Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Nusantara: Ingatan dan Ikatan

Masyarakat Indonesia telanjur memiliki ikatan emosional dengan Nusantara sebagai wilayah sekaligus kebudayaan yang luas.

12 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Polemik penamaan ibu kota negara baru.

  • Penamaan tempat cenderung rumit karena melibatkan pengetahuan, perasaan, dan imajinasi publik.

  • Kompleksitas penamaan tempat dapat digambarkan oleh dua kata kunci, yaitu ingatan dan ikatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USUL pemerintah untuk menamai ibu kota negara yang baru dengan sebutan Nusantara menjadi polemik. Penamaan tempat cenderung rumit karena melibatkan pengetahuan, perasaan, dan imajinasi publik yang sangat beragam. Secara ringkas, kompleksitas penamaan tempat dapat digambarkan oleh dua kata kunci, yaitu ingatan dan ikatan. Ingatan berkaitan dengan pengetahuan tentang masa lalu, sedangkan ikatan berkaitan dengan respons afektif, emosional, dan tindakan masyarakat yang diharapkan pada masa mendatang.

Nama tempat selalu terkait dengan ingatan karena salah satu fungsinya adalah menjadi monumen, alat memahatkan ingatan. Sejumlah nama kota di Indonesia adalah dokumentasi ingatan publik tentang kondisi alam dan sosial wilayah tersebut di masa lalu. Kondisi alam biasanya terkait dengan rupabumi, flora, ataupun fauna. Adapun kondisi sosial biasanya terkait dengan perubahan masyarakat, baik perubahan politik, keyakinan, maupun tempat tinggal.

Nama Bandung, misalnya, berkaitan dengan bentuk permukaan wilayah tersebut yang rendah sehingga (pernah) menjadi bendungan. Nama Surabaya terkait dengan dua satwa yang menghuni laut dan darat, air asin dan air tawar. Nama Banjarmasin berkaitan dengan perubahan pola hidup berbasis sungai ke pola berbasis pantai (Nawawi, dkk., 1986). Adapun nama Kendari terkait dengan peralatan bernama kandi yang dipakai nelayan setempat untuk mendorong perahu.

Sementara ingatan berkaitan dengan masa lalu, ikatan berkaitan dengan afeksi, sikap, dan tindakan masyarakat pada masa depan. Ikatan adalah unsur penting karena nama tempat yang baik tak sekadar menandai satuan geografis. Lebih dari itu, nama tempat juga harus membangkitkan kebanggaan yang membuat masyarakat bersikap dan bertindak positif.

Secara kebahasaan, afeksi positif sebuah tempat dapat dibangkitkan melalui tiga cara: bunyi yang indah (eufonik), memiliki makna positif secara semantis, dan merujuk pada realitas empiris atau konseptual yang baik.

Persoalan ingatan dan ikatan itulah yang membuat “Nusantara” cenderung problematis jika digunakan sebagai nama ibu kota negara yang baru. Selama puluhan tahun nama ini telah dinisbatkan pada satuan geografis yang meliputi keseluruhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Versi lain menyebutkan Nusantara adalah sebutan untuk wilayah yang kini termasuk wilayah Indonesia, Malaysia, dan Singapura, bahkan seluruh wilayah Asia Tenggara kini.

Jika “Nusantara” digunakan sebagai nama ibu kota baru, akan muncul kerancuan kognitif karena nama tersebut merujuk pada dua entitas spasial yang berbeda. Pengguna harus menata ingatan konseptualnya kapan “Nusantara” merujuk pada realitas spasial yang lama dan kapan merujuk pada yang baru. Pada titik tertentu, kerancuan kognitif akan melahirkan kerancuan komunikatif.

Namun persoalan lebih serius justru pada persoalan ikatan. Masyarakat Indonesia telanjur memiliki ikatan emosional dengan Nusantara sebagai wilayah sekaligus kebudayaan yang luas. Sebagai entitas geografis, ia mencakup belasan ribu pulau yang sangat luas. Adapun sebagai entitas kebudayaan, Nusantara mencakup aneka produk pemikiran, aktivitas, dan artefak yang selama ribuan tahun diciptakan masyarakat di kepulauan tersebut.

Jika “Nusantara” menjadi nama bagi ibu kota negara baru, apakah ikatan emosional dengan “Nusantara” yang lama bisa terjaga? Apa konsekuensi sosial dan kulturalnya jika ikatan masyarakat dengan “Nusantara” yang lama memudar dan bahkan putus?

Pertanyaan ini layak dikemukakan karena pergantian nama tempat terbukti memiliki dampak sosial terhadap masyarakat yang menghuninya (Gramegna, 2000). Strategi penggantian nama bahkan pernah digunakan rezim fasis Italia untuk memutus ikatan batin suatu tempat dengan masyarakatnya. Selama berkuasa, rezim itu mengubah sekitar 8.000 nama tempat agar rasa memiliki warga lokal menjadi pudar. Ini dilakukan agar dalam jangka panjang wilayah tersebut lebih mudah dikuasai.

Penamaan ibu kota baru tentu tidak dimaksudkan untuk tujuan itu. Namun konsekuensi tersebut perlu diantisipasi sejak awal. Selain mengingatkan pada kejayaan masa lalu, nama ibu kota negara memantik imajinasi positif tentang kehidupan ideal di masa mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus