Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JURNAL Arus Pemikiran Islam dan Sosial Maarif (2023) pernah secara khusus mendedahkan legacy Syafii Maarif terutama soal pemikiran keislaman dan sosok humanisnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu artikel dalam jurnal tersebut mengaitkan catatan Mitsuo Nakamura tentang nomenclature of virtues sebagai kepribadian ideal Muhammadiyah dengan laku hidup mengesankan Syafii Maarif. “Ia yang mukmin, yang hidup dengan pantas dan menghindari kemewahan, yang tidak menjadi tradisional namun egaliter, walau rendah hati,” demikian tertulis dalam salah satu artikel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama Syafii, ada Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid. Ketiganya pernah disebut Yudi Latif sebagai sosok manusia ide dan manusia etik yang “menunjukkan laku kehidupan penuh keugaharian”.
Dalam pemikiran etika mutakhir, berkembang upaya melangkaui model kewajiban dengan segala ketentuannya selaku basis moral. Intinya, tindakan yang baik tidak pernah bisa persis sama dengan apa yang agama atau norma adat ajarkan. Situasi kehidupan membutuhkan pengertian kita tentang duduk perkara dan dalam situasi itulah manusia harus mengambil sikap dan tindakan.
Segera kita ingat betapa para koruptor umumnya hidup saleh dan bekerja di bawah sumpah. Namun, sebanyak apa pun sumpah ia ucapkan dan ketentuan agama ia yakini, tetap saja ia tak merasa bersalah saat mencuri uang negara.
Maka kita bisa merujuk pada etika keutamaan (virtue ethic) yang telah diajukan Aristoteles berabad silam. Intinya, tindakan yang baik dan benar tidak dimulai dari mencari ketentuan mana yang harus manusia ikuti, atau hindari karena dilarang, tapi dari laku mencari di dalam diri sendiri tentang apa yang bajik agar hidup menjadi bahagia.
Setiap orang perlu menetapkan sejumlah tabiat khas dalam dirinya, lalu dengan mempraktikkan tabiat tersebut ia akan menemukan siapa dirinya yang sesungguhnya sehingga selanjutnya kebaikan akan muncul. Argumen ini telah pula mendorong sekolah di Indonesia menerapkan penguatan karakter sejak 2016.
Ketiga guru bangsa di atas dikenang karena karakter—sejumlah keutamaan yang mengiringi pemikiran jernih mereka. Dengan pribadi virtuous mereka, kita kemudian maklum pada proses panjang jatuh-bangun, juga kesalahan dan keteladanan mereka.
Sebagai bangsa, kita tak mudah belajar dan meneladankan ketiga guru tersebut. Sekelumit pertanyaan: apakah kebajikan yang merasuk dalam pribadi kita jarang bisa dipraktikkan? Atau jangan-jangan, seperti dicatat Thomas Nagel, ketiga guru itu beruntung secara etis karena berada dalam situasi tertentu yang membuat mereka mendapat moral luck.
Sehari-hari, kita harus berebut kesempatan dan uang. Kita tak bisa menghindar dari pelbagai benturan dan bersiasat. Kita sulit berbuat baik karena situasi menuntut kita berkilah, memaksa, lalu meraih apa saja sebanyak-banyaknya. Terlalu banyak hal yang membatasi dan memaksa sehingga kita melakukan segala cara untuk mengatasi constraint tersebut. Sesekali mungkin saja kita bisa berbuat baik, walau umumnya tidak.
Ketiga guru bangsa tersebut tidak berada dalam situasi moral yang umumnya dihadapi warga biasa. Inilah yang saya maksud dengan situational moral luck tadi.
Mereka bertanggung jawab pada ruang-ruang rohani dan intelektual, sehingga jawaban keutamaan etis lebih mungkin mereka dapat dan berikan. Atas persoalan kebencian, mereka menunjukkan empati. Atas intoleransi agama, mereka menunjukkan inklusi. Atas kekerasan, mereka menyuarakan damai. Meski saya yakin mereka pun tentu menghadapi tantangan moral tertentu yang khas.
Alasdair MacIntyre mungkin tak setuju pada catatan saya di atas meski ia yakin bahwa sebentuk keutamaan tak hanya membuat seseorang bahagia jika mempraktikkannya, tapi juga jika berhasil. Baginya, keutamaan ibarat sengat bagi lebah, suatu kualitas kepribadian yang menguntungkan.
Untuk menang dalam pertandingan catur, seseorang perlu melatih diri. Manusia tak akan dapat menyintas kalau tak memiliki standar keterampilan tertentu. Kita tak mungkin bertahan dalam hidup modern jika tak memiliki kecakapan.
Tapi kecakapan itu bukan keutamaan. Keutamaan, seperti kesabaran atau ketelitian, akan membuat kita yang telah cakap bermain catur bisa menang. Keutamaan itulah yang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk menang dalam percaturan demokrasi.
Tocqueville, dalam studi sembilan bulan pada 1831 atas perkembangan demokrasi di Amerika, menemukan bahwa negara itu kuat lebih dari sekadar disebabkan oleh amendemen konstitusi.
Ia menyebutnya dengan indah sebagai habits of the heart—kebiasaan hati atau keutamaan. Ia mengutip James Madison: “menganggap bentuk pemerintahan ini akan menjamin keamanan dan kebahagiaan tanpa sebentuk keutamaan adalah takhayul saja”. Karena takzim atas temuan Tocqueville itu, Robert Bellah dan sejumlah pemikir lain melakukan riset untuk menemukan sebentuk keutamaan umum yang dipraktikkan orang Amerika.
Salah satunya individualisme yang dikunci dengan leluasa oleh agama dan republikanisme. Ini menggerakkan warga Amerika untuk mementingkan diri buat mencapai sukses. Mereka juga aktif mengikuti berbagai klub atau perkumpulan mandiri. Bagi Tocqueville dan Bellah, keutamaan ini merupakan karakter bangsa Amerika yang menyebabkan demokrasi kuat di sana.
Namun Bellah mewanti-wanti bahwa ini semua bisa jadi nostalgia saja. Individualisme bisa hilang dalam disiplin pasar kapitalisme baru, yang membawa bangsa itu pada sikap serba kepenak sendiri—sesuatu yang dapat menggantikan sistem kesejahteraan liberal Amerika.
Demokrasi di negeri kita tampaknya memerlukan keutamaannya juga. Ketika memikirkan hal tersebut, kita boleh jadi cemas bahwa kita masih saja mencari-carinya, sambil mengenang para Guru Bangsa, sementara pasar kapitalisme baru sudah dekat memepet kita.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Habits of the Heart"