Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Panas-Dingin Koalisi Jokowi

Koalisi pemerintah goyah setelah NasDem mencalonkan Anies. Jokowi perlu memisahkan peran sebagai politikus dan kepala negara.

29 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKIN jelas bahwa koalisi politik di Indonesia memang diikat hanya oleh kepentingan politik. Tak terkecuali koalisi yang menopang dua periode pemerintahan Joko Widodo. Ikatan kepentingan menjadikan kumpulan partai politik itu begitu longgar dan gampang goyah. Terutama menjelang akhir masa kekuasaan Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengikuti pemilihan presiden 2014 dengan modal awal gabungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura. Partai Golkar bergabung setelah ia memenangi pemungutan suara. Menjanjikan “kabinet yang ramping dan diisi para profesional”, Jokowi menunjuk sebagian besar menterinya dari kalangan partai politik pendukungnya tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Koalisi makin gemuk dengan bergabungnya Partai Persatuan Pembangunan dan sejumlah partai gurem pada saat Jokowi mencalonkan kembali pada 2019. Ia kemudian juga merangkul Partai Gerindra dan Partai Amanat Nasional setelah memenangi pemilihan. Sejarah dua periode pemerintahan Jokowi itu menempatkan NasDem sebagai salah satu pemegang saham utama koalisi.

Partai pimpinan Surya Paloh itu pun mendapatkan empat kursi pada kabinet Jokowi 2014-2019—sama dengan kursi PDI Perjuangan yang memiliki jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat jauh lebih banyak—serta tiga kursi pada periode berikutnya. Jokowi dan NasDem pun seiring sejalan dalam berbagai isu. Mereka bersama anggota koalisi lain bergandeng tangan, misalnya, dalam pengesahan produk legislasi yang kontroversial semacam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan Undang-Undang Cipta Kerja. Jokowi dan Surya Paloh bersimbiosis mutualisme. Kelompok media kepunyaan Surya mendukung sepenuhnya pemerintah Jokowi. Posisi NasDem aman tenteram.

Ketenteraman itu terguncang ketika Surya Paloh dan NasDem menyiapkan kapal baru, menyiapkan pengganti Jokowi, yang menurut konstitusi tak mungkin kembali mencalonkan diri. Mereka mendeklarasikan mantan Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, sebagai kandidat presiden pada Oktober tahun lalu. Lepas dari waktu yang oleh sebagian kalangan dianggap terlalu dini—kurang dari separuh periode kedua Jokowi—langkah Surya bisa dikatakan logis secara politik. Ia hendak mendapatkan efek elektoral semaksimal mungkin dari salah satu tokoh yang memiliki elektabilitas tertinggi menurut hasil berbagai jajak pendapat itu.

Logis pula jika Jokowi merespons langkah Surya dengan membangun jarak politik dengannya. Sebagai patron, ia boleh jadi segera membatasi benefit politik dan ekonomi buat kliennya itu. Di dalam peta dukungan yang masih kabur, pagar politik Jokowi kepada Surya Paloh sekaligus menjadi alat tawar baginya dalam berhadapan dengan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, partai asal Jokowi sekaligus satu-satunya pemilik tiket otomatis pencalonan.

Bukan rahasia jika Jokowi punya jagoan calon penggantinya: Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang sayangnya belum disetujui Megawati. Pada saat yang sama, partai banteng tidak akur dengan NasDem dan, terutama, Surya Paloh. Silang kata kedua kubu mengeras begitu NasDem mengumumkan pencalonan Anies. Para politikus PDI Perjuangan menyerukan perombakan kabinet untuk mengeluarkan NasDem dari koalisi.

Panas-adem hubungan Jokowi dan NasDem itu jelas merupakan bagian dari percaturan politik level elite yang jauh dari kepentingan masyarakat banyak. Dalam konteks ini, Jokowi sebagai presiden sepatutnya kembali pada fungsinya sebagai pejabat publik. Ia bisa saja merombak kabinetnya. Namun langkah itu seharusnya tidak semata-mata buat “menghukum” Partai NasDem, melainkan demi memperbaiki kinerja kabinet agar sisa masa pemerintahannya bisa berjalan lebih efektif. Tentu, sejumlah menteri non-NasDem yang berkinerja buruk juga perlu diganti.

Jokowi juga perlu memastikan aparaturnya terus berlaku profesional di tengah sengkarut politik antar-elite ini. Aparat penegak hukum, misalnya, harus dipastikan tidak menjalankan tugasnya demi menekan lawan-lawan politik presiden. Jokowi juga harus menjamin terselenggaranya Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang baik dan berjalan tepat waktu agar peralihan kekuasaan kepada penggantinya kelak berjalan mulus.

Singkatnya, Jokowi perlu memisahkan peran dirinya sebagai politikus yang sedang memperjuangkan kepentingan jangka pendek dan kepala negara.

Artikel:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus