Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejadiannya berselang beberapa hari seusai coblosan yang baru lewat. Jemaah masjid di sebuah desa nun di timur wilayah negeri ini membongkari karpet lantai masjidnya sendiri. Pada teks video aksi itu di media sosial tertulis bahwa karpet-karpet tersebut sumbangan seorang calon anggota legislatif setempat yang bertarung dalam pemilihan umum tahun ini. Namun calon legislator itu berfirasat bakal kalah sehingga “mempertanyakan” komitmen jemaah yang, dalam asumsinya, semestinya memilih dia. Merasa dicurigai ingkar janji, jemaah masjid pun tersinggung dan mengembalikan sumbangan sang calon.
“Drama” serupa itu terjadi di hampir setiap pemilihan umum. Pada pemilihan lima tahun lalu—sekadar mengingat kembali—diberitakan ada calon anggota legislatif yang gagal terpilih, tanpa malu-malu, meminta kembali amplop duit yang dia tebarkan kepada pemilih. Ada pula calon yang menarik kembali kompor gas yang dia bagikan kepada para pedagang kecil yang, ternyata, dia curigai tidak mencoblosnya. Lalu seorang calon tiba-tiba menutup jalan desa―yang didaku sebagai lahan miliknya―setelah keok dalam pemilihan. Rupanya, penduduk desa yang biasa lalu-lalang di jalan itu tidak berpihak kepadanya.
Bagaimanakah membahasakan gejala tersebut? Kata populer dalam bahasa Jawa, pamrih, bisa dipakai untuk menilik tingkah laku calon legislator yang berpraktik politik uang atau semacamnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi V), pamrih berarti “maksud yang tersembunyi dalam memenuhi keinginan untuk memperoleh keuntungan pribadi”. Jadi kata kunci dalam penjelasan itu ialah adanya “maksud tersembunyi” di balik suatu perbuatan atau tindakan. Dalam hal pemilihan anggota parlemen itu, calon yang membagi-bagikan uang atau materi jelas menyimpan modus supaya penerima uang memilihnya. Pemeo “tidak ada makan siang gratis” bisa membenarkan arti kepamrihan model ini.
Belakangan, terjadi “arus balik”: pamrih juga muncul di sebagian pemilih. Mereka bersedia memilih calon legislator tertentu asalkan diberi uang atau barang. Di sini, kata pamrih lebih berarti pragmatis: kesediaan seseorang melakukan sesuatu—dalam hal ini memilih calon anggota legislatif—karena harapan akan menerima imbalan atau bayaran. Pamrih pada pemilih ini tumbuh justru karena “rangsangan” materiel dari calon legislator. Maka benarlah kata orang bahwa politik uang, bagaimanapun, dimulai oleh elite. Namun sebagian pemilih yang menerima uang ternyata cukup pintar: belum tentu mencoblos si pemberi uang.
Kalau begitu, positif atau negatifkah (kata) pamrih? Tergantung konteks dan bobot niatnya. Padanan kata pamrih dalam Tesaurus Bahasa Indonesia Eko Endarmoko ataupun Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia Pusat Bahasa adalah “harapan”, “intensi”, “maksud”, dan “tujuan”. Berdasarkan daftar sinonim itu, pamrih terbaca sebagai kata benda (abstrak) yang bersifat positif atau setidaknya netral. Contoh kalimat “murid-murid sekolah giat belajar dengan pamrih lulus ujian nasional” secara substantif benar adanya. Dalam hal ini, pamrih dimaknai sebagai harapan yang mampu mendorong seseorang berupaya optimal.
Namun realitas pamrih yang berorientasi kuat pada pencarian keuntungan pribadi, dan tersembunyi pula, membuatnya condong dimaknai negatif. Orang yang berpamrih akan dicap egoistis atau cuma mementingkan diri sendiri. Itu sebabnya kalimat atau ungkap-an mengenai sesuatu yang dipandang “melampaui” egosentrisme akan menepis kata pamrih. Para patriot kemerdekaan, misalnya, lazim dilukiskan sebagai “pejuang tanpa pamrih”. Dalam ungkapan itu, (kata) pamrih dinegasikan karena berlawanan dengan gambaran karakter yang mampu mengalahkan kepentingan diri sendiri.
Yang perlu diingat kembali, suatu pemberian yang didasari pamrih biasanya menafikan keikhlasan. Tentang hal seperti itu, Max Weber mengingatkan bahwa interests atau kepentingan “materiel” punya bawaan yang berbenturan dengan nilai sincerity. Dalam praktik politik uang, kepentingan pribadi pelakunya jelas lebih menonjol ketimbang “kedermawanan” yang hendak dikesankan di permukaan. Peribahasa klasik Jawa, sepi ing pamrih ramé ing gawé, yang berarti giat bekerja demi orang banyak tanpa memikirkan kepentingan pribadi, menyiratkan perlunya menjauhi pamrih lantaran watak dasarnya yang tak tulus.
Dalam dokumentasi pribadi, saya masih menyimpan foto poster yang dipasang di sebuah sudut kota di Yogyakarta pada pemilihan anggota legislatif 2014. Poster itu “mengajari” pemilih tentang tiga hal: terima uangnya [dari calon legislator mana pun], jangan coblos [calon itu], dan doakan [dia] tidak terpilih. Amanat dalam poster itu jelas: jangan terjebak oleh niat yang tersembunyi.
*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo