Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasar batu bara dunia mendapatkan kejutan besar di awal 2022. Pemerintah Indonesia, negara yang memasok hampir sepertiga pasar batubara termal internasional tiba tiba mengeluarkan larangan ekspor selama sebulan. Puluhan kapal yang siap mengangkut jutaan ton batubara di berbagai pelabuhan nusantara pun terkena larangan berangkat. Harga batubara dunia langsung bereaksi meroket ke US 225 per ton, alias hampir dua kali lipat harga di bulan November 2021. Maklum, tahun lalu saja pasokan Indonesia rata rata 35 juta ton setiap bulan, alias negara pengekspor batubara termal terbesar dunia.
Maka reaksi pun langsung datang dari negara negara pengimpor emas hitam dari Indonesia ini. Utamanya dalam mendapatkan kepastian apakah larangan ini akan berlanjut hingga mengancam suplai batubara pembangkit listrik mereka. Pertanyaan serupa juga berkelindan di seputar istana karena kurang lebih sepertiga anggota kabinet berkaitan dengan bisnis ini. Ditambah lagi komoditi ini, bersama kelapa sawit, adalah penghasil devisa utama Indonesia. Nilai ekspor batu bara saja tercatat rata rata sekitar US 2,5 milyar per bulan tahun lalu. Tahun ini, dengan melompatnya harga batubara sejak Oktober silam, nilainya bahkan bisa jadi dua kali lipat lebih tinggi.
Bahwa Presiden Jokowi melarang ekspor tentu bukan tanpa sebab. Malah dapat dikatakan amat kuat alasannya, dan layak didukung. Bayangkan, tanpa keputusan tegas ini, sebagian pembangkit listrik PLN akan segera padam. Jika ini terjadi, Indonesia akan jadi bahan tertawaan dunia: juara dunia pengekspor batubara mengalami pemadaman karena Pembangkit listriknya sendiri malah tak kebagian.
Harga batubara per ton.
Padahal kebijakan mendahulukan keperluan dalam negeri (Domestic Market Obligation) dengan mewajibkan 25% produksi tambang untuk jatah nasional, seperti diatur Keputusan Menteri ESDM no No.139.K/ HK.02/ MEM.B/ 2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri, dengan harga maksimum USD 70 per ton, sudah diterbitkan pada 4 Agustus 2021. Yaitu saat harga batu bara dunia tembus USD 140 per ton, alias dua kali lipatnya.
Bahwa pemerintah menetapkan harga maksimum DMO USD 70 per ton itu tentu ada alasannya. Ini merupakan angka maksimum yang masih dapat diterima tanpa menyebabkan perlunya kenaikan tarif PLN, atau menambah anggaran subsidi PLN (bila tarif tak dinaikkan).
Hanya saja harga batu bara dunia telah berada di atas batas maksimum DMO ini sejak awal tahun lalu dan cenderung terus menaik hingga tiga kali lipatnya, bahkan sempat menyentuh USD 240 per ton. Bank Dunia mencatat harga acuan rata rata batu bara dunia tahun lalu adalah USD 140 per ton alias dua kali harga batas atas DMO untuk PLN.
Besarnya selisih harga dunia dan nilai maksimum DMO ini telah menggoda para pemilik tambang untuk menunda kewajiban memasok pasar domestik. Ketika jumlah perusahaan tambang yang tergoda ini mencapai lebih dari 400, maka tiba tiba PLN pun mengalami ancaman serius pada pasokan batu baranya dan bila tak segera diatasi berarti sebagian pembangkit listriknya—yang besar besar dan merupakan tulang punggung jaringan listrik nasional—terancam padam. Ini berarti bencana nasional.
Ancaman bencana ini berhasil diatasi oleh larangan ekspor dadakan yang diperintahkan Presiden Jokowi dan langsung dilaksanakan. Ketegasan ini ternyata langsung membuat pasokan batu bara ke PLN lancar, hingga sepuluh hari kemudian pun larangan mulai dilonggarkan. Kapal kapal pembawa batu bara ekspor dari perusahaan tambang yang telah memenuhi kewajiban DMO nya diperbolehkan berlayar, yang belum—atau terlambat—diberi peringatan, termasuk kemungkinan sanksi pencabutan izin.
Pertanyaannya kemudian adalah: mampu kah peringatan ini menjamin kepastian pasokan batu bara PLN yang tahun ini mencapai 119 juta ton?
Jawaban atas pertanyaan ini diperlukan karena harga batu bara tahun ini, walau diramalkan akan sedikit menurun dibanding tahun lalu, akan tetap di atas USD 70 per ton. Bank Dunia memperkirakan harga rata rata tahun 2022 sekitar USD 120 per ton dan akan terus bertahan di atas harga DMO Indonesia sedikitnya sampai 2025.
Tingginya harga ini jelas merupakan rejeki nomplok alias super profit bagi para pengusaha tambang batu bara. Maklum, mereka umumnya sudah merasa lega jika harga di atas USD 40 per ton. Bahkan hasil penelitian Listiyarko Wijito dari Pusat Pendidikan dan Latihan Direktorat Jenderal Pajak menyimpulkan biaya produksi batu bara hanya USD 26,54 per ton. Artinya, dengan harga DMO yang berlaku saat ini pun para pengusaha sebenarnya telah meraih keuntungan yang amat besar.
Kebijakan DMO pada harga maksimum USD 70 pada dasarnya hanya sedikit mengurangi bagian super profit para pengusaha tambang karena hanya mewajibkan seperempat produksinya untuk keperluan dalam negeri. Tanpa kebijakan ini, tarif PLN harus naik lebih dari dua kali lipat atau anggaran subsidi PLN yang melompat, alias menjadi beban rakyat banyak. Hingga berlangsung diktum privatized the gain socialized the pain yang bisa memicu revolusi sosial.
Jadi dari aspek keadilan kebijakan ini layak didukung, namun jelas bertentangan dengan kepentingan menjaga kesinambungan lingkungan hidup karena secara kasat mata langsung terlihat berlangsungnya subsidi pada pembangkit listrik batu bara yang emisi karbonnya membuat bumi semakin sesak nafas. Ini berarti kebijakan DMO perlu dibenahi.
Salah satu opsi yang dipertimbangkan pemerintah adalah mengubahnya menjadi mirip tata niaga kelapa sawit yang dilakukan melalui pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BDPKS). Lembaga ini mengelola hasil pungutan ekspor yang bersifat progresif dan menggunakannya untuk membangun industri kelapa sawit yang berkesinambungan sekaligus menjaga stabilitas harganya. Saat ini besaran pungutan adalah USD 55 per ton saat harga minyak sawit melebihi USD 750 per ton dan untuk pungutan super profit ditambah USD 20 per ton setiap ada kenaikan USD 50 per ton.
Sejak pembentukannya pada 2015, BDPKS telah berhasil menjaga kestabilan harga minyak sawit, membiayai berbagai penelitian untuk mengembangkan industri sawit yang berkesinambungan, melakukan peremajaan perkebunan sawit rakyat dan, yang paling menarik, mengembangkan dan mensubsidi industri Bahan Bakar Nabati (BBN) seperti Bioavtur dan Biodiesel. Berkat subsidi ini, Indonesia bahkan dapat memproklamasikan diri sebagai juara dunia produsen biodiesel, karena Pertamina menjual biosolar dengan harga subsidi dan membiarkan harga minyak solar dari fosil mengikuti harga pasar. Jadi, secara sederhana, dapat dikatakan subsidi dari konsumen minyak sawit masyarakat internasional—paling besar adalah RRT dan India—telah membiayai pengembangan industri BBN Indonesia. Jumlahnya lumayan, tahun lalu hampir Rp 50 triliun untuk produksi 9,4 juta kiloliter biodiesel.
Kehadiran proyek biodiesel ini tentu meningkatkan konsumsi minyak sawit nasional dan otomatis membuat harga acuan internasionalnya naik hingga terus berada di atas biaya produksi perkebunan sawit rakyat, diperkirakan sekitar USD 400 per ton. Bahkan tahun lalu harga sawit meraih tertinggi dalam sejarah, tapi tetap menjadi minyak nabati termurah karena peningkatan harga ini lebih dipicu akibat kenaikan luar biasa harga minyak kedelai setelah Presiden Biden mengumumkan kebijakan pemerintah AS untuk mendorong produksi BBN dari minyak kedelai.
Sisi lain kondisi ini adalah menaiknya harga minyak goreng domestik. Hanya saja kenaikannya dapat lebih dikendalikan pemerintah melalui operasi pasar tanpa mengubah anggaran APBN karena BDPKS mengucurkan dana Rp 7,5 triliun untuk membiayainya. Jumlah yang tak terlalu besar karena tahun lalu BPDKS meraih hampir Rp 70 triliun dari pungutan ekspornya.
Kehadiran BPDKS sebagai BLU ini terbukti telah membuat pemerintah lebih memiliki keluwesan dalam menerapkan kebijakan mengatasi dinamika perubahan harga harga di pasar sambil menjaga kesehatan industri dan pengembangannya ke tahapan yang mempunyai nilai tambah lebih baik. Ini terbukti dari semakin berkembangnya industri hilir minyak sawit nasional dari tahun ke tahun. Ibarat memelihara ayam yang bertelur emas, BPDKS mengelola dana yang cukup untuk membuat sang ayam tetap sehat, semakin produktif dan beranak pinak.
Sukses ini, tampaknya, yang ingin ditularkan ke sektor batu bara. Jika dibentuk BLU yang mengelola pungutan ekspor batu bara, maka diharapkan lembaga ini—sebut saja BPDB—dapat membiayai penelitian untuk pengembangan sektor batu bara, membangun ekosistem yang berkelas dunia dan mentransformasikannya menjadi lebih berkesinambungan termasuk lebih ramah lingkungan, bahkan dapat sekaligus membantu negara mengatasi kondisi darurat persampahan nasional.
Bagaimaan penjelasannya? Mari kita simulasikan saja ekspor batu bara dikenakan biaya BPDB sebesar USD 10 per ton bila harga dunia mencapai USD 80 per ton dan tambahan USD 10 setiap kenaikan USD 20 per ton. Maka BPDB mempunyai cukup dana untuk memberi insentif pada produser biomassa domestik agar memproduksi Bahan Bakar Jumputan Padat (BBJP) yang dapat dicampur dengan batu bara untuk bahan bakar pembangkit listrik, atau co-firing.
Awalnya mungkin dengan BBJP kelas 3 (termurah) yang berbahan baku dari sampah. Ujicoba pada 26 pembangkit listrik PLN yang menggunakan campuran BBJP sampai 5% terbukti berjalan lancar dan aman. PLN pun berencana meningkatkan kadar co firing ini sampai 30% dalam rangka mengejar target bauran energi terbarukan 23% pada 2025. Soalnya penggunaan biomassa memang masuk kategori ramah lingkungan karena mempunyai efek emisi karbon bersih nol (net zero carbon). Itu sebabnya Inggris mengganti semua pasokan batubara di pembangkit listriknya dengan biomassa.
Ada pun PLN memerlukan 36 juta ton biomassa jika ingin melaksanakan kebijakan co-firing 30% tahun ini. Ini berarti pasokan dari seluruh sampah di Indonesia tak akan mencukupi. Soalnya, menurut KLHK, saat ini Indonesia memproduksi hampir 70 juta ton sampah setahun yang jika dikeringkan dan dicacah menjadi BBJP akan menciut menjadi sekitar 20 juta ton saja. Sisanya harus diperoleh dari sumber lain, seperti dari hutan energi, atau batang tua kelapa sawit di perkebunan.
Pohon kelapa sawit yang telah berusia 25 tahun keatas memang sudah tak produktif lagi dan harus ditebang untuk diremajakan. Saat ini perkebunan besar mengeluarkan ongkos mengubur batang pohon tua yang ditebang karena jika dibiarkan akan membusuk dan menjadi sarang hama, selain mengeluarkan emisi gas Methan yang efek rumah kaca nya 80 kali lebih kuat ketimbang CO2 pada 20 tahun pertama mengudara.
Padahal, jika batang tua ini dicacah dan dikeringkan menjadi BBJP, maka PLN akan mendapatkan pasokan yang melebihi keperluannya hingga sisanya dapat diekspor. Soalnya bobot pohon kelapa sawit tua yang perlu ditebang dan diremajakan di 16 juta ha kebun sawit di Indonesia diperkirakan lebih dari seratus juta ton setahun, alias bisa dikonversi menjadi lebih dari 30 juta ton BBJP. Belum lagi produksi dari hutan energi. Itu sebabnya Dr. Indroyono Susilo, mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman yang menjadi Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia, menyatakan Indonesia berpotensi menjadi produser biomassa terbesar di dunia. Syaratnya: pemerintah melakukan pengelolaan sektor energi ramah lingkungan ini dengan seksama.
BPDB boleh jadi akan mampu melakukan kerja besar ini bila diberi kewenangan seperti BPDKS. Selain mengembangkan industri BBJP agar seluruh pasokan batu bara PLN dapat diganti biomassa seperti telah berhasil dilakukan Inggris, juga untuk melakukan upaya hilirisasi batu bara seperti membuat gas sintetis DME sebagai pengganti LPG. Upaya ini tak hanya akan membebaskan Indonesia dari impor LPG—saat ini nilainya sekitar Rp 80 triliun setahun—tapi juga untuk mengekspornya, karena emisi karbon pemakaian DME sekitar 20% lebih rendah ketimbang LPG.
Maka, ketimbang mensubsidi konsumsi batu bara PLN yang menghasilkan emisi rumah kaca, lebih baik memberi insentif pada industri biomassa dan upaya hilirisasi batu bara. Pembentukan Badan Pengelola Dana Batu bara bisa jadi langkah awal mentransformasi ekonomi Indonesia menjadi ekonomi hijau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini