Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA kembali berduka. Sejumlah bencana hidrometeorologi terjadi secara hampir bersamaan di beberapa daerah. Pada 11 Mei lalu, misalnya, banjir bandang menerjang permukiman di wilayah Kabupaten Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Pandang Panjang. Semuanya berada di wilayah Provinsi Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bencana tersebut menyebabkan lebih dari 60 orang tewas dan belasan orang lainnya masih hilang. Banyaknya jumlah korban ini memperlihatkan masih kurangnya kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Ketidaksiapan itu disebabkan oleh masih rendahnya kesadaran kebencanaan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atas kondisi tersebut, sudah saatnya pemerintah meningkatkan kesadaran kebencanaan pada masyarakat dan memperkuat mitigasi bencana. Indonesia harus menjadi bangsa yang tangguh dalam menghadapi bencana. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, pada rentang 2015-2024, jenis bencana alam yang banyak terjadi di Tanah Air adalah banjir (8.068 kejadian), kekeringan (7.910), tanah longsor (7.043), gempa bumi (4.727), kebakaran hutan dan lahan (428), tsunami (340), cuaca ekstrem (255), gelombang pasang atau abrasi (216), letusan gunung api (127), gempa bumi dan tsunami (8), serta erupsi gunung berapi (7).
Pada periode yang sama, jumlah kejadian bencana alam cenderung meningkat. Dari 1.703 peristiwa pada 2015, 2.313 (2016), 2.914 (2017), 3.522 (2018), 3.906 (2019), 5.004 (2020), 3.536 (2021), 2.402 (2022), 3.238 (2023), hingga 589 (per Mei 2024).
Laporan Risiko Global 2024 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF), 10 Januari 2024, menyebutkan ancaman bencana lingkungan akibat dampak perubahan iklim menjadi tantangan terbesar yang akan dihadapi dunia dalam sepuluh tahun mendatang. Pertanyaan berikutnya, seberapa siap kita menghadapi ancaman bencana itu?
Laporan WEF itu memetakan risiko terbaru bagi dunia. Risiko ini mencakup aspek ekonomi, lingkungan, geopolitik, sosial, hingga teknologi. Adapun cuaca ekstrem yang dampaknya telah menekan perekonomian global sejak 2023—sebagai tahun terpanas dalam sejarah kehidupan—dinilai masih akan menjadi risiko tertinggi pada 2024-2034.
Laporan Risiko Dunia 2023, yang memuat Indeks Risiko Dunia 2022, menempatkan Indonesia pada posisi kedua dalam daftar 193 negara paling berisiko bencana. Posisi Indonesia, dengan nilai 43,5, terpaut tipis dari Filipina (46,86) yang menempati posisi pertama. Indeks risiko bencana ini mengkaji tingkat kebencanaan berdasarkan komponen bahaya, tingkat paparan, dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana.
Jenis bencana yang mesti dimitigasi adalah gempa bumi, tsunami, puting beliung atau angin topan, banjir rob, banjir luapan air sungai, kekeringan, dan kenaikan muka air laut (ancaman tenggelam). Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana menentukan besar-kecilnya dampak bencana yang terjadi.
Kesiapsiagaan bencana harus dibangun sejak dini. Dari lingkungan terkecil, yakni keluarga. Masyarakat harus memiliki kemampuan untuk bertahan dan membangun kembali kehidupan setelah terkena bencana (build back better).
Penanggulangan bencana merupakan tanggung jawab semua pihak. Pelibatan unsur pentahelix, dari pemerintah, dunia usaha, akademikus, media massa, hingga masyarakat menjadi sangat penting. Mereka harus terus memberikan penguatan pengurangan risiko bencana kepada masyarakat, dengan turun langsung ke daerah rawan bencana untuk memberikan edukasi, sosialisasi, dan pelatihan simulasi.
Kalangan perguruan tinggi yang didukung dunia usaha dapat bekerja sama mengembangkan inovasi, termasuk penelitian yang merujuk pada sistem peringatan dini yang terus disempurnakan. Hasil inovasi tersebut dapat digunakan pada pengurangan risiko bencana berbasis rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana detail tata ruang (RDTR). Media massa dapat berperan menjadi corong diseminasi informasi ihwal kebencanaan kepada masyarakat, merujuk pada paradigma penanggulangan bencana dari responsif ke preventif.
Di lain pihak, pemerintah juga perlu menyediakan aplikasi yang dapat menjadi sumber pengetahuan dan informasi sederhana, ringkas, lugas, dan jelas mengenai kebencanaan lokal kepada masyarakat. Dokumen RDTR pun perlu disosialisasikan sehingga masyarakat dapat mengetahui kawasan mana yang aman dihuni dan dikembangkan ataupun kawasan rawan bencana yang berbahaya. Aneka upaya ini perlu didukung dengan pelaksanaan simulasi tanggap darurat bencana secara rutin.
Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana 2020-2044 menyebutkan setiap pemerintah kota/kabupaten wajib menyusun/memiliki rencana induk penanggulangan bencana daerah masing-masing. Kebijakan pemerintah daerah harus diarahkan agar efektif dalam upaya penanggulangan dan mitigasi bencana yang terintegrasi baik.
Dengan upaya mitigasi bencana terintegrasi, sebuah wilayah dapat bertahan terhadap guncangan akibat bencana tanpa gangguan permanen atau gagal fungsi. Wilayah yang siap menghadapi situasi semacam ini juga memiliki kecenderungan untuk memulihkan diri atau menyesuaikan secara mudah terhadap perubahan mendadak atau kenahasan.
Karena itulah, mitigasi bencana harus menjadi arus utama perancangan rencana tata ruang wilayah, rencana detail tata ruang, serta rencana tata bangun dan lingkungan. Paradigma yang sama juga harus masuk dalam program pembangunan daerah serta mengikuti arahan Peta Rawan Bencana (Bappenas, BNPB, 2017).
Hal yang tak boleh dilupakan adalah pembangunan infrastruktur mitigasi bencana, seperti papan petunjuk, rambu, marka, pengeras suara tempat ibadah, sirene peringatan dini, jalur evakuasi, serta tempat evakuasi (bukit/lapangan, taman kota). Pembangunan sistem peringat dini, mitigasi bencana, penanganan darurat, dan pemulihan pascabencana harus dilakukan lebih sistematis serta terpadu.
Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.