Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebelum konten para pemengaruh media sosial berseliweran, kita mendengar dan menyaksikan banyak kabar buruk soal IKN.
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa banyak pihak menjadi sulit membedakan konten dalam platform online.
Ketika Jokowi mengajak para pemengaruh datang ke IKN, kita melihat adanya upaya pengaburan atas realitas.
AKHIR Juli 2024, Presiden Joko Widodo mengajak sejumlah influencer dan content creator pergi mengunjungi lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Tak lama setelah itu kita segera melihat bagaimana kehadiran para pemengaruh di media sosial dan kreator konten tersebut memberikan "warna lain" terhadap citra pembangunan IKN selama ini.
Aneka puja-puji dan keceriaan tergambar dari wajah para pemengaruh tersebut dalam berbagai konten yang tersebar lewat media sosial. Padahal, sebelum konten-konten itu berseliweran, kita mendengar dan menyaksikan banyak kabar buruk soal pembangunan IKN: target pembangunan yang tak tercapai, mundurnya ketua dan wakil ketua Otorita IKN, nihilnya minat investor asing di IKN, penyingkiran masyarakat adat, sulitnya air bersih, serta banyak masalah lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari contoh kecil ini, kita bisa mendiskusikan lebih jauh ihwal keberadaan pemengaruh media sosial dan kreator konten yang dihadapkan dengan para jurnalis yang bekerja di berbagai media massa. Topik ini sebenarnya sudah banyak diangkat dalam sejumlah karya ilmiah di ranah jurnalistik dan komunikasi. Bahkan, dalam Digital News Report yang dirilis Reuters Institute, hal ini turut dibahas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam laporan edisi 2024 yang dirilis pada Juni lalu, Reuters Institute mencatat: “Dalam hal sumber pemberitaan yang menarik perhatian utama orang-orang, kami melihat adanya kenaikan fokus pada para komentator yang partisan, influencers, dan kreator media muda, terutama yang menggunakan YouTube serta TikTok.” Laporan yang sama juga mencatat bahwa fenomena ini menimbulkan kekhawatiran bahwa banyak pihak menjadi sulit membedakan konten dalam platform online, antara yang dapat dipercaya dan tidak dapat dipercaya.
Mark Stenberg, reporter dari Business Insider, empat tahun lalu menulis di situs web NiemanLab perihal fenomena jurnalis dan pemengaruh. Stenberg berada pada posisi yang menyetujui bahwa jurnalis sebetulnya juga bisa menjadi influencer, sejauh konten yang dihasilkan bisa dipercaya oleh publik.
Menurut Stenberg, jurnalis dan influencer sama-sama memiliki kegiatan mengisi konten di Internet. Dengan kemampuan yang dimiliki jurnalis dan dukungan 1.000 fans, seorang jurnalis bisa menjadi entrepreneur journalist. Dari sana, ia bisa menjadikan fansnya bagian dari model bisnis yang bisa ia kembangkan.
Paul McEntee, pendiri Thedrum.com, menyebutkan bauran dua profesi ini menghasilkan istilah baru, yaitu "jinfluencer". Profesi "baru" ini memungkinkan jurnalis yang memiliki spesialisasi tertentu bisa berkembang secara solo, lepas dari perusahaan media yang menaunginya sebelumnya.
Lebih dari Sekadar Pencitraan
Hal yang disampaikan oleh Stenberg dan McEntee perlu dicermati sebagai suatu perkembangan ke depan. Namun, dari yang kita lihat di Indonesia saat ini, khususnya ketika Jokowi mengajak para pemengaruh datang ke IKN, kita melihat adanya upaya pengaburan atas realitas. Tepatnya, pembohongan kepada publik.
Para influencer yang diundang datang ke ibu kota baru itu justru menggaungkan IKN dalam kondisi yang berkebalikan dari pemberitaan selama ini. Mereka yang hadir di sana menampilkan seolah-olah IKN tak menghadapi masalah apa pun. Mereka kagum atas pembangunan yang sedang berlangsung dan menarasikan bahwa impian pemindahan ibu kota negara akan segera berjalan.
Kita tahu para pemengaruh yang diundang Presiden memiliki jutaan bahkan puluhan juta pengikut di media sosial. Lewat tindakan ini, Jokowi seolah-olah hendak mengatakan ia lebih percaya pada narasi yang dibuat oleh para influencer—karena bisa diarahkan—ketimbang berita yang dibuat media, terutama yang memiliki dimensi independen, kritis, cover both sides, check-recheck, dan lain-lain.
Kita juga sama-sama mengetahui bahwa para pemengaruh dan kreator konten akan bertindak sesuai dengan kepentingan ekonomi tertentu. Mereka tentu saja akan membela pihak yang membayarnya. Karena itulah, dalam hal ini, mereka akan menampilkan citra IKN sebagai proyek yang tak memiliki masalah. Mereka membangun ilusi atas kehebatan pemerintah membangun ibu kota negara dalam waktu kurang dari lima tahun.
Syukurlah ada banyak pihak yang merespons dan mengecam undangan kepada para influencer ke IKN ini. Masalahnya sederhana: pemberian riasan setebal apa pun tak akan menutupi bahwa ada masalah besar dengan IKN. Proyek ini pun sedang berada di ujung tanduk: apakah ia akan terus berjalan atau malah mangkrak di tangan pemerintahan baru nanti?
Ke depan, pemerintah sepantasnya "mempercayakan" pemberitaan oleh jurnalis dari media massa ketimbang mengundang para pemengaruh yang hanya akan "hura-hura" di atas proyek yang terancam mangkrak tersebut. Sebab, para jurnalis akan melihat dan memberitakan secara obyektif apa yang sebenarnya terjadi pada IKN.
IKN merupakan pelajaran besar untuk kita semua bahwa suatu perencanaan membutuhkan proses, waktu, dan dana yang tidak sedikit. Untuk itu, transparansi pemerintah dengan mengakui kegagalan atau salah perhitungan jauh lebih bisa diterima ketimbang tindakan memoles-moles sesuatu yang gagal dengan menghadirkan para pemengaruh dan kreator konten.
Proyek IKN dan kehadiran para pemengaruh bukan semata-mata masalah pencitraan proyek pemerintah. Lebih dari itu, kita sedang berjudi dengan masa depan bangsa: apakah proyek pemerintah yang menjelang gagal akan bisa diselamatkan dengan pencitraan ala para influencer ini?
Para pemengaruh media sosial tak mengenal praktik cover both sides, tak pernah belajar apa yang namanya check dan recheck, apalagi menggali hal-hal yang ingin ditutup-tutupi oleh pemerintah. Jurnalis mempelajari itu semua. Karena itu, sudah sepantasnya jurnalislah yang memberikan laporan yang lebih bisa diterima publik ketimbang puja-puji kosong atas proyek yang melompong atau pengembangan narasi bohong.
Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektiga Digital terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.