Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita beruntung karena bisa menikmati acara televisi dari negeri jiran ini. Banyak orang yang menganggapnya tontonan anak sekaligus tuntunan. Betapapun dua tokoh utama serial drama ini, Upin dan Ipin, kadang berbuat tak sepatutnya, keduanya hadir sebagai anak-anak yang sedang belajar dan perilaku mereka masih wajar. Lebih jauh, kita bisa mengenal lebih dekat negara yang dianggap paling mengusik jati diri dan kedaulatan itu.
Sejatinya, untuk Malaysia sendiri, karya ini membawa pesan yang penting bagi sebuah negara yang majemuk dari segi agama dan etnis. Upin-Ipin, Jarjit Singh, dan Mei Mei menggambarkan sosok yang mewakili tiga etnis terbesar di Semenanjung, yakni Melayu, India, dan Tionghoa. Dengan latar belakang kampung, empat tokoh itu menjadi pemantik untuk menghadirkan pesan edukatif melalui cerita. Menariknya, serial animasi yang ditayangkan di stasiun televisi MNC ini disiarkan dalam bahasa asli, bukan melalui penyulihan suara, sehingga anak-anak dan orang dewasa bisa merasakan keaslian dan keutuhan kisahnya.
Namun, tanpa terjemahan teks dalam bahasa Indonesia, mungkin pemirsa bisa salah paham karena, meski kedua negara mempunyai akar bahasa yang sama, Melayu, kadang satu kata membayangkan arti yang berbeda. Tak hanya itu. Memang sebuah kata bisa dipahami secara sama, tapi jarang kata itu dipakai dalam penulisan dan percakapan, misalnya “tingkap” dan “jendela”. Orang Indonesia sering menggunakan kata yang terakhir dan mungkin tak segera memahami padanannya yang acap dipakai di negara tetangga.
Kita tentu mengacungkan jempol kepada penerjemah, yang berhasil mengalihbahasakan percakapan kartun ini ke dalam bahasa nasional. Hanya, kadang yang bersangkutan gagal menerjemahkannya secara konseptual. Misalnya, dalam salah satu dialog, nenek Upin-Ipin menukas perkataan Kak Ros dengan berujar senang sangat setelah berhasil berbalas pantun. Semestinya kata ini diganti dengan mudah sekali. Kata “kacau” juga tak dihadirkan dalam arti kontekstual. Lema ini bisa berarti “mengganggu”, yang dibiarkan oleh penerjemah dengan “mengacau”. Ada nuansa makna di sini.
Kata lain yang digunakan adalah “angkasawan”. Negeri jiran telah mengantarkan warganya, Sheikh Muszaphar Shukor, ke angkasa luar. Tak pelak, kata ini sering muncul dalam berita dan menjadi ilham anak-anak sekolah. Lema ini dialihbahasakan dengan “astronaut” (kadang ditulis “astronot”), meskipun sejatinya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga mengenal “angkasawan” dengan makna serupa. Menariknya, kata terakhir ini juga berarti “orang yang bertugas sebagai penyiar radio; orang yang berkecimpung di bidang siaran radio”, sementara negara bekas jajahan Inggris itu memilih “penyampai”, bukan “angkasawan”.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penggunaan serapan “sepatu”, yang berasal dari bahasa Portugis, sepato. Mei Mei akan menyebutnya “kasut”, sebagaimana warga jiran pada umumnya. Betapapun “kasut” adalah sinonim dari “sepatu” dalam KBBI, nama lain dari alas kaki ini mungkin tak bisa dipahami oleh Anda dengan serta-merta karena jarang dimanfaatkan dalam percakapan ataupun karangan di pelbagai media. Sebaliknya, orang Semenanjung akan mengernyitkan dahi apabila mendengar kata “sepatu”. Uniknya, orang Pontianak dulu sering menggunakan kata “kasut”, alih-alih “sepatu”.
Kehadiran tokoh Susanti, sebagai orang Indonesia, tentu memperjelas perbedaan dialek dan pemilihan kata dalam penggunaan bahasa serumpun ini. Meski demikian, bahasa komunikasi Melayu Riau begitu dekat dengan Semenanjung, sehingga kita tak bisa menganggap logat mereka bukan bagian dari khazanah kita di sini. Hanya atas dasar pembakuan, huruf “a” terakhir dari sebuah kata tak lagi dilafalkan dengan suara “e” pepet. Adapun bunyi huruf “a” dalam lagu dari dua negara sama persis. Tidak aneh, kedua warga negara ini sama-sama menikmati lagu Madu Tiga P. Ramlee dan Ahmad Dhani tanpa halangan berarti.
Sementara orang Melayu Riau bisa memahami kata “membelasah”, mungkin orang Jawa yang berbahasa Indonesia tidak akan segera memahaminya. “Membelasah” dalam KBBI adalah “memukul”, tapi kebanyakan pembaca yang tidak berasal dari Tanah Lancang Kuning akan lebih mudah memahami kata “menggebuk”, yang diambil dari bahasa Jawa. Di Semenanjung, kata “belasah” bersinonim dengan “gebuk”, yang menggambarkan perilaku kalap orang yang memukuli korban secara bertubi-tubi. Mengapa kata “gebuk” lebih dikenal? Karena pusat bahasa kita terletak di Jawa.
Mungkin perjalanan bahasa Indonesia akan berubah jika ibu kota dipindahkan ke Kalimantan, tempat asal mula bahasa Melayu (James T. Collins, Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Ringkas, 2011). Secara hipotesis, perpindahan itu akan makin mendekatkan kedua bahasa ini. Siapa tahu?
*) Dosen Program Pascasarjana Universitas Nurul Jadid Paiton
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo