Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prinsip kehati-hatian telah dilanggar Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten, atau Bank BJB, ketika manajemen membeli properti di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Selain menelikung asas utama bisnis perbankan, transaksi pembelian senilai lebih dari setengah triliun rupiah itu ternyata menyimpan banyak kejanggalan.
Proyek pembelian gedung ini memang ajaib. Bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu semula berencana punya gedung sendiri untuk kantor cabangnya di Jakarta. Setelah direksi lamanya diganti, manajemen memutuskan membeli sebagian lantai bangunan milik perusahaan lain. PT Comradindo Lintasnusa Perkasa, yang ditunjuk membeli properti, ternyata perusahaan teknologi informasi.
Comradindo tumbuh seperti bisnis Ali Baba bermodal mantra simsalabim. Ajaib, perusahaan ini secepat kilat menerima pembayaran uang muka dari Bank BJB senilai 40 persen dari total transaksi. Padahal peraturan bank itu membatasi pembayaran uang panjar pengadaan barang dan jasa maksimal 30 persen. Artinya, manajemen bank menabrak aturan yang mereka bikin sendiri.
Penelusuran Tempo menemukan keajaiban lain. Begitu menerima kucuran fulus, Comradindo segera mengalirkan dana itu ke sejumlah rekening penampungan yang tak jelas siapa gerangan pemiliknya. Dana yang dikirimkan ke sejumlah rekening di Bank Panin dan Bank Capital ini Rp 212 miliar lebih.
Abrakadabra, tongkat sulap makin bikin kaget: tanah tempat gedung yang bakal dibangun itu ternyata milik perusahaan lain, PT Sadini Arianda. Walhasil, Comradindo diduga hanya menjadi makelar transaksi jumbo ini. Asyik bagi perusahaan itu, mereka juga digelontori kredit modal kerja Rp 80 miliar dari Bank BJB sebulan sebelum kesepakatan jual-beli diteken.
Serangkaian kejanggalan itu memantik dugaan bahwa transaksi tak semata-mata didasari pertimbangan bisnis. Kecurigaan itu bukan tanpa dasar. Jika ditilik kronologinya, pembelian properti ini bertautan dengan pemilihan direksi baru yang prosesnya tak wajar. Calon anggota direksi yang memiliki catatan negatif perbankan diloloskan, sedangkan yang bebas riwayat kejahatan malah disingkirkan. Pergantian ini ternyata berujung memuluskan pembelian properti yang tersendat sejak 2006.
Perlu penyelidikan serius buat menyingkap pelbagai kejanggalan itu. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan bisa memulainya dengan melacak aliran dana ke semua rekening penampungan yang pemiliknya tak dikenal itu. Auditor independen perlu diturunkan guna menilai transaksi dan prosedur pembeliannya, yang diduga tak wajar. Mereka membayar di atas harga versi konsultan bank itu. Harga properti di lokasi gedung diperkirakan Rp 30-35 juta per meter persegi. Nyatanya, Bank BJB membayar ke Comradindo Rp 38 juta per meter persegi.
Melihat kaitan sejumlah tokoh yang bertransaksi, bukan tidak mungkin keanehan pembelian properti itu berkaitan dengan kegiatan politik. Menurut penelusuran Tempo, pemilik Comradindo dan pendiri PT Brocade Insurance Broker, perusahaan asuransi yang ditunjuk sebagai penjamin, merupakan orang-orang dekat Ahmad Heryawan—Gubernur Jawa Barat sejak 2008, yang terpilih kembali bulan lalu.
Pelbagai dokumen, seperti salinan cek pembayaran, akta-akta perusahaan, juga keterangan dari banyak narasumber, menguatkan kaitan politik itu. Karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan mulai menginvestigasi perkara ini. Penyelidikan hukum diperlukan sebagai upaya menjaga Bank BJB dari tangan-tangan kotor. Kegiatan yang tak berhubungan dengan bisnis perbankan harus segera dijauhkan. Mereka yang terbukti bersalah melakukan kejahatan kerah putih kudu bertanggung jawab.
Dengan total dana pihak ketiga tahun lalu sebesar Rp 50,2 triliun, bank milik masyarakat Jawa Barat dan Banten ini cukup perkasa. Bisa jadi, bank itu menjadi sasaran empuk untuk digerus melalui transaksi lancung dan kegiatan politik penguasa. Bandingkan dengan besarnya dana pihak ketiga di Bank Century, yang "cuma" Rp 9,5 triliun. Pada 2008, bank gurem itu harus diselamatkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan ketika kolaps digerogoti pemiliknya sendiri—karena diyakini bisa berdampak sistemik. Kita berharap Bank BJB tak pernah bernasib seperti itu.
Kesehatan bank pembangunan yang asetnya terbesar dibandingkan dengan bank serupa di seluruh Indonesia ini perlu dijaga. Aspek permodalan, kualitas aset, manajemen, rentabilitas, dan likuiditasnya harus benar-benar bugar. Prinsip prudensialnya tak cukup hanya diterapkan dalam kegiatan usaha, tapi juga ketika bank ini berinvestasi, misalnya membeli properti. Manakala bau anyir menyengat di balik transaksi pembelian properti ini, siapa pun yang terlibat mesti digulung.
berita terkait di halaman 36
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo