Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh ironis jika lembaga yang bertanggung jawab mengawasi ketaatan para hakim terhadap pedoman etik justru terjerembap ihwal penegakan etik. Percaya atau tidak, itulah yang kini terjadi pada Komisi Yudisial. Lembaga itu terpuruk akibat konflik internal tak berkesudahan yang berawal dari dugaan pelanggaran etik beberapa pemimpinnya.
Kekisruhan dimulai ketika pada awal 2017 komisioner Komisi Yudisial, Sumartoyo, mendesak koleganya membuka kembali perkara dugaan pelanggaran etik hakim yang menangani kasus penggelapan dana Koperasi Cipaganti Karya Guna Persada senilai Rp 4,7 triliun. Kasus ini sebenarnya sudah ditutup komisioner periode sebelumnya. Usut punya usut, sebelum menjadi komisioner, Sumartoyo adalah kuasa hukum 79 nasabah Cipaganti yang terlibat dalam perkara itu. Tindakan Sumartoyo jelas bernuansa konflik kepentingan.
Konflik makin parah ketika terkuak informasi bahwa Sumartoyo kerap bertemu dengan Mahkamah Agung tanpa setahu komisioner lain. Dikhawatirkan rapat diam-diam itu membahas kasus-kasus pelanggaran etik hakim yang sedang diproses di Komisi Yudisial. Apa pun alasannya, tindakan Sumartoyo berpotensi melanggar pedoman etik pimpinan Komisi Yudisial. Anehnya, entah kenapa, dua kasus Sumartoyo tak pernah ditindaklanjuti Ketua Komisi Yudisial.
Tak jelasnya penyelesaian kasus Sumartoyo bisa jadi terkait dengan fakta ini: bukan hanya dia yang dituding lancung. Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari juga diduga melanggar etik. Tanpa mengajukan pengunduran diri, pada awal tahun ini, dia melamar menjadi calon hakim Mahkamah Konstitusi. Meski upayanya kandas, perilaku tak etis Aidul juga semestinya ditindaklanjuti.
Sudah seharusnya dugaan-dugaan pelanggaran etik di atas diselesaikan lewat pembentukan majelis etik di Komisi Yudisial. Anggotanya bisa diambil dari advokat ternama, mantan komisioner Komisi Yudisial, dan mantan hakim yang rekam jejaknya tak tercela. Persidangan di majelis itu bisa memastikan ada-tidaknya pelanggaran etik para pemimpin Komisi Yudisial.
Keberadaan majelis etik ini makin urgen karena tak jelasnya penyelesaian kasus Sumartoyo dan Aidul membuat hubungan antarkomisioner memanas. Berlarut-larutnya penanganan kasus-kasus etik ini membuat para pemimpin Komisi Yudisial tak bisa bekerja sama. Mereka disebut-sebut terbelah menjadi dua kubu. Ini tentu tidak sehat.
Tak hanya itu. Konflik internal di Komisi Yudisial membuat moral pegawai lembaga ini merosot tajam. Selain itu, kinerja pun terpengaruh. Efektivitas pengawasan perilaku hakim jadi dipertanyakan. Bahkan serangan balik para hakim atas kewenangan Komisi Yudisial pun tak dapat direspons dengan baik. Ketika salah satu pemimpin Komisi, Farid Wajdi, diadukan 64 hakim agung ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, lembaga itu tak solid melawan. Padahal Farid hanya menyampaikan fakta bahwa ada pungutan dari Mahkamah Agung untuk para hakim di daerah.
Kondisi ini tak boleh dibiarkan. Peran Komisi Yudisial masih dibutuhkan untuk memperbaiki perilaku para hakim di negeri ini. Sejak 2012, tercatat ada 20 hakim yang terlibat perkara korupsi. Yang terbaru, hakim Kayat dari Pengadilan Negeri Balikpapan digulung Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap, dua pekan lalu. Karena itu, Komisi Yudisial harus segera berbenah. Tanpa komisi ini sebagai pengawas, hakim-hakim nakal bakal kian merajalela. Kalau itu sampai terjadi, publik akan sangat dirugikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo