Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Meluruskan Arah Pembangunan Perikanan

Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu menata kembali arah pembangunan perikanan untuk kesejahteraan nelayan.

2 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kesejahteraan nelayan menjadi tantangan utama pembangunan perikanan.

  • Indikator nilai tukar nelayan belum membumi dalam kehidupan nelayan.

  • Kebijakan pembangunan perikanan perlu diluruskan.

Dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa, 28 Februari 2023, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono memastikan pelaksanaan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pascaproduksi di bidang perikanan tangkap adalah untuk kepentingan nelayan dan keberlanjutan sumber daya ikan. Selain kesejahteraan, masalah keberlanjutan usaha perikanan dan regenerasi pelaku usaha perikanan perlu dipertimbangkan.


Yonvitner

Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB

Masalah kesejahteraan nelayan berada di urutan teratas dalam daftar tantangan pembangunan perikanan yang perlu dijawab segera. Selanjutnya ada keberlanjutan usaha perikanan dan regenerasi pelaku usaha perikanan. Sejak Kementerian Kelautan dan Perikanan didirikan pada Oktober 1999, fokus pembangunan diharapkan tertuju pada kemiskinan nelayan. Namun masalah sistem usaha patron-klien, akses yang terbatas, akses yang kurang terhadap modal, dan belum ada pengakuan atas profesi nelayan masih menghantui kehidupan nelayan sampai saat ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Indikator kesejahteraan yang dibangun berdasarkan nilai tukar nelayan (NTN), yang saban tahun digambarkan naik, belum terlihat membumi dalam kehidupan nyata nelayan. Faktanya, nelayan kecil masih kesulitan mendapatkan penghasilan yang layak sesuai dengan kebutuhan hidup minimum (KHM). Riset Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) di Labuan serta Lempasing di Lampung menemukan 74 persen nelayan anak buah kapal (ABK) dan sebagian nakhoda berada dalam kondisi miskin. Hanya 26 persen yang berada di atas garis batas kemiskinan dan dianggap mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum, tapi mereka masih harus berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak buat keluarga dan anak-anaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setali tiga uang, kebijakan bagi hasil atau pengupahan pada kapal besar juga belum berdampak baik pada pendapatan nelayan. Efek kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) perikanan dengan skenario bayar di muka akibat penetapan harga patokan ikan yang tidak diiringi dengan kenaikan daya beli masyarakat telah menggerus margin usaha perikanan.

Terjadinya dekonstruksi usaha perikanan sejak 2015, dengan menurunnya unit penangkapan dan tenaga kerja aktual perikanan, menjadi indikator adanya guncangan dalam sistem usaha perikanan. Indikator produktivitas dan PNBP yang ditampilkan tidak mewakili besaran pendapatan yang diperoleh nelayan, terutama nelayan skala kecil, karena peningkatan produktivitas terjadi akibat menurunnya upaya tangkap.

Indikator lain adalah penurunan keberlanjutan perikanan dan perubahan nilai unit pengolahan ikan (UPI). Ada fakta menarik yang perlu ditegaskan mengenai perbedaan data UPI karena perubahan skala UPI, dari kategori usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) serta besar menjadi usaha mikro-kecil dan menengah-besar. Perubahan itu terkesan hanya untuk memformulasi capaian indikator kinerja utama (IKU) bahan baku dan produk olahan yang selalu ditargetkan meningkat. Faktanya, yang harus diperhatikan adalah kondisi kesejahteraan tenaga kerja pengolah UMKM dan tenaga kerja industri besar. Simulasi output produk juga belum mampu menjelaskan kesejahteraan pelaku usaha olahan ikan.

Tantangan ketiga adalah mandeknya regenerasi perikanan. Sebagian besar motif menjadi nelayan adalah tidak adanya profesi lain karena keterbatasan ilmu pengetahuan. Potensi nelayan berpendidikan di kalangan generasi muda makin terbatas. Kalau saat ini diklaim banyak startup muda yang bergerak di bidang perikanan, sebagian besar dari mereka bermain di wilayah perdagangan. Sangat sedikit yang mau terjun ke proses produksi, terutama penangkapan ikan.

Kebijakan yang gonjang-ganjing dari skema usaha, dukungan perlindungan aset, tekanan capaian PNBP yang dibayar di muka, dan harga BBM yang terus meningkat telah mendorong sektor perikanan menuju jurang kematian generasi. Generasi muda tidak melihat sesuatu yang menarik dilakukan di sektor perikanan dan tetap menganggap perikanan sebagai sektor yang tidak mampu memberi harapan yang lebih baik.

Dengan demikian, kita perlu meluruskan kembali kebijakan pembangunan perikanan. Pertama, mengubah pola pikir (mindset) rencana pembangunan perikanan. Kedua, mengevaluasi kebijakan, dari peraturan pemerintah, peraturan menteri, hingga kebijakan turunan. Ketiga, mendorong kerja sama institusi yang lebih baik dengan skema kolaborasi institusi. Keempat, meletakkan kebijakan pada basis data yang valid dan dapat diandalkan.

Pola pikir pembangunan perikanan dengan konsep memanen sepanjang tahun harus dibarengi dengan pemahaman mengenai dinamika stok. Setiap ikan memiliki ketangguhan (resilience) berbeda terhadap tekanan penangkapan. Pola pikir terhadap akses penangkapan juga perlu diluruskan agar kemudian tidak menyebabkan nelayan terkotak-kotak. Pola pikir kewenangan daerah, yang diturunkan menjadi kluster daerah, turut mematikan tempat pendaratan ikan karena akses yang mulai terbatas. Kecerdasan ilmiah dan institusi perlu dibangun agar perikanan dapat dikelola dengan tepat.

Evaluasi kebijakan menjadi sangat mendesak dilakukan, tapi harus berbasis peta jalan pembangunan perikanan. Banyak kebijakan dibuat, tapi seperti "hujan lebat", yang sering keluar dari peta jalan menurut Undang-Undang Perikanan. Beberapa kebijakan soal garam, misalnya, tidak berbasis pasokan dan permintaan sehingga menggerus upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Neraca garam haruslah disetujui oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan sebelum Kementerian Perdagangan menandatangani kuota impor.

Begitu juga PNB sektor perikanan dari skema pungutan harus berbasis data yang valid sesuai dengan situasi lokal. Sering kali harga ikan berbeda antarlokasi sehingga nilai pendapatan nelayan juga berbeda, yang seharusnya diikuti skenario pungutan yang sesuai. Penetapan satu angka setiap lokasi dapat bermasalah pada daerah yang jauh dari pasar perikanan. Peningkatan harga patokan bahkan bisa berdampak buruk pada penurunan laju konsumsi ikan nasional.

Selain itu, kebijakan dalam perlindungan usaha, dari harga BBM yang terjangkau, kesehatan ikan, hingga kesehatan dan perlindungan nelayan, harus dicermati kembali dengan baik. Jangan sampai kemudian aset-aset usaha perikanan tidak bisa dijamin pemerintah karena risiko yang tinggi. Ironis memang ketika risiko tinggi menjadi tanggung jawab nelayan, tapi pemerintah mematok pungutan yang besar tanpa ada yang kembali untuk perlindungan tersebut.

Agar usaha perikanan berjalan baik, kolaborasi institusi harus lebih nyata. Ketika Kementerian Kelautan dan Perikanan kehilangan lembaga riset, kemitraan dengan kampus harus menjadi prioritas. Kini peta jalan riset perikanan untuk kebijakan makin kabur, selain peneliti bergerak sendiri-sendiri untuk menyelamatkan kepakaran masing-masing, yang ruang integrasinya masih terasa gelap. Dengan memanfaatkan kerja sama dengan kampus, ruang pengelolaan pada 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) bisa diintegrasikan dengan kampus-kampus pada WPP tersebut. Lembaga Pengelola Perikanan (LPP) WPP harus bertransformasi menjadi frontier knowledge dan berinovasi pada level WPP. Perubahan pola pikir ini diperlukan agar perikanan dan kebijakan tetap berbasis ruang serta partisipasi masyarakat.

Hal lain adalah meletakkan kembali pembangunan perikanan sesuai dengan data yang benar, valid, dan presisi. Di awal berdirinya Kementerian Kelautan, kita menggunakan data statistik yang publikasinya tertunda dua tahunan dan hanya menjadi pajangan arsip tanpa bisa digunakan untuk pengelolaan, terutama mitigasi risiko yang sifatnya perlu evaluasi cepat. Beberapa langkah yang sudah ditempuh, seperti e-logbook (catatan elektronik nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan) dan satu data (integrasi data Kementerian), harus sudah menjadi dasar aktivitas perikanan secara realtime. Adapun estimasi pertumbuhan biomassa berbasis ekosistem sudah bisa dilakukan berdasarkan survei elektronik yang lebih terjangkau. Dengan data yang lebih aktual, tindakan pengelolaan dapat diambil cepat apabila status stok ikan membaik atau memburuk. Iming-iming data statistik sudah harus diakhiri kalau mau investasi membaik.

Melalui langkah-langkah di atas, pembangunan perikanan dan kelautan diharapkan dapat lebih presisi dan atraktif bagi generasi muda serta pelaku usaha. Jangan sampai kemudian laut kita hanya dipenuhi oleh investor asing, dan nelayan kita jadi jongos di era ekonomi biru.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan Anda ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus