Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Indonesia seharusnya menarik pulang Duta Besar Indonesia di Kerajaan Arab Saudi sebagai protes keras atas nasib pekerja migran Indonesia, Tuti Tursilawati, yang dihukum mati pada akhir Oktober lalu. Terlebih Tuti dieksekusi tanpa notifikasi kepada perwakilan Republik Indonesia. Aksi diplomatik drastis semacam itu dibutuhkan untuk menegaskan ketersinggungan pemerintah atas tindakan Saudi yang jelas melanggar Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Kekonsuleran.
Apalagi bukan sekali ini saja Arab Saudi mengeksekusi warga negara Indonesia secara diam-diam. Sebelumnya, pada 18 Maret lalu, Muhammad Zaini Misrin asal Bangkalan, Madura, juga dihukum pancung tanpa pemberitahuan. Sejak sepuluh tahun lalu, sedikitnya empat buruh migran Indonesia dipancung tanpa no-tifikasi resmi kepada perwakilan resmi pemerintah Indonesia di Saudi.
Respons keras Kementerian Luar Negeri teramat penting untuk menyampaikan pesan kita kepada pemerintah Saudi. Terlebih saat ini masih ada warga Indonesia yang ditahan di penjara-penjara di sana. Berbagai upaya Kedutaan Besar Republik Indonesia di Riyadh, terutama mengusahakan maaf dari keluarga korban—baik dengan pembayaran kompensasi (diyat) maupun pengampunan raja (takzir)—berhasil membebaskan sebagian besar dari 103 WNI yang semula terancam hukuman mati. Kini tinggal 12 WNI yang masih menjalani proses peradilan.
Nasib mereka tentu tak bisa diabaikan. Pemerintah punya pekerjaan rumah mengadvokasi 12 WNI ini hingga benar-benar bebas. Kasus eksekusi Tuti Tursilawati adalah preseden buruk yang tak boleh terulang. Untuk itu, diplomat-diplomat kita harus mendesak Arab Saudi untuk segera menandatangani perjanjian mandatory consular notification agar tak ada lagi eksekusi mati tanpa pemberitahuan.
Sebagai bagian dari negosiasi, pemerintah bisa membekukan rencana pengiriman 30 ribu pembantu rumah tangga ke Arab Saudi yang disepakati awal Oktober lalu. Pengiriman TKI itu seharusnya menjadi pilot project Sistem Penempatan Satu Kanal yang disepakati menteri tenaga kerja Indonesia dan Arab Saudi. Kebijakan semacam itu tak berlebihan mengingat moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah sampai sekarang belum dicabut.
Pemerintah sudah seharusnya tidak berkompromi soal keselamatan warga negara kita yang bekerja di negara lain. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menegaskan bahwa sebuah negara hanya bisa menerima TKI jika memiliki hukum yang melindungi tenaga kerja asing, mempunyai perjanjian bilateral dengan Indonesia, dan memiliki sistem jaminan sosial atau asuransi yang melindungi pekerja asing. Pengiriman tenaga kerja ke Saudi bisa dianggap sebagai pelanggaran undang-undang itu. Belum adanya peraturan pemerintah ataupun peraturan menteri dari undang-undang baru itu tak bisa jadi alasan.
Penerapan hukuman mati memang merupakan kedaulatan Arab Saudi yang tidak dapat dicampuri Indonesia. Namun pemerintah bisa bermanuver menggunakan perangkat peraturan hukum yang tersedia di Saudi untuk mengupayakan bebasnya semua warga Indonesia di sana. Pemerintah harus menggunakan semua teknik diplomasi yang ada, termasuk menggandeng tokoh agama, untuk memastikan kemaslahatan warga Indonesia di Saudi. Hukuman pancung atas Tuti Tursilawati seharusnya menjadi kabar buruk terakhir soal buruh migran kita di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo