Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMULA Muhammad Reza Cordova menganggap remeh info dari koleganya tentang sampah plastik berwujud botol buatan Indonesia yang ditemukan di pantai Afrika Selatan. Peneliti ahli utama bidang pencemaran laut di Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu mengira botol tersebut dibuang oleh awak kapal. “Ternyata studi lapangan membuktikan sampah plastik dari Sungai Cisadane bisa berkelana ke Afrika,” kata Reza di kantornya, Senin, 29 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ihwal sampah plastik yang hanyut sampai ke Afrika itu diungkapkan Reza pada saat pengukuhannya sebagai profesor riset ke-667 sekaligus yang termuda di BRIN, Kamis, 25 April 2024. Menurut pria 37 tahun itu, berdasarkan eksperimen Lagrangian, sampah plastik dari muara Cisadane di Laut Jawa bisa terbawa arus permukaan ke arah barat, lalu menyusup melalui Selat Sunda sampai terbebas ke Samudra Hindia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perpindahan sebanyak 10-20 persen sampah dari Teluk Jakarta ke Samudra Hindia ini hanya membutuhkan waktu beberapa bulan. Dalam hitungan Reza, seandainya saat ini tidak ada lagi sampah dari sungai Jawa-Bali yang masuk ke laut, sebanyak 98,59 persen sampah yang tersisa dan mengapung di Teluk Jakarta akan pindah ke Samudra Hindia dalam waktu sekitar lima tahun.
Persoalan tak berhenti di situ. Menumpang arus selatan Jawa, sampah plastik di perairan Samudra Hindia kemudian masuk ke wilayah arus selatan khatulistiwa, yang akan mengantarnya melintasi Kepulauan Cocos, Maladewa, Seychelles, Madagaskar, hingga mendarat di pantai Tanzania, Afrika. “Bukan tak mungkin sampah itu akan terus berselancar sampai Afrika Selatan dan akhirnya masuk ke Samudra Atlantik,” ucap Reza tentang studinya yang terbit di jurnal Marine Pollution Bulletin edisi 23 Mei 2021 tersebut.
Lintasan dan zona terdamparnya sampah laut itu hanya didapatkan dari simulasi di atas kertas. Reza, yang meraih gelar doktor bidang biosains akuatik dari Tokyo University of Agriculture, Jepang, pada 2021, merasa belum yakin 100 persen sebelum ada studi lapangan yang memvalidasi.
Perihal kurang akuratnya hitungan simulasi ini, Reza mengaku mengalaminya. Ia merujuk pada studi Jenna Jambeck dari University of Georgia, Amerika Serikat, pada 2015 yang menyebut Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik ke laut terbesar kedua di dunia dengan jumlah 0,48-1,29 juta ton per tahun. Kajian itu kemudian dikonfirmasi oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang kini bertransformasi menjadi Pusat Riset Oseanografi BRIN, dengan hasil 0,27-0,59 juta ton per tahun.
“Angka hitungan yang didapat melalui verifikasi data lapangan itu 8-16 kali lebih kecil. Walaupun lebih kecil, angka kebocoran sampah itu tetaplah besar dan dapat mengganggu lingkungan,” tutur Reza, yang juga menjadi anggota Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut.
•••
GUNA memastikan lintasan dan area terdamparnya sampah laut, studi lapangan yang dimaksud Reza Cordova adalah yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Collecte Localisation Satellites (CLS) dari Prancis dan Bank Dunia pada 2020. Kajian ini bertujuan meningkatkan pemahaman akan pergerakan sampah laut dan sebarannya di lautan, termasuk di perairan dangkal. Studi ini akan memberikan gambaran spasial dan statistik mengenai hotspot sampah laut yang berasal dari sungai paling tercemar di Jawa.
Dalam penelitian yang dipimpin Rinny Rahmania dari Pusat Riset Kelautan KKP itu, tim melepaskan 22 drifter atau pelacak di tiga sungai yang terpilih, yakni Cisadane dan Bengawan Solo di Jawa serta Musi di Sumatera Selatan. Pelacak yang digunakan dalam penelitian ini adalah Marget-II yang dikembangkan CLS. Setiap 180 detik, Marget-II mengirimkan posisinya dalam tiga jam terakhir ke sistem satelit Argos yang terdiri atas tujuh satelit orbit kutub.
Rinny, yang sekarang bernaung di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi setelah Pusat Riset Kelautan melebur ke dalam BRIN, menampik permintaan wawancara karena harus berangkat ke lapangan untuk bertugas. Namun makalah penelitian Rinny dan timnya, yang bertajuk “Tracking the Stranded Area of Marine Debris in Indonesian Coasts by Using Floating Drifter”, terdapat dalam prosiding IOP Conference Series: Earth and Environmental Science volume 925 yang terbit secara online pada 6 Desember 2021.
Dalam makalah itu, penulis menyimpulkan studi pelacakan drifter sejalan dengan ramalan area sampah laut yang terdampar di sepanjang pantai Indonesia lewat eksperimen Lagrangian menggunakan perangkat lunak Ariane. Perangkat lunak Lagrangian Ariane digunakan untuk menghitung lintasan partikel numerik yang dipengaruhi arus laut. Dari 22 drifter yang dilepaskan—11 dari muara Cisadane, 5 dari muara Bengawan Solo, dan 6 dari sungai Musi—ada dua pelacak asal Cisadane yang bisa hanyut hingga ke Samudra Hindia. Bahkan drifter Cisadane01 terus berlayar sampai ke pantai Tanzania dalam waktu setahun.
Menurut penelitinya, hasil studi pelacakan drifter ini juga sesuai dengan pemodelan sampah laut berbasis lokal yang dilakukan di Teluk Banten, yang menunjukkan sebagian besar partikelnya bergerak di sekitar teluk kemudian terdampar di pantai utara Pulau Jawa dan hanya sedikit yang keluar dari perairan teluk menuju Selat Sunda pada musim monsun timur laut. Situasi ini terbukti dengan mendaratnya semua drifter dari Bengawan Solo di pantai timur Lampung dan sebagian besar drifter dari Cisadane terdampar di wilayah Kepulauan Seribu, Jakarta.
Profesor Riset Reza Cordova saat orasi ilmiahnya terkait riset sampah laut di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, Jakarta, 25 April 2024/BRIN
Pemilihan tiga sungai dalam penelitian tersebut bukan tanpa alasan. Menurut peneliti dalam makalahnya, Musi, sungai sepanjang 720 kilometer yang melintasi Kota Palembang, Sumatera Selatan, merupakan salah satu titik dengan angka polusi plastik tertinggi. Adapun Bengawan Solo, sungai terpanjang di Jawa, melintasi beberapa kota berpopulasi tinggi di Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Pada 2017, Laurent C.M. Lebreton dari Ocean Cleanup, Belanda, menempatkan Bengawan Solo di peringkat ke-10 dalam daftar 20 sungai paling tercemar di dunia.
Sungai Cisadane tidak kalah pamornya dalam hal polusi meski tak masuk daftar 20 sungai paling tercemar versi Lebreton yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications edisi 7 Juni 2017 tersebut. Menurut para penulis makalah “Tracking the Stranded Area of Marine Debris in Indonesian Coasts”, Cisadane adalah satu dari lima sungai paling tercemar sampah plastik. Pada medio 2019 hingga 2022, ramai pemberitaan mengenai tumpukan sampah plastik di muara Cisadane yang membentuk pulau seluas sekitar 2 kilometer persegi dengan ketebalan 3 meter.
Muhammad Alaika Rahmatullah, peneliti Divisi Riset dan Edukasi Ecological Observation and Wetland Conservation atau Ecoton, mengatakan lembaganya pernah melakukan Ekspedisi Sungai Nusantara 2022 yang mengukur kandungan mikroplastik di 68 sungai strategis nasional. “Cisadane satu dari tiga sungai di Jawa Barat yang kami ukur. Sungai lain adalah Ciliwung dan Citarum,” kata Alaika melalui sambungan telepon, Selasa, 7 Mei 2024.
Berdasarkan pengujian Ecoton, terdapat 95 partikel mikroplastik dalam 100 liter air sampel Sungai Cisadane. Angka itu memang lebih rendah dari temuan di Ciliwung yang sebanyak 129 partikel dan Citarum dengan 112 partikel mikroplastik. Namun, secara gabungan, jumlah partikel mikroplastik dari tiga sungai itu menempatkan Jawa Barat sebagai provinsi ke-10 di antara 24 provinsi yang angka kandungan mikroplastiknya tinggi. Yang tertinggi adalah Jawa Timur dengan 636 partikel mikroplastik dan terendah Sulawesi Barat dengan 12 partikel.
•••
TEMPO menyusuri Sungai Cisadane dari bendungan Pintu Air 10 di Kota Tangerang, Banten, sampai muara Tanjung Burung, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, pada Selasa, 7 Mei 2024. Sepanjang pelayaran, tampak kondisi air sungai relatif bersih dan volume sampah sedikit. Sampah plastik berbagai ukuran terlihat mengapung di permukaan dan hanyut menuju laut. Ada juga sampah yang terdampar di kedua tepi sungai.
"Kalau habis banjir atau hujan deras dan air sungai meluap, sampahnya sampai menggunung," ujar Remengan, 70 tahun, nelayan Tanjung Burung.
Tumpukan sampah, dia melanjutkan, biasanya banyak di pinggir sungai dan muara. "Sekarang lumayan bersih karena sudah lama tidak banjir," tutur Remengan. Tumpukan sampah, menurut dia, memang sudah lama ada dan makin banyak. "Entah sampah dari mana. Dari pengalaman saya melaut, sampah itu berceceran sampai ke tengah laut."
Nelayan Tanjung Burung lain, Ahmad Yamin, mengamini cerita Remengan. Pria 57 tahun itu mengaku kerap mengambil sampah plastik yang tercecer di perahunya. Setelah memastikan tak ada lagi sampah, barulah ia menyalakan mesin kapal nelayan tradisionalnya dan bergerak ke Teluk Jakarta. "Kalau tidak dibersihkan, sampah plastik biasanya nyangkut di mesin kapal," ucapnya, Selasa, 7 Mei 2024.
Yamin menyebutkan sampah plastik kerap merusak mesin kapalnya dan nelayan lain di Tanjung Burung. Ada puluhan kapal nelayan yang parkir di muara Tanjung Burung. Dia menjelaskan, kalau ada sampah plastik yang tersangkut, mesin kapal akan rusak dan mereka tidak bisa melaut sampai mesin kapal selesai diperbaiki atau menggantinya dengan yang baru. "Makanya kami sangat takut pada sampah plastik yang banyak berserakan di sungai ini," kata Yamin.
Kapal pembersih sampah Neon Moon II Interceptor 020 sumbangan dari grup musik Coldplay di Sungai Cisadane/Instagram @theoceancleanup
Sungai Cisadane sebenarnya sudah memiliki kapal pengangkut sampah Neon Moon II yang disumbangkan grup musik Inggris, Coldplay dan organisasi lingkungan asal Belanda, Ocean Cleanup, pada awal tahun lalu. Namun ternyata hingga saat ini kapal yang bisa menampung 6 ton sampah tersebut belum juga dioperasikan. "Belum dioperasikan karena belum ada serah-terima kepada kami," ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang Fachrul Rozi, Selasa malam, 7 Mei 2024.
Selain itu, Fachrul menambahkan, kapal itu masih dalam tahap evaluasi uji coba. "Baru tadi pagi kami rapat dengan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang memutuskan menunggu hasil evaluasi tentang karakteristik sampah di muara Sungai Cisadane," tutur Fachrul. Kapal Neon Moon II telah diuji coba pada 2 Desember 2023. Uji coba sedikit terhambat karena bukan hanya sampah plastik dan rumah tangga yang ada di Sungai Cisadane, tapi juga ranting pohon dan bambu yang menyulitkan penyedotan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Joniansyah Hardjono dari Tangerang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sampah Kita Sampai ke Afrika"