Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kalau Dosen Berburu Scopus

Joki artikel ilmiah marak di kampus karena dosen didorong untuk menghasilkan banyak artikel di jurnal terindeks Scopus.

16 Februari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Praktik perjokian penulisan artikel ilmiah masih marak.

  • Dosen juga tergoda untuk menerbitkan artikelnya di jurnal predator.

  • Aturan Kementerian Pendidikan telah mendorong dosen mengejar kuantitas.

Akademikus di kampus tak henti mencoreng muka sendiri karena terjebak aturan dan kompetisi yang tak sehat. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi harus memahami kondisi riil ini serta segera mengubah aturan-aturan yang mengkolonisasi dan membebani dosen. Kampus harus dikembalikan kepada muruahnya sebagai pengembang ilmu pengetahuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus mutakhir adalah laporan Kompas pada 10-13 Februari lalu mengenai praktik perjokian penulisan artikel ilmiah yang dilakukan dosen. Laporan itu menunjukkan bahwa sejumlah dosen mengajukan artikel untuk keperluan kenaikan jabatan menjadi guru besar, tapi ditolak oleh Kementerian Pendidikan karena artikel mereka terindikasi ditulis oleh orang lain. Bagi si joki, yang juga dosen, hal ini tentu upaya untuk menambah penghasilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada dosen yang meringkas tugas akhir mahasiswanya untuk dijadikan artikel dan telah terbit di jurnal. Ada pula dosen yang tergoda untuk menerbitkan artikelnya dengan cara cepat melalui jurnal predator. Kualitas jurnal predator meragukan karena prosesnya tidak melalui peninjauan ketat dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Laporan itu menunjukkan bahwa ada dosen yang menggunakan jalur cepat untuk memenuhi kewajiban administratif, mendapatkan promosi dan remunerasi, serta keperluan pengajuan menjadi guru besar.

Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru di dunia akademis di Indonesia, seperti telah ditulis oleh sejumlah akademikus (Analoui, 2022; Nugraha, 2023; Pratama, 2020; Prihartini, 2022; Zein, 2018). Para dosen bersikap biasa saja ketika membaca atau mendengar laporan tersebut. Sebagian dari mereka menyatakan, "Itu sudah terjadi di mana-mana." Pada kenyataannya, setelah pemberlakuan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 Tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, para akademikus memilih untuk menempuh jalan pragmatis dengan semata-mata mengejar kuantitas publikasi ilmiahnya.

Alih-alih meningkatkan kualitas publikasi riset secara berjenjang dan berbasis merit, peningkatan jumlah artikel di jurnal internasional berkiblat pada quartile Scopus. Quartile adalah sistem pemeringkatan jurnal ilmiah dalam Scopus, basis data abstrak dan pengutipan artikel ilmiah global oleh penerbit Elsevier. Secara berjenjang, capaian itu mesti dilaporkan setiap tahun dari fakultas ke universitas, lalu ke kementerian.

Sejak indikator kinerja utama (IKU) perguruan tinggi negeri (PTN) ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 3/M/2021, capaian publikasi artikel ilmiah internasional telah menjadi bagian dari target kampus. Keputusan ini menetapkan delapan IKU, yakni kesiapan kerja lulusan, mahasiswa mendapat pengalaman di luar kampus, dosen berkegiatan di luar kampus, kualifikasi dosen, penerapan riset dosen, program studi bekerja sama dengan mitra kelas dunia, kelas yang kolaboratif dan partisipatif, serta program studi berstandar internasional. Publikasi artikel ilmiah termasuk IKU nomor lima, yakni penerapan riset dosen, yang salah satu kriterianya adalah artikel tersebut terindeks oleh lembaga global yang bereputasi. Capaian IKU juga menjadi tolok ukur pemberian insentif bantuan operasional kepada kampus negeri.

Dalam kontrak penelitian yang didanai pun, dosen mesti membuat janji berupa publikasi di jurnal terindeks Scopus. Janji ini harus ditepati kurang dari setahun setelah penelitian selesai dilakukan. Jika tidak, dosen tersebut mesti mengembalikan dana atau tidak berhak mendapat pendanaan pada tahun berikutnya. Padahal jurnal-jurnal internasional dikenal menjalankan tinjauan sejawat (peer review) yang ketat, di samping biaya pemrosesan artikel yang mencapai puluhan juta rupiah jika ingin artikelnya dapat diakses secara penuh oleh publik (open access).

Di samping pelbagai persoalan di atas, masih ada sejumlah masalah di kalangan akademikus, seperti ketimpangan dalam penguasaan bahasa Inggris (Fiantis, 2019), kolonisasi di dunia akademis (Siregar, 2022), serta pendapatan dan dana riset yang rendah (Purba, 2022). Ini membuat mereka kesulitan dalam melakukan riset mendalam dan mempublikasikannya. Alih-alih mengatasi persoalan dari akar, Kementerian Pendidikan malah menerapkan kebijakan melalui mekanisme kompetisi untuk mengejar kuantitas.

Kondisi itu sejalan dengan argumen Rakhmani (2022) dan rilis Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) (2023). Menurut mereka, akademikus Indonesia ditekan oleh kompetisi global melalui pelbagai sistem dan didominasi elemen administrasi serta audit sehingga produktivitasnya berbasis jenjang jurnal dan bukan kekayaan analisis sosial serta pelbagai dampaknya. Industrialisasi pendidikan tinggi juga menjadi penyebab pelanggaran pelbagai norma akademis. Jika pragmatisme ini terus dibiarkan, ilmu pengetahuan akan sulit berkembang di sini, selain tidak bermaknanya hasil riset karena sekadar mencari kecepatan dan kuantitas publikasi.

Memang, publikasi dan kolaborasi riset merupakan tuntutan internasionalisasi yang tak terelakkan. Namun perguruan tinggi di Indonesia masih tertinggal dibanding Singapura dan Australia dalam menghasilkan karya akademis berkualitas (Rakhmani, 2021), meski jumlah publikasi dosen di Indonesia terbukti meningkat. Laman Scimago Journal & Country Rank menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan kelima negara di Asia dengan jumlah 49.350 dokumen pada 2021, di bawah Cina, India, Jepang, dan Korea Selatan. Indonesia berada di posisi itu sejak 2019, meningkat dari 2018 (urutan ke-6), 2017 (urutan ke-9), dan 2016 (urutan ke-11).

Pada akhirnya, Kementerian perlu menyisir ulang aturan yang membuat dosen memiliki beban berlebih sehingga tak bisa melakukan riset dan mempublikasikannya secara wajar. Porsi mengajar memberatkan dosen, terutama bagi yang mengajar dengan satuan kredit semester (Lofts, 2016). Aturan seharusnya lebih mendorong agar dosen melakukan riset bermutu dengan mengurangi beban administratif. Hal lain yang perlu dilakukan adalah memberikan pelatihan dan pendampingan riset serta publikasi kepada dosen secara intensif, membudayakan suasana akademis untuk diskusi yang terbuka dan sehat, serta penghargaan berbasis merit. 


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus