Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral disingkat ESDM pada Ahad, 10 November 2024, malam, menaikkan status waspada alias Level II ihwal aktivitas Gunung Api Rokatenda di NTT pada pukul 21.00 WITA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Geologi menaikkan aktivitas Gunung Rokatenda setelah mendapati laporan masyarakat mengenai terciumnya bau belerang yang pekat. Pemantauan secara instrumental juga merekam kenaikan gempa vulkanik dangkal pada rentang waktu 1-8 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Terdapat laporan masyarakat tercium bau belerang yang cukup pekat pada tanggal 9 November 2024 dari pukul 09.00 sampai 17.00 (WITA),” kata Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid.
Profil Gunung Rokatenda
Gunung Rokatenda, yang juga dikenal dengan nama Gunung Paluweh, adalah gunung berapi aktif yang terletak di Pulau Palue, bagian dari Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Rokatenda memiliki nama lain Gapirok, Palowe (h), Paloe, Luca Raya, Rusa Raja, Nusa Kua, Nuha Lua. Sementara nama kawahnya adalah Rokatenda atau Rokatinda.
Rokatenda memiliki dua buah kawah dan tiga buah kubah lava di puncaknya. Ketiga kubah lava tersebut masing-masing terbentuk pada tahun 1928, 1964, dan 1981.
Dikutip dari National Geographic, dalam Data Dasar Gunung Api di Indonesia, Rokatenda termasuk gunung api tipe A, yaitu gunung api yang diketahui pernah meletus dalam sejarah. Gunung Rokatenda tercatat telah beberapa kali mengalami letusan signifikan, dengan catatan paling awal terjadi pada tahun 1928.
Dilansir dari Ensiklopedia Penanggulangan Bencana Indonesia, jika diperkirakan letusan pertama terjadi sekitar 200 tahun lalu berdasarkan keterangan penduduk yang merupakan delapan generasi sebelum letusan 1928. Letusan tersebut meninggalkan bekas-bekas berupa lima buah kawah dan sebuah lava dome.
Pada tahun 1985, Rokatenda kembali menunjukkan aktivitas yang cukup intens dan menyebabkan terjadinya evakuasi besar-besaran. Abu letusan tersebar ke arah Barat dan menutupi kampung-kampung Nitung, Waikoro dan Koa.
Sementara, letusan pada 10 Agustus 2013 menyebabkan lima warga yang baru pulang melaut dan berada di pantai tewas. Pada letusan ini, enam warga dilaporkan meninggal dunia karena terkena semburan awan panas. Letusan ini menyebabkan gangguan besar terhadap kehidupan masyarakat dan kerusakan lahan serta infrastruktur di sekitar Pulau Palue.
YOLANDA AGNE | AHMAD FIKRI | NATIONALGEOGRAPHIC
Pilihan editor: Gunung Marapi Erupsi Lagi dengan Tinggi Abu 1.000 Meter, Statusnya Masih Waspada