Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Skenario Gaza Pasca-Perang

Ibnu Burdah, guru besar kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga, mengurai bagaimana pemerintah Gaza pasca-perang bagi Palestina?

9 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Meski perang belum berakhir, Israel sudah mulai membicarakan pemerintahan Gaza pasca-perang.

  • Israel tampaknya akan tetap mempertahankan militernya di Jalur Gaza.

  • Israel menghendaki Gaza dipimpin entitas Palestina, tapi bukan Otoritas Palestina.

Ibnu Burdah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guru Besar Kajian Timur Tengah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perang Hamas-Israel di Jalur Gaza, yang menyebabkan jatuhnya korban kemanusiaan dan kehancuran tak terkira, belum benar-benar berakhir. Masih ada bentrokan relatif terbatas dan bahkan ada kekhawatiran perang ini akan meluas ke wilayah utara Israel. Namun pembicaraan tentang siapa yang akan memerintah Gaza pasca-perang sudah mengemuka. Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken ke Timur Tengah pada pekan ini memberikan momentum sendiri untuk isu tersebut.

Kepentingan Israel

Israel, yang saat ini secara de facto menguasai sebagian besar daratan Gaza, pasti ingin memastikan kepentingan nasionalnya terjamin. Untuk itu, pertama, Gaza tidak boleh lagi menjadi sumber ancaman bagi pertahanan dan keamanan Israel. Kedua, Hamas atau kelompok-kelompok perlawanan sejenis tidak boleh dilibatkan dalam pemerintahan Gaza selanjutnya. Ketiga, Israel ingin memastikan tentaranya mempunyai akses leluasa ke Gaza untuk kepentingan keamanan. Tiga hal ini sepertinya akan jadi titik kesepakatan di antara pihak-pihak di dalam negeri Israel.

Namun pandangan berbeda di dalam negeri Israel juga banyak. Pertama, apa peran militer Israel dalam pemerintahan Gaza? Apakah mereka bercokol di sana atau cukup memiliki akses bila diperlukan? Kedua, perlu-tidaknya permukiman Yahudi dibangun di Gaza untuk membantu jejaring keamanan Israel sebagaimana mereka menggerogoti wilayah di Tepi Barat dan Ghilaf Gaza selama ini.

Ketiga, bagaimana rakyat Gaza diperlakukan? Apakah rakyat Gaza tetap tinggal sebagaimana biasa atau dipindahkan—dalam bahasa Israel—“secara sukarela” ke daerah lain, seperti Sinai atau bahkan Kongo? Pandangan edan ini, meskipun sangat minor, mempunyai daya tarik sendiri bagi para ekstremis Israel dan memantik respons keras dari dunia Arab, Amerika, dan yang lain.

Usulan tiga prinsip Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant cukup jelas mewakili pemerintah Israel, yakni militer cukup punya akses leluasa ke Gaza jika diperlukan, tidak ada permukiman sipil Yahudi di seluruh Jalur Gaza, dan masyarakat Gaza tetap tinggal di tempat mereka sebelumnya. Ini ditambah satu kebijakan lain, yang disebut hamail, yang bertugas menyalurkan bantuan ke rakyat Gaza dan usaha merestorasi Gaza yang luluh lantak akibat perang.

Keempat, dan ini yang paling diperdebatkan, siapa yang memerintah Gaza pasca-perang? Gallant memberikan garis besar pada sikap sementara pemerintah Israel bahwa yang memerintah Gaza pasca-perang adalah entitas Palestina tanpa menyebut siapa yang dimaksudkan dengan entitas itu. Sikap Israel ini sepertinya ingin mengambil jalan tengah dari beberapa opsi siapa yang bakal memerintah Gaza, apakah tentara Israel, Otoritas Palestina, atau yang lain.

Posisi Otoritas Palestina

Pemerintah Israel sepertinya tidak menginginkan Otoritas Palestina memerintah Gaza pasca-perang, kecuali terjadi suksesi dalam pemerintahan Palestina yang berpusat di Ramallah, Tepi Barat, itu. Netanyahu merupakan salah satu pemimpin Israel yang menolak peran Otoritas Palestina. Sikap Mahmud Abbas, Presiden Otoritas Palestina dari partai politik Fatah, selama ini dan khususnya pada masa perang ini juga dianggap oleh Israel tidak jelas. Keinginan Israel mengganti Abbas dengan Muhammad Dahlan—anggota senior Fatah yang berseberangan dengan Abbas—tentu ditolak mentah-mentah oleh Otoritas Palestina saat ini.

Sementara itu, Amerika Serikat—negara paling berpengaruh terhadap kebijakan Tel Aviv—juga menginginkan agar pemerintahan Gaza diserahkan kepada Otoritas Palestina. Pandangan ini didukung oleh banyak negara Arab, khususnya sekutu Amerika di Timur Tengah. Kebanyakan negara Arab ini menentang Hamas, bahkan memasukkan Hamas ke daftar organisasi teroris. Namun kekuatan dan popularitas Otoritas Palestina (baca: tokoh-tokoh Fatah) lemah, apalagi pada masa pasca-perang nanti ketika mereka jadi bahan olok-olokan rakyat Palestina dan masyarakat Arab.

Otoritas Palestina sebenarnya terus menggalang dukungan agar pemerintahan Gaza berada di bawah Otoritas Palestina dengan alasan Tepi Barat dan Gaza merupakan satu kesatuan, yaitu Palestina. Abbas mengecam keras inisiatif Israel yang tampaknya menginginkan pemerintahan Gaza dipegang oleh entitas Palestina lain yang loyal kepada Israel. Abbas menyebutnya sebagai upaya memecah belah Palestina.

Minus Persatuan    

Skenario apa pun di Gaza pasca-perang hanya akan menjamin kepentingan Israel di wilayah tersebut. Sebab, secara de facto, sebagian besar Gaza sudah dalam kontrol militer Israel. Harapan akan ada otoritas Palestina kuat yang memerintah Gaza dan secara maksimal memperjuangkan cita-cita Palestina merdeka tampaknya tak akan terwujud dalam waktu dekat.

Perpecahan di dalam Palestina-lah penyebab utamanya. Andai saja Fatah dan Hamas berbagi tugas sejak awal, kondisi pasca-perang pasti lebih memberi harapan. Misalnya, Hamas berjuang secara militer dan Fatah berjuang melalui diplomasi, khususnya setelah perang, maka kombinasi langkah mereka akan lebih efektif dalam usaha perjuangan Palestina. Perlawanan bersenjata ataupun ekspose kekuatan lain tentu akan meningkatkan daya tawar dan positioning diplomasi Palestina, baik terhadap Israel maupun pihak-pihak lain. Inilah sebenarnya strategi paling masuk akal bagi ikhtiar perjuangan Palestina. Namun keterpecahan serta egoisme Fatah dan Hamas makin mengubur harapan terwujudnya negara Palestina merdeka dan berdaulat.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus