Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amin Mudzakkir
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada mulanya, tidak ada masalah serius dengan Islam dan kebudayaan. Sejak masuk ke wilayah yang sekarang bernama Indonesia, Islam telah berdialog dengan kebudayaan setempat. Keduanya saling membentuk dan menghasilkan suatu corak keagamaan tradisional yang harmonis dengan lingkungan sekitar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun sejak gerakan reformasi keagamaan berkembang, tuntutan untuk memurnikan ajaran dari unsurunsur lokal mengemuka. Hal ini muncul, misalnya, dalam Perang Padri pada era kolonial. Para ulama reformis mulai mendakwahkan Islam yang diyakini lebih murni daripada yang ada. Usaha ini jelas menimbulkan pertentangan, bahkan perang, apalagi setelah ada campur tangan ekonomi dan politik kekuasaan.
Pertentangan tersebut terus berlanjut. Pada awal abad ke20, gerakan reformis Islam menyerang corak keagamaan tradisional yang dituduh penuh dengan takhayul, bidah, dan khurafat. Mereka berpendapat, agama dan kebudayaan harus dipisahkan. Jangan sampai yang kedua mempengaruhi yang pertama. Sebaliknya, yang pertama diharapkan mengubah yang kedua.
Para pelaku corak keagamaan tradisional tidak diam saja. Mereka merumuskan argumen keagamaan, khususnya fikih, yang mendukung penyesuaian antara ritual ibadah dan kebiasaan setempat. Bagi mereka, Islam adalah agama yang bisa diterapkan dan disesuaikan dengan konteks masyarakat yang beragam.
Pertentangan antara arus reformis dan tradisionalis sempat mereda. Pada era Orde Baru, terjadi modernisasi yang masif luar biasa. Beberapa hal yang dulunya dipertentangkan, seperti ziarah kubur, tahlilan, dan perayaan maulid Nabi Muhammad, mulai diterima semua kalangan. Tampaknya, ketika itu ada semacam modus vivendi yang menyurutkan pertentangan di antara dua arus yang berseteru.
Surutnya pertentangan itu terjadi dalam suasana yang nondemokratis. Ekspresi Islam apa pun memang dibiarkan, bahkan didukung, sejauh tidak menyentuh politik praktis. Strategi kebudayaan yang ditekankan rezim penguasa adalah mereduksi pertentangan itu menjadi sekadar masalah kesenian. Aspirasi ideologisnya ditekan. Namun justru dengan demikian ia menggumpal dan meledak pada akhir dekade 1990an.
Ledakan ideologis yang mempersoalkan kembali hubungan antara Islam dan kebudayaan dibawa suatu lapisan masyarakat Indonesia. Mereka terbentuk dari sebuah proses sosial yang berjalan sejak dua dekade sebelumnya. Mereka menyuarakan aspirasi keagamaan yang cukup keras. Bertolak dari orientasi Islam di Timur Tengah yang puritan, mereka mempromosikan sebuah bentuk Islam kafah, yang merujuk pada pembayangan kehidupan Nabi Muhammad di Madinah.
Dampak dari aspirasi baru itu cukup besar. Di banyak daerah, ekspresi kebudayaan yang sesungguhnya sangat Islami menghilang. Di Priangan, Jawa Barat, misalnya, festival tagoni atau terbangan sudah jarang ditemukan dan digantikan dengan lomba nasyid. Wacana bahwa Islam dan kebudayaan adalah dua hal yang berbeda menemukan contoh keberhasilannya.
Keberhasilan paling nyata bisa dilihat di perkotaan. Berbagai perumahan khusus muslim dibangun dengan fasilitas yang khas, seperti arena berkuda dan memanah, selain tentu saja masjid dan sekolah berbasis agama. Fenomena ini merefleksikan sesuatu yang serius. Bagi para penghuninya, dunia di luar kompleks perumahan mereka dianggap tidak suci, tercampur dengan kebudayaan yang tidak Islami. Dalam jangka panjang, fenomena ini bisa berbuah aspirasi politis tertentu yang eksklusif.
Karena itu, kampanye Islam Nusantara oleh para pemimpin Nahdlatul Ulama ditentang habishabisan. Kampanye yang sejatinya lahir dari keprihatinan adanya pereduksian makna Islam itu dituduh sebagai usaha untuk mencampuradukkan agama dengan kebudayaan. Bagi mereka yang menentangnya, pencampuran itu bertentangan dengan akidah dan bisa merusak iman.
Setelah memahami gejala sosiologis ini, pemerintah Indonesia saat ini mau tak mau perlu merumuskan strategi kebudayaan baru yang sesuai dengan zaman. Dalam hubungannya dengan Islam, strategi tersebut harus mampu memilah dan memilih corak keagamaan yang paling bisa diandalkan untuk menopang keberadaannnya. Tanpa topangan agama yang kuat, legitimasi strategi kebudayaan yang diputuskan akan lemah.
Bagaimanapun, Islam adalah plural. Namun, dalam proses pengambilan kebijakan tertentu, negara mesti berani bersikap untuk menunjukkan suatu model terbaik yang diharapkan mampu mengakomodasi pluralitas Islam dan kebudayaan Indonesia itu sendiri. Saya melihat corak keagamaan tradisional mempunyai potensi untuk menjawab kebutuhan itu.