Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah mengeluarkan tiga kebijakan kelautan, termasuk soal hasil sedimentasi laut.
Kebijakan tersebut bermasalah dan berpotensi memicu kerusakan lingkungan.
Kebijakan itu juga dapat merugikan nelayan dan investor.
Yonvitner
Kepala Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada tahun ini, sektor kelautan dan perikanan dihadiahi tiga kebijakan baru. Ketiganya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Perikanan Terukur, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2023 tentang Benda Muatan Kapal Tenggelam, dan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut. Bila disimak secara saksama, ketiga kebijakan tersebut menekankan pada pengelolaan yang eksploitatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan pemerintah tentang perikanan terukur mengamanatkan adanya sistem penangkapan ikan berdasarkan kuota. Zona yang dianggap sebagai kawasan industri akan menggunakan pendekatan usaha berbasis kuota. Kuota ini akan diberikan kepada investor atau nelayan berskala kecil yang tergabung dalam koperasi. Salah satu persoalannya adalah data stok ikan yang masih berbasis data lama, meskipun sudah diperbarui melalui penetapan oleh peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan pada 2022, yang memperkirakan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan berubah dari 12,5 juta ton pada 2017 menjadi 12,01 juta ton pada 2022.
Masalahnya, penetapan itu tidak didasarkan pada hasil evaluasi sumber daya yang memadai. Contohnya adalah data pada wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718, yang meliputi Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor. Stok untuk wilayah ini tetap 2,637 juta ton, baik pada 2017 maupun 2022. Semua nilai untuk kelompok ikan lain juga tidak berubah. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah sebatas memperbarui peraturan, tapi belum mengenai data potensi stok ikannya. Faktanya, potensi stok beberapa jenis tangkapan, seperti cumi, mengalami penurunan di wilayah tersebut.
Selain itu, pemberian alokasi kuota kepada investor bisa berdampak ganda, antara lain potensi terjadinya sengketa antara investor dan pemerintah karena datanya tidak diperbarui ketika investor tak berhasil mendapat kuota tersebut. Dampak lainnya adalah terjadinya eksploitasi secara berlebihan hingga investor mendapat seluruh kuotanya. Hal terakhir ini akan mendorong eksploitasi berlebih dan perusakan ekosistem atau pelanggaran penangkapan pada habitat yang dilarang, seperti kawasan konservasi laut.
Adapun soal nelayan kecil, yang diwajibkan membentuk koperasi untuk mendapatkan kuota, masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah. Misalnya, model koperasinya seperti apa? Bagaimana mekanisme pendistribusian stok kepada koperasi? Berapa besaran kuota yang akan didapat nelayan? Dan seterusnya. Satu hal yang belum disiapkan adalah pada stok berapa, berdasarkan daerah dan jenis target tangkapan, nelayan mampu memperoleh penghasilan memadai sehingga tidak sampai terjadi kompetisi antar-nelayan kecil dalam memperebutkan kuota yang dibagikan melalui koperasi.
Peraturan presiden mengenai benda muatan kapal tenggelam juga mengarah pada sikap eksploitasi pemerintah. Peraturan ini menyebutkan dengan jelas bahwa pihak yang mengangkat kapal tenggelam akan mendapat bagian sebesar 55 persen, sedangkan pemerintah 45 persen, baik dari hasil lelang maupun dari barang yang tidak terjual di pelelangan. Pesan dari peraturan ini sangat jelas, yakni eksploitasi benda muatan kapal tenggelam adalah pendapatan negara.
Peraturan pemerintah mengenai pengelolaan hasil sedimentasi laut kini sedang ramai dibicarakan. Hasil sedimentasi laut, yang mencakup pasir dan lumpurnya, merupakan target eksploitasi yang akan digunakan untuk rehabilitasi pantai, reklamasi, atau ekspor. Pemerintah berpandangan bahwa pengambilan sedimen ini akan menyehatkan ekosistem dan memperlancar alur pelayaran.
Hitungan Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan IPB University (Kusumastanto, 2003) memperlihatkan bahwa setiap eksploitasi sumber daya pasir laut sebesar 1 juta meter kubik akan mengakibatkan gangguan (damage) terhadap sumber daya kelautan yang lain sebesar 5 persen. Artinya, bila kita meningkatkan kapasitas pengerukan tersebut hingga 10 kali lipat, kerusakan pada sumber daya lain akan meningkat hingga 50 persen. Hitungan ini dapat digunakan dalam situasi sekarang jika kegiatan pengerukan itu diteruskan. Nilai ini menjadi tinggi karena kita harus memberikan nilai baik yang tangible (berwujud fisik) ataupun intangible (tak berwujud fisik) terhadap ekosistem karang, lamun, ikan, dan mangrove, serta dampak pada lokasi pencarian ikan masyarakat kecil, dampak kesehatan, dan lainnya.
Bagaimana cara kita keluar dari dampak risiko yang dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang dari kebijakan yang baru saja keluar ini? Dalam konteks perikanan terukur, bagian pentingnya adalah harus dilakukan evaluasi ulang mengenai data stok ikan nasional dengan data survei terbaru. Penetapan jumlah stok perlu melalui survei menyeluruh terhadap potensi stok ikan di wilayah perikanan dan semua pusat pendaratan ikan. Dengan begitu, estimasi data stok dapat lebih mendekati kondisi sesungguhnya dan lebih bisa diandalkan. Pemerintah juga harus memetakan stok untuk nelayan kecil dengan kepadatan nelayan dalam wilayah 12 mil. Potensi stok ikan itu harus dapat memberikan pendapatan yang memadai untuk kebutuhan hidup minimum mereka. Jangan sampai stok habis untuk investor, sementara nelayan kecil tidak mendapat akses untuk memanfaatkannya.
Perihal benda muatan kapal tenggelam, bagian yang perlu dicermati adalah sifat dan karakter benda tersebut yang bernilai jual tinggi, yang biasanya bernilai sejarah tinggi serta menjadi nilai budaya bagi bangsa Indonesia. Agar tidak kehilangan benda bernilai sejarah tersebut, pemerintah perlu membangun pusat pendidikan maritim, melakukan literasi kemaritiman, dan mengembangkan pusat wisata maritim. Dengan begitu, ekonomi dari benda muatan kapal tenggelam tidak lagi terletak pada penjualan benda, melainkan melalui pendidikan, wisata, dan literasi. Di satu sisi, kita tidak kehilangan bukti sejarah. Di sisi lain, ekonominya tetap berjalan.
Untuk regulasi sedimentasi laut, ada dua hal yang seharusnya dipenuhi, yaitu daftar inventarisasi masalah (DIM) dan naskah akademis yang mendasari penyusunan peraturan. DIM tersebut dapat memuat daerah mana yang sedimentasinya bermasalah terhadap ekosistem dan pelayaran, masyarakat dan pemiliknya, serta masalah global, seperti jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
Naskah akademisnya harus memperkuat data-data mengenai status daerah pesisir tersedimentasi (luas, besaran, dan depositnya). Naskah itu juga harus memaparkan ekosistem yang ada di selingkungnya, seperti mangrove, terumbu karang, daerah ruaya ikan, daerah penangkapan oleh masyarakat, daerah transportasi laut, daerah jalur kabel laut, daerah pipa gas bawah laut, dan daerah konservasi. Data ini harus disiapkan lebih awal oleh pemerintah sebagai basis dalam mengevaluasi dampak dan risiko sedimentasi. Ketika kebijakan ini diyakini tepat, investor tinggal mengevaluasi risiko semua komponen di atas, kemudian menyusun skema ganti rugi atau ongkos pemulihan lingkungannya.
Dalam ketiga kebijakan ini, selalu ada narasi mengenai menteri yang memberikan izin kuota, penjual hasil lelang barang muatan kapal tenggelam, dan pemberi izin pemanfaatan pasir laut. Penempatan menteri sebagai representasi pemerintah yang berhadapan dengan pihak swasta atau investor akan menempatkan pemerintah pada level yang sama dengan investor. Hal ini dapat menimbulkan risiko jika terjadi sengketa di antara kedua pihak, baik mengenai data stok ikan yang dianggap tidak tepat, izin yang tidak sesuai dengan potensi, maupun sistem komunikasi yang rawan intervensi berbagai pihak. Solusinya, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Investasi perlu membentuk badan investasi kelautan yang dapat mengawal semua investasi di sektor ini, sehingga pemerintah dapat menjadi wasit yang adil dalam menjaga kepentingan negara, rakyat, ekosistem, dan investor.
Jangan sampai berbagai kebijakan kelautan ini menjadi tsunami bagi lingkungan dan masyarakat. Jangan sampai pula dampak kebijakan ekspor lobster era Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, yang meneguhkan keraguan investor tentang tidak adanya jaminan berusaha di Indonesia, berulang.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo