Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Akhir-akhir ini kata healing cukup intens digunakan oleh warganet.
Kata ini seolah-olah menjadi terapi bagi masyarakat kita setelah hampir tiga tahun berjuang melewati masa pandemi Covid-19.
Berbagai konteks menyertai penggunaan istilah ini dalam aktivitas sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM beberapa lalu lintas pesan, baik di aplikasi berbagi pesan maupun media sosial, kata healing cukup intens digunakan oleh warganet. Kata ini seolah-olah menjadi terapi bagi masyarakat kita setelah hampir tiga tahun berjuang melewati masa pandemi Covid-19. Berbagai konteks menyertai penggunaan istilah ini dalam aktivitas sehari-hari, seperti pergi ke tempat wisata, berburu makanan ke restoran, menonton film ke bioskop, atau menonton bersama pertandingan sepak bola ke kafe kopi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penulisan kata healing mesti dimiringkan karena pelafalannya masih mengikuti bahasa aslinya, yakni bahasa Inggris. Selain itu, secara makna kata healing termasuk istilah kesehatan dan psikologi yang berarti penyembuhan secara psikis. Kita masih ingat Michael Jackson pernah mempopulerkan lagu “Heal the World” pada 1990-an. Lagu ini menyadarkan kita bahwa pada tahun tersebut, bahkan dekade sebelumnya, kerusakan lingkungan marak terjadi.
Healing menjadi semacam kata yang mewakili masyarakat kita untuk sembuh dari beban psikologis dan kembali beraktivitas dalam kenormalan baru sesudah masa pandemi corona. Namun, yang tak kalah penting untuk ditanyakan, sedemikian sakitkah masyarakat kita sehingga healing dilakukan? Atau jangan-jangan masyarakat kita mengenal kata tersebut hanya sebagai batasan atas jalan-jalan untuk mengisi waktu luang?
Kenormalan baru berinteraksi sosial setelah melewati masa pandemi corona membutuhkan komitmen bersama. Jika meminjam istilah AGIL dari Talcott Parsons, sejatinya beberapa proses sosiologis sedang berlangsung, yakni adaptasi atas protokol kesehatan penanganan pandemi corona, pencapaian tujuan (goal attainment) dengan komitmen yang kuat, integrasi masyarakat dan pemerintah dalam berinteraksi, serta pemeliharaan pola (latensi) yang terbarukan.
Hal ini tentu saja terdukung melalui produksi dan konsumsi bahasa yang menyertai interaksi sosial masyarakat setelah melewati masa pandemi corona. Sampai di sini, kita dapat menemukan relevansi sekaligus ambivalensi kata healing yang sering digunakan. Setidaknya ada tiga sudut pandang untuk membicarakan relevansi kata healing dengan pandemi corona.
Pertama, kata healing yang meluas pemakaiannya tidak hanya menandai bahwa masyarakat kita baru pulih dari trauma psikologis akibat pandemi corona. Lebih dari itu, masyarakat kita merindukan pola interaksi lama yang melekat dalam kesadaran kolektif, yakni berinteraksi langsung dalam komunikasi lisan yang erat.
Kedua, ruang eksistensi antarindividu mendapat momentum yang pas dengan kata tersebut. Dalam seloroh sederhana, mungkin menjadi sah pernyataan aku healing maka aku ada. Hal ini terdukung dengan cepat, luas, dan masifnya konten-konten yang menyertakan kata healing di Internet. Dengan itu, pernyataan yang menyertakan kata healing menjadi populer untuk digunakan masyarakat.
Ketiga, disparitas antara harapan dan kenyataan atas kenormalan baru setelah pandemi corona melandai yang direncanakan pemerintah belum tampak menyentuh kebutuhan masyarakat. Terutama dampak melemahnya ekonomi masyarakat dan program-program pengentasannya yang belum merata. Belum lagi kita akan memasuki tahun politik 2024: kinerja pemerintah akan terbagi untuk melaksanakan pembangunan dan mengamankan jalannya pemerintahan.
Menariknya, penggunaan kata healing yang mengalami perluasan makna ini dapat dihubungkan dengan kata halu. Dalam beberapa lalu lintas percakapan, baik pada saat bersemuka sehari-hari ataupun berbalas pesan di media sosial, kata halu (penggalan dari kata halusinasi) dapat menandai gejala psikis masyarakat yang rindu healing.
Kata halu cenderung digunakan dalam pemaknaan yang berkonotasi negatif. Pelabelan seseorang dengan kata halu menyiratkan makna bahwa orang yang dimaksud bertindak dan berkata tidak berdasar pada fakta. Pelabelan ini merentangkan sekaligus menegangkan dua identitas: diri yang berjejak pada kenyataan dan diri yang terbayangkan ideal. Tentu saja asumsi ini sungguh serampangan.
Namun bukankah ingatan kita masih segar atas perilaku sekelompok remaja yang rindu ruang publik, tepuk tangan, dan tanda tangan penggemar dengan ekspresi memperagakan busana? Boleh jadi fenomena Citayam Fashion Week ini meneguhkan sekaligus mengukuhkan bahwa kita memang rindu healing saat halu.
Barangkali keterpecahan identitas ini, sesuatu yang oleh Julia Kristeva disebut split character, menjadi petanda atas hasrat pemolaan interaksi terbarukan setelah masa pandemi corona. Kita tentu dapat mencamkan perubahan makna kata healing yang cenderung berkonotasi baik dan kata halu yang cenderung berkonotasi buruk.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo