Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAHDLATUL Ulama atau NU menjadi ceruk besar yang selalu diperebutkan para pemburu kursi presiden. Dengan jumlah kaum nahdliyin yang disebut-sebut mencapai lebih dari 95 juta orang, kelompok ini dianggap bakal menentukan kemenangan seorang kandidat. Meski begitu, sejarah menunjukkan anggapan itu bisa jadi hanya fatamorgana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok Nahdlatul Ulama pun menjadi ladang perebutan dukungan bagi tiga tokoh yang akan bersaing pada pemilihan presiden 2024: Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ketiganya berusaha menggandeng pasangan dari kelompok NU dengan harapan bisa menarik gerbong nahdliyin ke kubu mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anies bergandengan dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa yang basis pendukungnya NU. Prabowo dan Ganjar kini memperebutkan Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur yang pernah 20 tahun memimpin organisasi perempuan NU, Fatayat.
Calon wakil presiden lain dari kalangan NU yang santer disebut adalah Mahfud Md. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang berasal dari Jawa Timur ini adalah representasi Gusdurian—kelompok pendukung mantan presiden Abdurrahman Wahid. Di sisi lain, tokoh yang ingin masuk bursa calon wakil presiden pun mengasosiasikan diri sebagai warga NU. Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, misalnya, yang memimpin panitia peringatan hari lahir NU tahun lalu.
Barangkali calon presiden merasa perlu menggunakan sistem klientelisme, yakni relasi timbal balik dan hierarkis dengan pertukaran sumber daya materiil dan non-materiil antara kandidat dan pemilih. Relasi ini melibatkan mediator atau penyedia dukungan yang mengakar di masyarakat. Jika tokoh-tokoh yang memiliki akses sumber daya pemilih terpegang, diharapkan akan diikuti suara pengikutnya.
Kenyataannya, nahdliyin bukan satu kelompok yang solid. Dukungan mereka acap kali terbagi-bagi pada kandidat yang ada. Tokoh senior NU bahkan tak cukup kuat untuk menarik dukungan mereka. Pada pemilihan 2004, Ketua Umum Pengurus Besar NU Hasyim Muzadi, yang dijadikan calon wakil presiden oleh Megawati Soekarnoputri, tak bisa menghindarkan Ketua Umum PDI Perjuangan itu dari kekalahan. Begitu juga adik Abdurrahman Wahid, Salahuddin Wahid, yang berpasangan dengan Wiranto.
Baca liputannya:
- Mengapa Khofifah Indar Parawansa Jadi Rebutan Calon Presiden?
- Bagaimana Anies Baswedan Menggalang Suara Nahdlatul Ulama?
Medan utama perebutan suara tetaplah di Pulau Jawa, tempat lebih dari separuh total jumlah pemilih pemilihan presiden 2024, yakni 204 juta orang. Pemilih di Jawa Timur berjumlah lebih dari 31 juta, terbesar kedua setelah Jawa Barat. Kelompok NU diperkirakan merupakan mayoritas pemilih di timur Jawa. Dari hasil survei oleh sejumlah lembaga, tokoh-tokoh NU yang telah disebutkan itu tidak menempati posisi teratas peta elektabilitas calon wakil presiden, termasuk di provinsi tersebut.
Faktor penentu tetaplah kekuatan personal calon presiden. Maka, idealnya, mereka memilih calon wakil berbasiskan kompetensi—dan bukan latar belakang mereka. Untuk terus memperkuat daya tarik buat pemilih, mereka perlu mengutamakan strategi programatik serta menawarkan visi kepemimpinan ke depan. Dengan begitu, pemilik suara bisa menentukan pilihan secara obyektif, tanpa bias primordial tertentu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Berebut Dukungan Kaum Nahdliyin"