Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pemimpin dunia harus bersatu untuk mengatasi krisis jangka pendek akibat perubahan iklim.
Risiko terbesar bermula dari kegagalan melakukan mitigasi perubahan iklim, kegagalan adaptasi perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan keruntuhan ekologi, serta kelangkaan sumber daya alam.
Perlu dialog bersama dalam menghadapi dua masalah utama dunia saat ini: perubahan iklim dan konflik antarnegara yang semakin meningkat.
Nirwono Joga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Eksekutif Pusat Studi Perkotaan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman bencana lingkungan akibat dampak perubahan iklim menjadi tantangan terbesar yang akan dihadapi dunia dalam sepuluh tahun mendatang. Pertanyaan soal kesiapan kita menghadapi kondisi itu mencuat setelah membaca Laporan Risiko Global 2024 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), Rabu, 10 Januari 2024.
Laporan itu memetakan risiko terbaru bagi dunia, mencakup aspek ekonomi, lingkungan, geopolitik, sosial, hingga teknologi. Adapun cuaca ekstrem yang dampaknya telah menekan perekonomian global sejak 2023—sebagai tahun terpanas dalam sejarah kehidupan—dinilai masih akan menjadi risiko tertinggi pada 2024-2034.
Ancaman lingkungan akibat pemanasan global sebagai dampak perubahan iklim saat ini menjadi tantangan sangat serius untuk segera diatasi oleh semua negara di dunia. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Para pemimpin dunia harus bersatu untuk mengatasi krisis jangka pendek serta meletakkan dasar bagi masa depan yang lebih berketahanan, berkelanjutan, dan inklusif. Hal ini selaras dengan Laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (United Nations, 2023). Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu merekomendasikan lima aksi utama untuk mempercepat pencapaian target SDGs pada 2030 sebagai upaya akselerasi mitigasi perubahan iklim.
Pertama, kepala negara/pemerintah harus melakukan langkah percepatan yang berkelanjutan dan transformatif; serta melakukan langkah nyata melalui kebijakan serta aksi terukur dan terpadu untuk meningkatkan kesejahteraan, mengurangi ketidaksetaraan, dan mengakhiri kerusakan alam. Selain itu, kepala negara harus memobilisasi sumber daya dan kebutuhan investasi, memfasilitasi penguatan sistem pembangunan, serta meningkatkan kapasitas sumber daya untuk mengatasi tantangan yang muncul dan memperkecil kesenjangan masyarakat.
Kedua, risiko yang berasal dari lingkungan menjadi tantangan terbesar yang dihadapi dunia dalam satu dekade mendatang. Secara berurutan, risiko terbesar bermula dari kegagalan melakukan mitigasi perubahan iklim, kegagalan adaptasi perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan keruntuhan ekologi, serta kelangkaan sumber daya alam.
Laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2023) menemukan bahwa suhu global sudah meningkat 1,1° Celsius di atas suhu pra-industri. Laporan itu memperkirakan, kenaikan suhu ada kemungkinan mencapai atau melampaui titik kritis 1,5° Celsius pada 2035. Gelombang panas yang dahsyat dan intensif, kekeringan, banjir dan tanah longsor, serta kebakaran hutan sudah semakin sering terjadi.
Di samping itu, kenaikan permukaan air laut juga mengancam kehidupan ratusan juta orang masyarakat pesisir. Selain itu, dunia saat ini sedang menghadapi peristiwa kepunahan spesies terbesar sejak zaman dinosaurus. Lautan dibebani dengan lebih dari 17 juta metrik ton polusi plastik pada 2021, dengan proyeksi menunjukkan potensi peningkatan dua hingga tiga kali lipat pada 2040. Laporan IPCC itu memperingatkan bahwa upaya yang dilakukan selama ini belum cukup untuk mengatasi perubahan iklim. Kita perlu tindakan lebih ambisius.
Laporan Risiko Global 2024 juga menyoroti perlunya dialog bersama dalam menghadapi dua masalah utama dunia saat ini: perubahan iklim dan konflik antarnegara yang semakin meningkat. Risiko besar lain yang perlu diantisipasi adalah kejahatan dunia maya, dampak buruk dari teknologi kecerdasan buatan, serta peristiwa cuaca ekstrem sebagai dampak dari perubahan iklim.
Perubahan iklim, perubahan demografi, perkembangan teknologi, dan konflik geopolitik merupakan kekuatan struktural yang membuat dunia menjadi kurang stabil. Kita menyaksikan saat ini perubahan cuaca ekstrem, misinformasi dan disinformasi yang disebabkan oleh kecerdasan buatan, krisis biaya hidup, serangan siber, serta polarisasi sosial-politik sudah terjadi.
Dampak dan jangka waktu setiap area risiko berbeda-beda, begitu pula peluang kita untuk memitigasi perubahan iklim. Jika digabungkan, risiko tersebut akan semakin tinggi. Konflik geopolitik secara langsung merugikan planet ini dan menghambat tindakan kolaboratif yang sangat dibutuhkan dalam mengatasi perubahan iklim. Di sisi lain, kemajuan AI dapat menyebabkan kerentanan di dunia maya.
PBB mendorong seluruh negara meningkatkan literasi masyarakat soal perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan. Di sisi lain perlu ada upaya menegakkan keadilan lingkungan hidup, menciptakan lapangan kerja ramah lingkungan, melibatkan partisipasi generasi muda terhadap aksi iklim, serta melindungi keanekaragaman hayati dan mengembangkan pertanian berkelanjutan.
Calon presiden dan wakil presiden 2024, siapa pun yang kemudian terpilih menjadi pemenang, akan memikul tanggung jawab besar atas keberhasilan atau kegagalan dalam pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada 2030 di Tanah Air. Kita perlu mengingat pesan Sekjen PBB António Guterres dalam Laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (United Nations, 2023). Ia menegaskan, jika kita tidak bertindak sekarang, agenda SDGs 2030 akan menjadi batu nisan bagi dunia yang mungkin saja terjadi.