Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Produk atau zat lain yang juga menimbulkan efek negatif terhadap masyarakat maupun lingkungan, seperti karbon, juga harus dibatasi dan dikenai tarif.
Sayangnya, pemerintah sudah tiga kali menunda penerapan pajak karbon.
Ketimbang menarik utang baru, seharusnya pemerintah mengoptimalkan penerapan pajak karbon pada 2025.
BEBERAPA waktu lalu pemerintah, melalui pernyataan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Askolani, menyatakan tidak akan menaikkan cukai rokok pada 2025. Batalnya kenaikan cukai rokok ini, seperti ditulis Tempo, dikhawatirkan akan meningkatkan jumlah perokok, khususnya anak-anak.
Pada dasarnya, menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, cukai berfungsi mengendalikan konsumsi rokok. Kenaikan cukai akan membuat harga rokok lebih mahal sehingga penting untuk mengendalikan konsumsinya. Dengan begitu, diharapkan anak-anak tidak bisa mengakses rokok.
Rasanya hampir semua orang sepakat dampak buruk rokok terhadap kesehatan bisa mengancam masa depan anak-anak yang akhirnya mengancam target Indonesia Emas 2045. Karena itu, berbicara soal dampak buruk, produk atau zat lain yang juga menimbulkan efek negatif terhadap masyarakat ataupun lingkungan, seperti emisi karbon, harus dibatasi dan dikenai tarif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, karena karbon tidak dikonsumsi secara langsung oleh masyarakat, pemerintah pun mengenakan pajak khusus karbon. Rencana tersebut tertuang dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang berbunyi “pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup”.
Melalui peraturan ini, pemerintah secara tidak langsung berupaya mengendalikan emisi karbon. Dengan membebankan pajak karbon kepada industri, pelaku usaha mau tidak mau harus memikirkan cara untuk mengurangi emisi karbon yang mereka hasilkan agar beban pajak yang mereka bayar kepada pemerintah dapat menurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emisi karbon merupakan istilah yang mengacu pada gas rumah kaca yang menyebabkan menipisnya ozon dan meningkatkan suhu bumi. Sejak Perjanjian Paris disepakati oleh Presiden Joko Widodo yang diwakili oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 23 April 2016, Indonesia harus turut mengupayakan penurunan suhu bumi agar manusia dan makhluk hidup bisa terus hidup di bumi untuk waktu yang lebih lama. Salah satu caranya adalah menekan emisi karbon.
Sayangnya, pemerintah sudah tiga kali menunda penerapan pajak karbon. Padahal, sesuai dengan amanat undang-undang, pajak karbon seharusnya sudah diterapkan sejak 1 April 2022, pada setiap pembelian barang yang mengandung karbon, seperti bahan bakar kendaraan dan batu bara, serta kepada industri dengan menghitung jumlah emisi karbon yang dihasilkan dalam satu tahun.
Sesuai dengan peta jalan penerapannya, pajak karbon akan diterapkan lebih dulu secara bertahap. Untuk periode 2022-2024, pajak karbon diterapkan kepada PLTU batu bara. Industri lain akan mengikuti sesuai degan kesiapan masing-masing mulai 2025.
Dibanding negara lain, Finlandia menjadi negara pertama yang menerapkan pajak karbon, yakni pada 1990. Pada 2025, emisi karbon yang dihasilkan oleh negara berpenduduk 5,5 juta orang tersebut diperkirakan mencapai 37 juta metrik ton per tahun, atau setengah dari sejak penerapan pajak karbon pertama kali.
Pada 2035, Finlandia diperkirakan sudah mencapai status net-zero emission, suatu keadaan di mana emisi karbon yang dihasilkan sama dengan emisi karbon yang diserap melalui mekanisme carbon capturing dan lainnya.
Di lingkup ASEAN, Singapura menjadi negara pertama yang menerapkan pajak karbon pada 2019. Saat ini pajak tersebut sudah berlaku terhadap 80 persen emisi karbon yang dihasilkan melalui industri manufaktur, energi, limbah, dan air. Dengan tarif sebesar S$ 5 per metrik ton, pemerintah Singapura berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar US$ 3,46 miliar. Jumlah ini menyumbang hingga 3,3 persen pendapatan negara pada 2022 dan diprediksi terus meningkat.
Indonesia Perlu Menerapkan Pajak Karbon
Pada 19 September 2024, DPR bersama Menteri Keuangan mengesahkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025. Diperkirakan, uang yang diperlukan untuk mendukung berjalannya pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto sebesar Rp 3.621,3 triliun dan total perkiraan pendapatan mencapai Rp 3.005,1 triliun.
Rancangan APBN itu memperlihatkan ada defisit sebesar Rp 616,2 triliun. Di sisi lain, pemerintahan Prabowo sudah mengumumkan akan menarik utang baru sebesar Rp 775,9 triliun pada tahun depan, yang akan digunakan untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi berkelanjutan.
Ketimbang menarik utang baru, seharusnya pemerintah mengoptimalkan penerapan pajak karbon pada 2025. Pajak ini bisa menjadi peluang sumber pendapatan yang dapat digunakan untuk belanja negara. Pemerintah tidak boleh terjebak pada kesalahpahaman mengenai konsep pajak karbon.
Berdasarkan rangkuman yang dilakukan oleh Massachusetts Institute of Technology Center for Energy and Environmental Policy Research (MIT CEEPR), ada beberapa narasi yang membuat pemerintah salah paham dan menunda implementasi pajak karbon. Pertama, penerapan pajak karbon akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Padahal, berdasarkan riset yang dilakukan di 15 negara di Eropa, tidak ada dampak signifikan penerapan pajak karbon terhadap produk domestik bruto. Berdasarkan teori yang ada, pertumbuhan PDB tidak dipengaruhi oleh kebijakan seperti penerapan pajak.
Kedua, penerapan pajak karbon akan mengakibatkan pemutusan hubungan kerja massal. Nyatanya, studi membuktikan justru terjadi peralihan pekerjaan dari sektor intensif karbon ke sektor nonintensif karbon. Ketiga, pajak karbon tidak cukup efektif untuk menurunkan emisi karbon. Menurut CEEPR, pajak karbon memang harus dipadukan dengan kebijakan lain, seperti program pembatasan emisi dan perdagangan karbon. Kebijakan-kebijakan ini saling melengkapi dan bersama-sama membantu mencapai target penurunan emisi secara lebih optimal.
Narasi-narasi tersebut sangat mirip dengan alasan pemerintah yang berencana membatalkan kenaikan cukai rokok pada 2025. Pemerintah khawatir akan terjadi PHK buruh industri rokok akibat kenaikan cukai. Pada kenyataannya, data menunjukkan, walaupun terjadi PHK massal, produksi rokok per tahun tetap meningkat karena adanya mekanisasi industri rokok yang menggantikan tenaga kerja manusia dengan mesin.
Walaupun tujuan utama pengenaan cukai rokok adalah pengendalian konsumsi rokok dan pelindungan bahaya kesehatan pada masyarakat, tidak dapat dimungkiri bahwa cukai rokok juga menyumbang pendapatan negara. Angkanya diperkirakan mencapai Rp 138,4 triliun per 31 Agustus 2024. Tapi kita juga harus melihat fakta bahwa beban biaya kesehatan akibat konsumsi rokok yang ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga besar, mencapai Rp 17,9-27,7 triliun.
Memaksimalkan pendapatan negara dengan menaikkan cukai rokok pada 2025 dan memastikan penerapan pajak karbon merupakan langkah strategis yang bisa diambil pemerintah. Kebijakan ini penting untuk menjamin tercapainya target-target pembangunan di masa depan, sekaligus mendukung upaya pengendalian konsumsi rokok dan pengurangan emisi karbon. Hal ini jelas sesuai dengan komitmen global soal pembangunan berkelanjutan dan penanggulangan perubahan iklim.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: pendapat@tempo.co.id disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.