Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERESA hidup di sebuah novel yang penuh sesak, kisah yang bergerak terus dan dibaca jutaan orang selama 400 tahun. Tapi ia, perempuan peladang yang tak berpunya, selalu diabaikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sini saya ingin mengatakan, tak seharusnya demikian. Dalam buku kedua Miguel de Cervantes, Don Quixote, kita ketahui ia istri Sancho Panza, itu punakawan yang ke mana pun mengiringi sang tokoh utama, Don Quixote, kesatria majenun dalam fiksi Spanyol yang termasyhur itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di halaman ke-760-sekian, perempuan itu memperkenalkan diri: “Aku dibaptis dengan nama Teresa, nama yang jelas dan sederhana tanpa hiasan Don atau Doña. Bapakku bernama Cascajo.” Orang, katanya, “Seharusnya memanggilku Teresa Cascajo.”
Perempuan abad ke-21 akan senang mengenal Teresa, meskipun ia penghuni fiktif dusun La Mancha di awal abad ke-17. Teresa menandai, tanpa kata-kata besar, bahwa hidup tak pernah tenggelam seutuhnya dalam patriarki atau sistem apa pun—dan tak bisa sepenuhnya bisa diterangkan demikian. Teresa adalah “si ganjil”, atau Abfall, fenomen yang tak tercakup klasifikasi politik.
Sebab itu ia sumber pembebasan.
Demokrasi terjadi karena mereka yang semula tak dianggap dan dilecehkan bangun menegaskan diri. Ketika Don Quixote terbit di tahun 1605, demokrasi tak ada dalam hidup sehari-hari. Tapi Cervantes memperkenalkan zamannya dengan Sancho Panza, petani buta huruf yang menginginkan sesuatu yang mustahil: jadi gubernur.
Keinginan itu terbit karena pada suatu hari majikannya yang aneh, Don Quixote, menjanjikannya. Pada saat yang sama, Cervantes juga memperkenalkan pembacanya dengan Teresa, perempuan yang tumbuh dalam ruang terbatas, dan sebab itu pandai menjaga diri dari risiko dan rasa kecewa, sebagaimana lazimnya petani melarat. Ia tak peduli derajat yang lebih. Ia tahu ia jelata dan lapar.
Katanya kepada sang suami:
Kau keluar dari rahim ibumu tanpa jabatan gubernur, dan bila Tuhan kehendaki, kau akan ke kubur tanpa jabatan itu. Banyak orang di dunia hidup tanpa jabatan gubernur, dan itu tak membuat mereka hancur atau tak tergolong manusia. Kuah terlezat adalah lapar, dan itu orang miskin punya banyak, maka mereka bisa makan dengan nikmat.
Ketika Sancho mengatakan kelak ia akan angkat anak perempuan mereka jadi bangsawan putri, seorang condesa, Teresa menyahut: “Di hari ia jadi bangsawan, aku akan menguburkannya.” Dan ibu itu menangis.
Sancho mengalah—setidaknya mundur selangkah. “Nanti pengumuman pengangkatannya akan aku tunda,” katanya kepada Teresa, seakan-akan kedudukan impian itu sudah tinggal diambil.
Tapi ajaib, Sancho kemudian memang jadi “gubernur”. Seorang bangsawan penguasa wilayah yang ingin mengolok-oloknya (dan mengolok-olok Don Quixote) tahu Sancho telah lama menyimpan impian itu. Maka ia diangkat jadi penguasa sebuah “insula”—yang sebenarnya sebuah kampung berbatas tembok dan berisi 1.000 orang.
Yang tak disangka-sangka, Sancho, gubernur insula Barataria yang bukan insula itu, bersungguh-sungguh dalam satu hal: ia adil dalam menggunakan kekuasaannya, begitu rupa hingga ia dipersamakan dengan Sulaiman yang bijaksana dalam Injil.…
Tapi ia tahu diri. Ia adil—tak mengistimewakan siapa pun—karena ia tahu, tubuh taninya yang akrab dengan tanah itu tahu: yang “istimewa” hanya sebuah ketinggian semu. Ketika seorang pejabat memanggilnya “Don Sancho Panza”, ia langsung menukas (dan kita teringat kata-kata Teresa), “Tak ada gelar Don dalam namaku, nama ayahku dan kakekku.”
Bagi Sancho, gelar “Don” tak ada harganya. “Saya bayangkan di insula ini pasti ada banyak Don ketimbang batu.” Dan ia seakan-akan berjanji: “Jika jabatanku beberapa hari saja lebih lama, akan aku kikis para Don itu, sebab begitu banyak mereka hingga seperti ngengat, merecoki saja.”
Buku kedua Don Quixote tak memperpanjang masa jabatan Sancho. Urunglah agenda radikalnya.
Pada suatu malam orang-orang berkomplot untuk mengolok-oloknya lebih jauh—dan lebih kejam. Dikabarkan insula itu diserang musuh. Sang Gubernur pun dilindungi: dua perisai diikat menutupi tubuhnya yang gendut. Dan, ketika Sancho disuruh tiarap, ia tergeletak seperti penyu yang tak berdaya, sementara orang menginjak-injaknya.
Sancho tahu ia dipermainkan. Malam itu ia pun meninggalkan Barataria. Ia berjalan kesakitan ke kandang keledainya, memeluk hewan itu dengan berair mata, dan mengendarainya untuk pergi. “Beri jalan, Tuan-tuan, biarkan saya kembali ke kebebasan saya yang lama.…”
Apa yang kita dapatkan dari Sancho dan Teresa? Cervantes memaparkan citra yang ambigu.
Kita bersua dengan dua petani jelata yang tahu bahwa jabatan di atas itu bukan takdir untuk mereka—bahkan bisa mencelakakan. Sancho pernah mengutip pepatah lama, por su mal le nacieron alas a la hormiga—celakalah semut yang memakai sayap. Dengan kata lain, sebuah suara konservatif yang tak berniat berubah.
Di pihak lain, sikap mereka maju. Di Spanyol abad itu, mereka tunjukkan kekuasaan para aristokrat sebagai hanya kelebihan yang tak mengubah apa-apa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo