Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah
Dosen Program Pascasarjana Universitas Nurul Jadid Paiton, Jawa Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya dalam hitungan hari setelah Anwar Ibrahim dan Mahathir Mohamad duduk semeja untuk menegaskan bahwa transisi kepemimpinan akan berlangsung setelah sidang Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada November 2020, koalisi Pakatan Harapan tumbang. Azmin Ali, mantan Wakil Presiden Partai Keadilan Rakyat (PKR), hengkang dari kubu Pakatan. Tak lama kemudian, Muhyiddin Yassin, Presiden Partai Pribumi Bersatu Malaysia, keluar juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tun M sebutan akrab Mahathir Mohammad yang semula dianggap sebagai otak di balik kemelut, ternyata juga menjadi korban dari kehendak Muhyiddin dan Azmin untuk membentuk pemerintahan baru dengan mengajak Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Partai Islam Se-Malaysia (PAS) untuk bergabung dalam kerajaan (baca=pemerintahan) yang menempatkan Melayu Islam sebagai kekuatan utama. Isu yang selalu diembuskan oleh kelompok tersebut adalah dominasi politik Partai Aksi Demokratik (DAP), yang berada di bawah kendali kaum Tionghoa, telah menyandera Pakatan.
Pada awalnya, ada tiga kubu yang sama-sama berhak untuk didengar oleh Raja Malaysia Yang di-Pertuan Agoeng Sultan Abdullah Ri’ayatuddin Al-Mustafa Billah Shah untuk mengakhiri perebutan kekuasaan, yaitu Anwar Ibrahim, Tun M, dan UMNO-PAS, yang menyebut dirinya sebagai Mufakat Nasional. Mengingat ketiganya tidak mempunyai kursi mayoritas, akhirnya Istana memanggil satu per satu anggota parlemen untuk dimintai tanggapannya mengenai sosok yang layak untuk menjadi orang nomor satu di negeri itu.
Setelah Raja menetapkan Muhyiddin Yassin sebagai perdana menteri dengan pertimbangan sebagai wakil rakyat yang mungkin mendapat suara mayoritas, keadaan mereda. Namun penetapan ini menyatukan Anwar dan Mahathir kembali dengan menyodorkan bahwa Pakatan Harapan kembali mendapatkan dukungan 114 suaradari suara minimal 112dari 222 kursi untuk menduduki Putrajaya. Namun keputusan tidak bisa dibatalkan. Muhyiddin telah dilantik sebagai Perdana Menteri Malaysia kedelapan.
Meskipun secara resmi pemerintahan baru terbentuk, Pakatan Harapan tidak berdiam diri. Bagaimana bisa partai yang kalah dalam pemilihan umum 2018 membentuk pemerintahan? Lebih aneh lagi, Mahathir, yang menjadi Ketua Partai Bersatu, didepak dari partainya sendiri oleh Muhyiddin.
Namun rekam jejak tidak bisa dihapus. Perikatan Nasional, yang menggantikan Pakatan Harapan, didorong oleh dua partai besar yang berdasarkan etnis, UMNO; dan agama, PAS. Ketika Anwar Ibrahim dipandang berhak untuk menduduki kursi perdana menteri, mengingat dia mengantongi suara lebih besar dari kubu Mahathir dan UMNO-PAS, portal PAS, Harakah Daily, menurunkan berita bahwa pemerintahan Anwar dikuasai oleh non-muslim. Ini memang tidak bisa dinafikan karena banyak anggota parlemen DAP dan PKR yang tidak beragama Islam.
Selain itu, UMNO sering kali menyuarakan dominasi Tionghoa dalam pemerintahan Pakatan Harapan. Beberapa kontroversi yang sering diangkat ke permukaan adalah keinginan ijazah sekolah-sekolah Tionghoa diakui sehingga bisa mendaftar di perguruan tinggi lokal. DAP sebagai partai komponen PH tentu berjuang untuk memenuhi janji politiknya. Namun UMNO melihatnya sebagai tindakan chauvinisme karena dalam sebuah negara hanya ada satu sistem pendidikan yang seharusnya diterapkan.
Jelas, betapa pun Muhyiddin menegaskan bahwa pemerintahannya akan berdiri di atas semua golongan, kekuasaannya ditopang oleh sentimen agama dan etnis. Malah, secara moral, dukungan ini juga diperoleh dari wakil rakyat yang masih menjalani sidang pengadilan karena skandal rasuah sehingga legitimasi etisnya tidak kokoh. Jika tokoh-tokoh politik itu nanti diputuskan bersalah, jelas secara otomatis suara yang mereka kantongi akan berkurang. Dengan selisih tipis, Muhyiddin bisa dengan mudah dilengserkan.
Sebelumnya, Anwar Ibrahim, pemimpin PKR, ditawarkan untuk mendapatkan dukungan dari UMNO dengan syarat meninggalkan DAP. Tentu hal itu akan membuat Anwar mengkhianati rekan-rekannya yang sejak era reformasi telah mendampinginya dalam membentuk Pakatan Rakyat, yang kemudian menjadi Pakatan Harapan setelah PAS memilih bercerai. Sikap Anwar yang tidak mau menerima pinangan ini jelas menunjukkan konsistensinya bahwa politik kekuasaan itu tidak menghalalkan segala cara.
Dari modal inilah, Anwar Ibrahim sejatinya tetap berpeluang untuk bermain di gelanggang. Jelas, kursi DAP yang paling besar dan dukungan Tionghoa akan senantiasa berada di pihak Anwar. Mengingat Partai Bersatu terpecah dua, kubu Mahathir dan Muhyiddin, maka enam wakil rakyat yang berada di pihak Mahathir tentu akan menimbang bahwa partai berlogo kembang sepatu ini tak lagi bisa diharapkan menjadi kendaraan politik.
Pilihan selanjutnya untuk melawan Perikatan Nasional adalah menunggu sidang rakyat yang akan digelar pada 18 Mei nanti. Jika digelar, usulan mosi tidak percaya bisa muncul dan akan menguji apakah Muhyiddin betul-betul mendapatkan kepercayaan mayoritas anggota dewan. Bila mendapat sokongan penuh, Muhyiddin akan memegang tampuk kekuasaan hingga 2023. Bila tidak, koalisi baru mungkin harus dibentuk atau Raja memutuskan menggelar pemilihan umum untuk mengakhiri krisis politik di Negeri Jiran.