Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Buku Sapiens a Brief History of Humankind karya Yuval Noah Harari memuat cerita manusia (homo sapiens) menjinakkan anjing liar sebelum era revolusi pertanian pada 1.500 tahun lalu. Tim jurnalis National Geographi, 1991, melaporkan gajah Asia sudah dijinakkan lebih dari 4.000 tahun lalu. Sejarah mengkonfirmasi pasukan gajah Abrahah dari Yaman pada tahun 570 masehi menyerang Ka’bah di Mekah. Kisah itu terekam dalam Kitab Suci Al-Quran, surah Al-Fil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dikutip dari berbagai sumber, gajah ditemui pada masa Eocene, 38 juta tahun lalu (jtl) terus ber-evolusi di masa Oligocene (24jtl); Miocene (5jtl); Pliocene (2jtl); hingga wujud anatomi gajah saat ini sekitar 10 ribu tahun lalu. Sebagai perbandingan, leluhur gajah Meoritherium muncul 40 jtl sementara manusia purba baru ada sekitar 2,5 jtl.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Evolusi gajah telah melalui berbagai tempaan, kondisi iklim ekstrem zaman es, hingga penaklukkan oleh manusia. Saat ini gajah terancam hidupnya karena deforestasi, degradasi habitat, diracun, diburu dan diperdagangkan gadingnya, hingga risiko inbreeding dalam kantong habitat yang kian menyusut, menuntunnya pada kepunahan.
Berbagai upaya konservasi dilakukan untuk mencegah gajah dari kepunahan, akankah membuatnya bertahan? Adakah ikhtiar lain untuk menjamin gajah berkembangbiak alami?
Si Penjelajah dari Zaman Es
Gajah mamalia besar dari famili Elephantidae dan ordo Proboscidea. Famili gajah lainnya Mamuth tersebar di Siberia hingga Alaska dan Mastodon yang menghuni Benua Amerika telah lama punah.
Kepunahan gajah purba di masa Plistosen (2 juta - 10 ribu tahun lalu) diduga akibat iklim beku (Glasia kuarter) berubah cepat menghangat sehingga gajah purba berbulu lebat tak mampu beradaptasi. Selain itu, perburuan dan penularan penyakit dari hewan peliharaan manusia.
Lautan beku menjadi jembatan es kawanan gajah bermigrasi ke penjuru daratan Afrika hingga Asia memungkinkan populasi berkembang dalam habitat yang sesuai. Di Asia, kala itu Semenanjung Malaya masih berupa daratan luas terhubung dengan Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan sebagian Nusa Tenggara.
Di Afrika dikenal gajah sub-sahara Loxondota Africana atau gajah semak bertubuh lebih besar bergading tebal dibanding saudaranya Loxondota cyclostis penghuni hutan Afrika Tengah dan Barat. Gajah di Afrika dalam kelompok populasi besar (antara 20 ribu hingga 70 ribu) ditemui tersebar di Central African Republic, Kamerun, Sudan, Gabon, Kongo, Zaire, Angola, Zambia, Zimbabwe, Botswana, Mozambique, Tanzania, dan Kenya. Kelompok berpopulasi lebih kecil (ratusan ekor hingga 10 ribu) tersebar di Burkina Faso, Pantai Gading, Ghana, Liberia, Mali, Senegal, Namibia, Afrika Selatan, Somalia, dan Ethiopia.
Gajah Asia (Elepas maximus) ditemukan di Asia Selatan dan Asia Tenggara masih bertahan dengan populasi terus menurun, tersebar di Nepal, Bhutan, Cina, India, Srilanka, Banglades, Myanmar, Laos, Thailand, Vietnam, Cambodia, Malaysia, Brunei dan Indonesia. Pada 1989 tercatat populasinya diperkirakan antara 34.500-53.700 individu.
Bukti gajah mencapai Nusantara adalah temuan fosil Stegodon trigonocephalus di Sangiran Jawa Tengah. Fosil Stegodon Florensis berusia 700 ribu tahun ditemukan di Desa Nagerawe, Kabupaten Nagekeo Pulau Flores. Fosil gajah kerdil ditemukan di Ainaro, Atambua, Pulau Timor, dan di gua Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.
Temuan terbaru fosil Stegodon berusia 1,2 juta di desa Banjarejo Grobogan Jawa Tengah tahun 2017 dan di desa Negbung Sragen pada Agustus 2023 berusia delapan ratus ribu tahun. Selain fosil Stegodon, ditemukan fosil Mastodon dan Elephas di sepanjang Sungai Bengawan Solo membuktikan gelombang kedatangan gajah melalui Semenanjung Malaya, lalu ke pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
Paulus Edward Pieris Deraniyagala, ahli zoologi dari Srilanka, terinspirasi relief gajah di Candi Borobudur, mengusulkan gajah Jawa sebagai Elephas maximus sondaicus, pada 1953.
Gajah Kalimantan (Elephas maxiumus borneensis) termasuk subspesies gajah Asia ditemukan di Kalimantan Utara dan Sabah, Malaysia. Sebuah survei tahun 2018 melaporkan populasinya diperkirakan 20-80 individu endemik Kalimantan Utara berada di Kecamatan Tulin Onsoi, Nunukan. Populasi gajah di Sabah pada 2010 diperkirakan antara 1.500 sampai 2.000 ekor.
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) diyakini merupakan subspesies gajah Asia, berpostur lebih kecil dari subspesies gajah India, tersebar di 22 kantong habitat di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Berdasarkan dokumen rencana tindakan mendesak penyelamatan gajah Sumatera pada 2017, populasinya tercatat antara 1.694 hingga 2.038 individu.
Selanjutnya: Berbagi Ruang dan Peran
Berbagi Ruang dan Peran
Pertambahan populasi manusia, pembukaan hutan untuk tambang, pertanian dan permukiman menyebabkan degradasi habitat gajah sehingga terpencar dalam kantong-kantong habitat di hutan.
Gajah Asia diijinakkan untuk berbagai keperluan. Agama Budha dan Hindu sangat menyakralkan gajah. India, memiliki Dewa Ganesha melambangkan permulaan baru, kejayaan dan penghalau segala halangan. Populasi gajah India berkontribusi 35 persen terhadap gajah di Asia, memiliki sistem perlindungan habitat alami di Karnataka, Kerala dan Tamil Nadu dan terhubung dengan Taman Nasional, suaka margasatwa dan cagar biosfer Nilgiri. Meski begitu, masih tercatat kematian gajah akibat perburuan.
Di Thailand, gajah dipekerjakan menarik kayu tebangan dari hutan sejak 1850, jumlah angkatan kerja berbelalai ini diperkirakan sepuluh ribu ekor. Raja Thailand memiliki “gajah putih” dan memberinya habitat perlindungan serta menjadikannya sebagai simbol negara.
Pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, Raja Aceh Darulsalam (1607-1636), memiliki seribu pasukan gajah untuk berperang. Kini Aceh memiliki tujuh Conservation Response Unit (CRU) dan Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree menggunakan 27 individu gajah dikendalikan 27 mahout (pawang gajah), hasil pembangunan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh sejak 2008, salah satunya untuk patroli hutan dan menghalau gajah liar masuk perkampungan.
Di Afrika, otoritas Taman Nasional (TN) Kruger, Afrika Selatan, dan TN Mana Pools, Botswana mengizinkan perburuan untuk mengatur populasi gajah. Tim jurnalis National Geographi 1991, melaporkan 262 ekor gajah hasil perburuan (culling) di TN Kruger, dagingnya dikalengkan dan dipasarkan.
Pengelola taman juga menangkap kelompok gajah muda, dijual sebagai koleksi kebun binatang dan memasok industri sirkus. Populasi gajah di seluruh Afrika menurun drastis karena perdagangan gading dan perburuan. Dilaporkan pada 1979 populasi gajah mencapai 1,6 juta, menurun menjadi 608 ribu ekor dalam sepuluh tahun.
Sementara di padang savana TN Amboseli di Kenya, gajah berbagi ruang dengan kendaraan turis menyaksikan kawanan keluarga gajah. Wisata safari itu memberi pemasukan sedikitnya 50 juta dolar setiap tahun. Kenya bahkan melatih dan memiliki pasukan anti-perburuan liar agar menjaga konservasi gajah menjadi atraksi wisata.
Perdagangan gading menjadi faktor menurunnya populasi gajah Afrika ditunjang jejaring pasar yang mengimportnya ke Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Belgia, German, India, China, Thailand, Macau, Hongkong, Taiwan, dan Jepang imprortir gading terbanyak di dunia.
Kenya adalah salah satu negara yang melarang perdagangan gading paling keras. Presiden Daniel Arap Moi menyita dan membakar 2.500 gading senilai 3 juta dolar di pasar gading internasional pada 1989. Itu artinya 1.250 ekor gajah telah dibunuh pada saat pelarangan ini.
Indonesia pernah merelokasi 232 gajah liar dari lokasi transmigrasi Air Sugihan. Dr. Emil Salim Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup memimpin Operasi Ganesha melibatkan Hankam, Kementerian Dalam Negeri, Transmigrasi, Pertanian dan warga transmigran, sukses menggiring gajah ke habitat barunya di Lebong Hitam menempuh 44 hari perjalanan (PPFN,1982)
Sebuah sumber melaporkan, di luar habitat alami, pada tahun 2000, terdapat sekitar 1.200 gajah Asia dan 700 gajah Afrika di kebun binatang dan sirkus. Populasi gajah di penangkaran terbesar di Amerika Utara memiliki 370 gajah Asia dan 350 gajah Afrika. Sekitar 380 gajah Asia dan 190 gajah Afrika hidup di Eropa, sementara Jepang memiliki sekitar 70 gajah Asia dan 67 gajah Afrika.
Selanjutnya: Upaya Konsevasi Gajah
Upaya Konsevasi Gajah
Dilansir PPID KLHK, November 2016, total populasi gajah captive (ex-situ) di Indonesia mencapai 1.322 individu, terdiri atas 473 jantan dan 849 betina. Dari total populasi tersebut, 545 individu berada di Lembaga Konservasi Khusus/Pusat Latihan Gajah/Pusat Konservasi Gajah, dan 777 individu berada di Lembaga Konservasi untuk kepentingan umum.
Pemerintah memiliki dokumen rencana tindakan mendesak penyelamatan populasi gajah sumatera (Elepas maximus sumatransus) 2020-2023 yang diperkuat melalui Surat Keputusan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem No. 39/KSDAE/SET/KSA.2/1/2020
Fokus penyelamatan populasi gajah sumatera terutama dari ancaman aksi perburuan, konflik gajah-manusia dan kematian tak alami karena dijerat, diracun dan pemasangan pagar listrik bertegangan tinggi yang membahayakan gajah, sehingga menjadikan status gajah kritis (critically endangered\
Pemerintah berperan aktif dalam penyelamatan populasi gajah di kawasan Asia. KLHK pernah menjadi tuan rumah Asian Elephant Range States Meeting kedua pada April 2017, berhasil melahirkan “The Jakarta Declaration for Asian Elephant Conservation” sebagai komitmen penyelamatan gajah di Asia.
Ikhtiar Mencegah Punah Gajah Sumatera
Gajah yang hidup dalam kantong-kantong habitat beresiko melakukan perkawinan kerabat (inbreeding). Bila dibiarkan dikuatirkan populasi gajah sumatera tidak viable, erosi genetik (genetic drift) akan menghasilkan keturunan yang lemah. Pemetaan genetik dari kelompok gajah liar kantong habitat termasuk gajah penghuni PLG di seluruh Sumatera, dilakukan Veterinary Society for Sumatran Wildlife Conservation, Medan untuk mencegah inbreeding terus terjadi.
Peneliti Universitas Sriwijaya Prof Arum Setiawan dan Winda Indriarti Msi mengambil kotoran gajah di kawasan konservasi, PLG dan area konsesi di kantong habitat Sugihan-Simpang Heran rawa gambut. Uji DNA mitokondria kotoran gajah menginformasikan “jarak kekerabatan” pada kelompok berbeda.
Informasi itu dapat merekomendasikan “perkawinan aman” gajah antarkelompok atau terhadap gajah terindikasi inbreeding dapat dilakukan dan berdampak bagi pengelolaan konservasi gajah.
Selain pemetaan genetik, habitat yang sesuai bagi perkembangbiakan populasi gajah secara alami perlu disiapkan. Tim peneliti Universitas Muhamadiyah Palembang dipimpin Asvic Helida mengkaji habitat gajah di Suaka Margasatwa Gunung Raya, Ogan Komering Ulu Selatan, pada 2021.
Habitat gajah harus memenuhi kesediaan ragam pakan, sumber mineral (garam), air minum dan mandi untuk mendinginkan suhu tubuh. Hutan bertajuk untuk istirahat, berkawin, dan menunjang pergerakan gajah sehingga tak mengganggu area budidaya dan permukiman.
Ikthiar konservasi lainnya: menggiring, menghalau, merintangi dan memagarinya dengan kawat bertegangan listrik dilakukan untuk mengelola pergerakan gajah keluar dari kantong habitatnya.
Pegiat konservasi menuturkan gajah mampu mengatasi semua rintangan: menggiring, menghalau, merintangi, dan memagarinya sering kali tak efektif.
Gajah mampu memanipulasi situasi, dua ekor gajah liar seolah bergaduh menarik perhatian jagawana, sehingga kawanan gajah dalam kelompok dapat mengecohnya bermigrasi dijalur yang dihalangi. Atau dengan kekuatannya merobohkan pagar kawat berlistrik.
Kemampuan berkomunikasi ultrasuara (tidak terdengar manusia) antargajah, membuatnya dapat bergerak dalam senyap. Tak ada yang dapat menghentikan gajah kecuali peluru dan racun dari tangan manusia.
Meminjam teori Cognitive Revolution dari Yuval Noah Harari, kecerdasan gajah bertambah seiring interaksinya dengan manusia, yang kemudian digunakannya untuk bekerja sama, memperdayai, sekaligus melakukan perlawanan terhadap aksi manusia.
Evolusi anatomi sejak leluhur Meoritherium hingga Loxodonta dan Elephas sepuluh ribu tahun lalu dan revolusi kognitif gajah dalam lintasan waktu sesungguhnya adalah risalah gajah menolak punah sepanjang hayatnya. Manusia sebagai kalifah di muka bumi seharusnya mampu melindunginya. Selamat Hari Gajah Sedunia 12 Agutsus 2023!