintahannya usaha itu berhasil. Hanya dibahas dua pekan, perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disahkan DPR pada 17 September 2019 dengan mengabaikan penolakan publik yang masif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak saat itu, independensi KPK hilang. Lembaga ini berada di bawah presiden dengan anggota Dewan Pengawas KPK dipilih oleh kepala pemerintahan. Para penyidiknya pun menjadi aparatur sipil negara. Pengajuan Firli Bahuri sebagai calon Ketua KPK makin membuktikan pelemahan itu. Dia adalah jenderal polisi yang banyak melakukan pelanggaran etik saat menjabat Deputi Penindakan KPK selama 2018-2019.
Sesungguhnya, keinginan melemahkan KPK datang dari Jokowi sendiri. Ia menganggap KPK terlalu kuat sehingga mengganggu pembangunan. Menurut dia, banyak program kepala daerah macet karena gerak-gerik mereka diawasi KPK. Pada waktu itu Komisi baru saja menetapkan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf sebagai tersangka korupsi proyek infrastruktur yang memakai dana otonomi khusus.
Sikap Jokowi menolak mempertahankan independensi KPK hari-hari ini menjadi penting di tengah kontroversi pernyataan Ketua KPK 2015-2019, Agus Rahardjo. Dalam wawancara dengan Kompas TV, Agus mengaku pernah diminta Jokowi menghentikan penyidikan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP) yang menjerat Ketua DPR Setya Novanto. Menjelang pemilihan presiden 2019, Jokowi tengah membangun koalisi dengan Partai Golkar yang kala itu dipimpin Setya.
Permintaan Jokowi itu membuktikan bahwa Presiden telah bergerak melemahkan Komisi jauh sebelum Undang-Undang KPK direvisi. Untuk memperkuat koalisi pemerintahannya, Jokowi rela membiarkan korupsi merajalela.
Pembangunanisme Jokowi mengantarkannya pada hipotesis sungsang: makin ketat pembangunan dijaga dari para maling, makin tertatih-tatih roda pembangunan. Jokowi tampaknya setuju pada adagium para politikus bahwa korupsi adalah oli pembangunan.
Analisis lain menyebutkan Presiden sedang memberi gula-gula agar DPR menyetujui usul pemerintah membentuk Undang-Undang Cipta Kerja. Aturan ini mengoreksi sejumlah undang-undang yang dianggap birokratis sehingga menyulitkan investasi. Disahkan DPR pada Oktober 2020, Undang-Undang Cipta Kerja secara brutal mengabaikan tata kelola, termasuk peraturan yang menjaga lingkungan, atas nama pembangunan.
Dalam banyak wawancara dengan media di awal periode kedua pemerintahannya pada 2020, Jokowi mengatakan akan memprioritaskan pembangunan melalui investasi seraya menomorduakan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia. Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja adalah cara Jokowi mewujudkan keinginannya itu.
Dengan kata lain, argumentasi itu memperkuat fakta bahwa pembangunanisme Jokowi adalah biang keladi pelemahan KPK. “Keladi” lain adalah kepentingan politikus DPR. Selama 20 tahun usia KPK, lembaga ini mengungkap 344 kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR—terbanyak ketiga setelah pengusaha dan pejabat pemerintah.
Kekuasaan, tulis sejarawan Inggris, Lord Acton, dalam suratnya kepada Gereja Katolik Roma pada 1887, cenderung korup. Karena itu, kekuasaan—di tangan Jokowi atau bukan—cenderung tak suka pada pemberantasan korupsi. Kini nasi sudah basi dan tak sekadar menjadi bubur. Ke depan, penguatan kembali KPK membutuhkan kerja keras yang tak mudah.
Soal pemberantasan korupsi, tiga kandidat presiden 2024-2029 baru sekadar menanam tebu di bibir. Disokong partai politik yang punya rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi, siapa pun yang terpilih dalam pemilihan tahun depan tak akan bisa berbuat banyak. Pembiayaan politik yang kotor dan tak transparan juga akan menyandera mereka setelah nanti terpilih.
Yang menyedihkan bukan tak mungkin terjadi: diam-diam presiden terpilih berterima kasih kepada Jokowi karena telah melempangkan jalan bagi penguatan korupsi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Korupsi Bukan Oli Pembangunan"