Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanah obyek reforma agraria adalah instrumen yang sedang digunakan pemerintah untuk menjalankan redistribusi akibat ketimpangan penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah, dengan target seluas 4,5 juta hektare. Tanah itu berasal dari hak guna usaha (HGU) yang telah habis masa berlakunya dan tanah telantar seluas 0,4 juta hektare serta pelepasan kawasan hutan seluas 4,1 juta hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan itu sangat penting karena pemanfaatan hutan dan tanah selama ini telah menghasilkan ketimpangan penguasaan dan pemanfaatannya. Akibatnya, pengembangan infrastruktur ekonomi ataupun peningkatan efisiensi perizinan hanya akan dinikmati pengusaha kuat karena rakyat miskin yang berbasis tanah dan pertanian sudah tidak punya sumber daya, kecuali tenaganya sebagai buruh. Kebijakan reforma agraria itu diharapkan dapat menggeser struktur penguasaan hutan/tanah oleh pihak swasta dan masyarakat saat ini yang sebesar 88 : 12 persen menjadi 59 : 41 persen (KLHK, 2018).
Persoalannya, apakah pemerintah daerah rela mengalokasikan tanah itu kepada masyarakat miskin, yang umumnya tidak mempunyai dukungan politik? Pelaksanaan kebijakan yang timpang ini sekaligus membuat pelayanannya berat sebelah. Dalam waktu yang sama, hal ini bisa menimbulkan trauma, dendam, kebencian, maupun stigma di masyarakat sehingga mereka tidak lagi percaya terhadap rencana-rencana pembangunan. Saya pernah mengalami sendiri hal tersebut. Niat untuk memperbaiki sesuatu sudah ditolak masyarakat dari awal karena niat serupa itu sudah berulang kali ada dan tidak pernah menjadi kenyataan.
Hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016 dan 2017 mengenai sumbangan biaya pemilihan kepala daerah (pilkada) dan benturan kepentingan yang diakibatkannya mengkonfirmasi hal-hal di atas. Calon kepala daerah cenderung sudah diikat janji-janji kepada donaturnya sehingga tidak bisa melayani kepentingan masyarakat miskin. Sebanyak 70,3–82,6 persen calon mengakui menerima dana dari donatur dan 56,3–71,3 persen menyebut bahwa donatur akan minta balas jasa ketika mereka terpilih. Atas permintaan itu, 75,8–82,2 persen calon menyanggupinya. Kenyataan itu menunjukkan, walaupun kebebasan pengambilan keputusan bagi para pemimpin daerah sesuai dengan peraturan dan perundangan tetap dapat dilakukan, iklim paternalisme seakan telah menjadi desain dalam cara pengambilan keputusan.
Berdasarkan kajian KPK itu diketahui pula motivasi donatur dari hasil wawancara terhadap 286 informan (2016) dan 150 informan (2017). Sebanyak 61,5–76,7 persen dari jumlah donatur umumnya bermaksud untuk mendapat keamanan dalam menjalankan bisnis. Selain itu, 64,4–73,3 persen donatur ingin mendapat kemudahan tender dari proyek pemerintah daerah dan 63,3–73,0 persen ingin mendapat kemudahan akses perizinan. Motivasi donatur lainnya adalah kemudahan akses untuk mendapat jabatan di pemerintahan atau badan usaha milik daerah (60,1–56,0 persen) dan mendapat akses untuk ikut menentukan kebijakan atau peraturan daerah (43,7–49,3 persen).
Berbagai keinginan tersebut memang cenderung dipenuhi oleh pemimpin daerah. Hal itu terbukti dari 88 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi oleh KPK selama periode 2004 sampai 3 April 2018. Tiga besar obyek yang diperkarakan adalah pengelolaan anggaran daerah, pengadaan barang dan jasa, serta perizinan sumber daya alam.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa desain paternalisme bukan hanya mempersempit inovasi daerah, tetapi juga bahkan menjerat proses pengambilan keputusan. Untuk itu, hutan dan tanah yang sudah tersedia menjadi kekayaan yang paling mudah untuk dialokasikan bukan ditujukan bagi masyarakat miskin.
Karena itu, pelaksanaan tanah obyek reforma agraria harus dikawal secara politik, bukan hanya diserahkan pada prosedur birokrasi yang sangat rentan diintervensi. Keterbukaan informasi bagi publik dan pengawasan berlapis dalam pelaksanaannya perlu diwujudkan.