Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH malang El Niño. Pemerintah terus-terusan menjadikannya kambing hitam atas pelbagai persoalan yang timbul akibat cuaca. Setelah ikut dituding sebagai penyebab memburuknya kualitas udara Ibu Kota, fenomena iklim ini harus bersiap-siap dijadikan alasan jika potensi krisis pangan strategis nasional terjadi dalam beberapa waktu mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti yang sudah-sudah, cuaca akan menjadi dalih utama pemerintah ketika stok pangan langka. El Niño, yang ditandai dengan naiknya suhu permukaan laut dan atmosfer di Samudra Pasifik, menyebabkan curah hujan di wilayah Indonesia menurun drastis. Kekeringan memicu penurunan jumlah produksi di sentra-sentra pangan. Begitulah yang akan disampaikan Kementerian Pertanian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebab utama krisis pangan jelas bukan El Niño, fenomena lima tahunan yang sudah lama diprediksi akan datang tahun ini. Biang masalahnya mengakar di tubuh pemerintah yang gagal membenahi buruknya tata kelola pangan di Indonesia. Para pemangku kebijakan sektor pangan kembali bersilang pendapat mengenai angka produksi dan stok beras nasional. Mereka mengulang kekisruhan serupa yang saban tahun terjadi sepanjang dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menurut Badan Pangan Nasional, per 11 Agustus 2023, stok beras cuma 1,5 juta ton, baik cadangan beras pemerintah di gudang Bulog dan mitranya maupun di pasar komersial. Sedangkan kebutuhan beras nasional 2,5 juta ton. Defisit pasokan dan permintaan ini perlahan mendekati perkiraan dua tahun lalu yang melatarbelakangi dibukanya keran impor beras 2,3 juta ton pada 2022-2023.
Sebaliknya, Kementerian Pertanian menyatakan semuanya terkendali. Menteri Syahrul Yasin Limpo tetap optimistis neraca beras tahun ini bakal surplus. Kementerian mengklaim telah menyiapkan sejumlah program untuk mengantisipasi dampak El Niño yang ditaksir menyebabkan jumlah produksi berkurang sekitar 380 ribu hingga 1,2 juta ton.
Penyebab defisit adalah buruknya kualitas data pangan yang setiap tahun tak pernah sinkron di antara kementerian dan lembaga. Data yang buruk hanya melahirkan kebijakan yang menimbulkan masalah baru. Lihat saja program antisipasi yang disiapkan Kementerian Pertanian.
Tergagap menghadapi ancaman El Niño, sawah irigasi seluas 500 ribu hektare yang padinya baru saja dipanen akan dipaksa kembali segera ditanami. Sudah banyak studi yang menunjukkan pola tanam tanpa jeda merusak lingkungan serta membuka peluang munculnya hama dan penyakit tanaman. Program yang dipaksakan tanpa perhitungan matang ini mengancam ketahanan pangan nasional, seperti halnya proyek cetak sawah dan lumbung pangan yang kini terbukti berantakan.
Baca liputannya:
- Benarkah El Niño Jadi Penyebab Kelangkaan Pangan?
- Dampak El Niño Pada Harga Pangan
- Petani Tebu Terjepit di Musim Kering
Mencegah krisis pangan merupakan bagian dari mitigasi perubahan iklim. Selama ini kebijakan pemerintah cenderung menggunakan pendekatan pembangunan sarana-prasarana pertanian, seperti membangun waduk dan saluran irigasi, menambah alokasi subsidi pupuk, serta menyediakan varietas tahan hama, kering, dan cepat tanam. Mereka lupa mendidik petani membaca arah pergeseran musim. Mereka juga tak kunjung membenahi tata niaga yang oligopolistik.
Korban pertamanya adalah petani. Buruknya tata kelola pangan menyebabkan petani merugi—penyebab jumlah mereka terus menyusut. Seretnya produksi dan stok pangan juga akan membuat harga melambung sehingga daya beli masyarakat menurun. Tak terbayangkan malapetaka yang bakal terjadi jika pemerintah terus lepas tangan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Lepas Tangan Menghadapi Krisis Pangan"