Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan dalih apa pun, penolakan Susno Duadji menjalani hukuman penjara tiga setengah tahun akibat korupsi jelas melawan akal sehat. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI itu jelas-jelas dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung juga menolak permohonan Susno. Maka pilihan terbaik bagi Susno, yang berpuluh tahun bertugas menegakkan hukum, hanya satu: mematuhi apa yang dia jalankan selama ini.
Susno jelas punya hak mempersoalkan ketidakcermatan administrasi Mahkamah Agung dalam amar putusan untuknya. Vonis Mahkamah itu tidak mencantumkan perintah menahan Susno. Barangkali dengan itu Susno hendak mengesankan ada persoalan hukum serius yang mesti diluruskan. Sebelum hal itu dibenahi, barangkali begitu jalan pikiran Susno dan pengacaranya, ada alasan kuat untuk membangkang terhadap panggilan eksekusi kejaksaan. Tindakan ini terkesan mengada-ada dan hanya memperlihatkan usaha "sekenanya" mengelak dari hukuman.
Boleh saja Susno menganggap putusan Mahkamah Agung bermasalah. Tapi ia dan tim kuasa hukumnya perlu serius menyimak penetapan Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan putusan seperti yang dikeluarkan Mahkamah Agung itu tidak batal demi hukum. Dalam penetapan tanggal 22 November 2012, Mahkamah Konstitusi menghapuskan Pasal 197 ayat 1-k Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur keharusan pengadilan mencantumkan perintah penahanan bagi terdakwa dalam amar putusan.
Lanjutan pembelaan Susno dan tim hukumnya malah terkesan rapuh. Mereka beralasan penetapan Mahkamah Konstitusi tak berlaku untuk vonis Susno dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2010 dan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 2011. Padahal pokok soal yang diperdebatkan adalah putusan kasasi Mahkamah Agung, yang terbit pada hari yang sama dengan penetapan Mahkamah Konstitusi.
Susno dan tim pembelanya tidak salah menyoroti kecerobohan administrasi pengadilan. Bahkan kesalahan elementer dalam kasus ini, seperti salah menulis nomor perkara atau seorang kepala seksi salah wewenang dengan menandatangani surat eksekusi, seharusnya ikut diusut. Bukan tak mungkin ada kesengajaan melakukan beberapa kekeliruan "kecil" yang salah-salah bisa mengakibatkan terdakwa bebas demi hukum. Apalagi pengadilan di negeri ini, sampai sekarang, bukanlah wilayah yang bebas suap dan korupsi.
Ikhtiar Susno untuk "gaduh-gaduh sedikit" itu setidaknya "bermanfaat" untuk mengkritik kecerobohan administrasi pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung. Sekalipun begitu, seandainya pun beberapa "gugatan" Susno diterima, misalnya soal tanda tangan pejabat kejaksaan pada berkas eksekusi, dewi fortuna tak berpihak padanya.
Materi putusan pengadilan negeri sampai Mahkamah Agung tetap menyatakan Susno melakukan korupsi. Ia terbukti menerima suap untuk mempercepat penanganan perkara PT Salmah Arowana Lestari dan memakai dana pengamanan pemilihan kepala daerah Jawa Barat pada 2008 untuk keperluan pribadi. Sangat disayangkan, Jenderal Susno, yang semula kelihatan sangat siap menjalani hukuman, berubah setelah menemukan "celah" putusan kasasi—yang ternyata bukanlah pintu menuju kebebasan.
Susno akan tampak terhormat bila berbesar hati menjalani konsekuensi hukum atas apa yang telah diperbuat. Membesar-besarkan kekeliruan administrasi hanya memperlihatkan keciutan nyali belaka.
berita terkait di halaman 84
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo