Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kebakaran di kawasan Tambora berulang kali terjadi.
Permukiman padat penduduk dan rumah tak beraturan menjadi penyebabnya.
Pembangunan hunian vertikal menjadi pilihan yang paling mungkin.
Nirwono Joga
Pusat Studi Perkotaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebakaran di permukiman padat penduduk kembali terjadi di Tambora. Kali ini kebakaran melanda Gang Trikora, Kelurahan Duri Utara, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, pada Sabtu, 8 Juli 2023. Kebakaran ini mengakibatkan 94 rumah hangus terbakar, 1 orang tewas, dan 2 petugas pemadam kebakaran terluka. Ironisnya, kebakaran di Tambora bukanlah hal baru. Rata-rata kebakaran di sini terjadi 2-3 kali dalam setahun dengan titik lokasi berbeda dan memuncak pada musim kemarau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi yang pernah blusukan ke kawasan Tambora pasti tidak akan heran saat menyusuri gang-gang permukiman padat dengan lebar jalan 0,5-1 meter dan atap bangunan saling bersentuhan yang membuat lorong menjadi gelap dan pengap. Jadi, bisa dibayangkan, ketika kebakaran terjadi, armada pemadam kebakaran tidak akan bisa masuk ke titik lokasi kebakaran.
Pemandangan rumah semi-permanen berbahan kayu dan bahan mudah terbakar lainnya berjajar sangat rapat. Kabel listrik bergelantungan semrawut. Kabel tidak berstandar SNI dan pemakaian stop kontak tumpang tindih. Tidak mengejutkan bila hubungan pendek arus listrik menjadi penyebab utama kebakaran (75-80 persen), di samping kompor gas meledak karena pemakaian tabung gas yang tidak benar (10 persen).
Standar penanganan kebakaran di Tambora pun tidak pernah tuntas dikerjakan pemerintah DKI Jakarta. Setelah pemadaman kebakaran, pemerintah seperti biasa akan mengungsikan korban ke tempat pengungsian (kantor pemerintahan, sekolah, dan rumah ibadah) serta memberikan bantuan logistik (makanan, pakaian, dan selimut). Setelah itu selesai semuanya, kemudian dilupakan.
Walhasil, masyarakat dibiarkan kembali ke lokasi kebakaran. Di atas puing-puing, mereka membangun kembali rumah mereka dengan bahan seadanya, dari bangunan semi-permanen berbahan kayu, tripleks, dan bahan yang mudah terbakar lainnya hingga bangunan permanen bertingkat (2-4 lantai). Bangunan-bangunan itu rapat, berimpitan, tanpa ruang cahaya, dan gang-gang sempit tidak beraturan.
Penambahan lantai rumah membuat jumlah penghuni terus bertambah dan kepadatan penduduk semakin tinggi. Tingkat kepadatan penduduk di Tambora mencapai 15 ribu orang per 1 kilometer persegi atau 1 meter persegi ditinggali 4-8 jiwa (BPS, 2020). Jangan tanyakan soal ada-tidaknya izin mendirikan bangunan.
Apa yang harus dilakukan agar kebakaran di Tambora tidak berulang? Pertama, cek regulasi. Sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang DKI Jakarta, kawasan Tambora merupakan kawasan peruntukan hunian dan perdagangan dengan kepadatan tinggi dan sangat tinggi. Dengan keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah di sana, pembangunan hunian vertikal berupa rumah atau kampung susun menjadi alternatif pilihan yang paling memungkinkan.
Kedua, pembangunan hunian vertikal akan mengefisienkan penggunaan lahan, mengoptimalkan pemanfaatan lahan, dan meningkatkan daya tampung hunian. Pembangunan hunian vertikal perlu didukung dengan pembangunan jaringan utilitas berupa penyediaan air bersih, penataan jaringan listrik (penyebab utama kebakaran), penyambungan gas (penyebab kedua kebakaran), serta pengelolaan sampah (tempat pengolahan sampah terpadu) dan air limbah (instalasi pengolahan air limbah komunal).
Ketiga, efisiensi penggunaan lahan akan menyediakan lahan yang memadai untuk pelebaran jalan, saluran air, serta jaringan utilitas, termasuk jalur evakuasi dan pemadam kebakaran. Akan tersedia pula ruang terbuka hijau berupa taman, kebun sayuran, lapangan olahraga, dan tempat interaksi warga. Ini sesuai dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 143 Tahun 2016 tentang Manajemen Keselamatan Kebakaran.
Keempat, ketinggian bangunan hunian vertikal (4-8 lantai) dan jumlah unit yang disediakan disesuaikan dengan jumlah penduduk yang terkena dampak kebakaran. Pemerintah DKI Jakarta perlu melakukan konsolidasi lahan, memastikan hak kepemilikan tanah, serta berkoordinasi dengan Dinas Cipta Karya dan Badan Pertanahan DKI Jakarta untuk menghitung ganti untung dan hak kepemilikan unit di hunian vertikal secara transparan dan berkeadilan.
Kelima, pemerintah DKI Jakarta hanya memiliki waktu emas dua pekan setelah kebakaran, sebelum penduduk memutuskan kembali ke lokasi, untuk melakukan diskusi dan sosialisasi saat memberikan tawaran solusi ke masyarakat. Ini dilanjutkan dengan proses konsolidasi lahan dan negosiasi kepemilikan unit hunian. Proses pembangunan hunian vertikal membutuhkan waktu 3-5 bulan kerja. Selama pembangunan, masyarakat diberi pilihan untuk pindah sementara ke rumah susun terdekat dengan biaya sewa ditanggung pemerintah, ke rumah keluarga, atau mengontrak rumah atas biaya bersama (disubsidi pemerintah).
Kebakaran adalah musibah yang seharusnya bisa diidentifikasi, dideteksi, diantisipasi, dan dihindari. Membiarkan kebakaran di Tambora berulang kali terjadi sama saja dengan membiarkan siklus tragedi terus berulang. Sampai kapan? Sampai semua pihak mau duduk bersama membenahi permukiman padat di Tambora dengan segera.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke email: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo