Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negeri ini, rakyat kecil kerap menjadi korban sekaligus tertuduh penyebab bencana. Tragedi yang menimpa para pendulang emas liar di Rimbo Bukik Atok, Nagari Sungai Abu, Solok, Sumatera Barat, adalah contoh nyata. Pada 26 September 2024, sekitar dua lusin penambang terkubur dalam tanah longsor, 13 di antaranya tewas. Sudah kehilangan nyawa, penambang liar itu masih juga dituduh sebagai pemicu malapetaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih bertanggung jawab, para pejabat justru sibuk melempar kesalahan. Penjabat Bupati Solok, Akbar Ali, menyatakan tambang ilegal itu berada di hutan lindung, yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Penjabat Gubernur Sumatera Barat, Audy Joinaldy, berkilah bahwa pertambangan emas adalah urusan pusat, bukan daerah. Sikap saling lempar tanggung jawab ini jelas menunjukkan ketidakpedulian sekaligus ketidakpahaman pejabat akan aturan yang berlaku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tambang emas ilegal seharusnya tak hanya menjadi masalah pusat, tapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Undang-Undang Cipta Kerja dan aturan turunannya, yang mengubah fungsi kesatuan pengelolaan hutan (KPH), memang membuat pengelolaan hutan tidak lagi efektif. Dulu KPH berperan mengawasi hutan. Kini KPH lebih difokuskan mendampingi kelompok tani hutan, sehingga pengawasan terhadap aktivitas tambang liar makin terabaikan. Namun, terlepas dari kelemahan aturan, pemerintah pusat dan daerah semestinya lebih serius berkoordinasi untuk mencegah tambang emas liar serta memitigasi dampak buruknya.
Kita tahu, tambang emas ilegal tidak hanya menghancurkan ekosistem hutan, tapi juga mencemari lingkungan dengan merkuri. Penggunaan merkuri yang masif di tambang tanpa izin menyebabkan pencemaran berat dan berpotensi memicu krisis kesehatan. Sejarah kelam tragedi Minamata di Jepang pada 1956, yang disebabkan oleh keracunan merkuri, semestinya menjadi peringatan keras. Di sana, lebih dari 1.700 orang tewas dan ribuan lainnya menderita kelumpuhan serta kerusakan saraf akibat pencemaran merkuri.
Indonesia sebenarnya telah meratifikasi Konvensi Minamata melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2017. Namun pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari harapan. Studi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi pada 2013 mengungkapkan bahwa lebih dari 195 ton merkuri dilepaskan ke udara setiap tahun dari tambang-tambang ilegal. Di Sumatera Barat, penelitian Universitas Andalas menunjukkan kadar merkuri di Sungai Batanghari telah melebihi ambang batas yang diizinkan, mengancam kesehatan masyarakat dan kehidupan biota air.
Masalahnya sering menjadi lebih rumit karena adanya praktik rent-seeking alias perburuan keuntungan dengan cara curang. Di banyak tambang liar, selalu ada aparat yang bermain mata dengan pemodal tambang. Penelitian Universitas Andalas di Sijunjung dan Solok Selatan juga menemukan keterlibatan aparat yang melindungi tambang-tambang ilegal. Ini menambah lapisan korupsi yang makin memperparah situasi.
Perlu penegakan hukum yang tegas dan tanpa kompromi untuk memberantas tambang emas liar. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus bekerja sama dan bertanggung jawab. Jangan lagi ada rakyat kecil yang menjadi korban atau kambing hitam dari ketidakpedulian dan permainan para pejabat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kambing Hitam Tambang Emas Liar"